Oleh Rijal Mumazziq Z, Rektor INAIFAS Kencong Jember
RumahBaca.id – Kemarin malam, media sosial macet. Down. Facebook, Instagram, WhatsApp dan beberapa aplikasi lain tidak bisa diakses. Kita, eh saya, kelabakan, merasakan ada sesuatu yang hilang. Seolah ada yang tidak lengkap dalam keseharian tanpa adanya aplikasi medsos, juga ketika teknologi sedang mengalami gangguan.
Yang dikhawatirkan Albert Einstein telah tiba, manakala teknologi mengatur manusia, bukan sebaliknya sebagaimana kodratnya. Ini zaman tatkala generasi kita, tua dan khususnya anak muda, menjadi Generasi C alias Gen C (Connected Generation).
Mereka menggenggam ponsel cerdas. Gen C berarti connect, connected, digital creative, cocreation, customize, curiously, cyber, cracker, dan chameleon. Mereka generasi bunglon yang terhubung satu sama lain di dunia maya. Mereka cepat berubah pikiran mengikuti arus informasi yang mereka terima. Mereka dibentuk oleh konten dan addicted dengan media sosial.
Dharmati, masyarakat yang lahir sebelum zaman digital, lahir membawa darah di tangan. Generasi digital, Digerati alias Gen C lahir membawa mouse di tangan. Dharmati adalah Dharma Society. Julukan Haidar Bagir bagi masyarakat yang lahir sebelum zaman digital, mengutamakan pentingnya darma, amal salih dan perbuatan baik. Sementara itu, digerati alias digital generation society, julukan bagi generasi yang lahir pada era 90-an hingga kini.
Sejak belia mereka langsung terhubung dengan etnis masing-masing. Suku mereka bukan Jawa, Sunda, Madura, Bali, Dayak atau peranakan Tionghoa. Suku mereka justru game online seperti ragnarok, biology, animal planet, the magician, dan lain sebagainya.
Efeknya, mereka jauh darin kehidupan sosial dan tingkat bersosialisasi yang rendah. Apalagi saat gadget menjadi salah satu candu modern. Ini sebuah benda “ajaib” yang bisa mendekatkan jarak yang jauh dan menjauhkan jarak yang dekat. Pernah melihat satu keluarga makan di restoran, dan sembari menunggu pesanan mereka di antar, masing-masing asyik dengan ponselnya masing-masing, kan? Tak ada lagi interaksi fisik, tak ada lagi canda tawa bersama, tak ada lagi keriangan di satu meja. Semua asyik dengan ponsel cerdasnya masing-masing, dan berinteraksi dengan sahabat dunia maya yang entah tinggal di mana. Benar bukan, teknologi menjauhkan yang dekat, dan mendekatkan yang jauh? Ironis, bukan?
Rhenald Kasali, dalam Cracking Zone (2011) menunjukkan hasil survei para pengguna ponsel cerdas: 65% orang menggunakan ponsel cerdas agar bisa terbuhung dan menghubungi orang lain di mana pun berada (stay in contact), 49% untuk penguatan bisnis (business enabler), 36% guna menembus sekat sosial dan memperluas pergaulan, 49% sebagai simbol status sosial dan 36% buat mengatasi kejenuhan, kegundahan dan stres.
Tanpa disadari, kata J. Sumardianta dalam Guru Gokil Murid Unyu, kebiasaan bersentuhan dengan teknologi di setiap saat melahirkan karakter-karakter generasi alay seperti multitasking, selfish, narsis, egois, dan ASRI (generasi asik sendiri dengan gadget).
Lalu, bagaimana korelasi hal-hal di atas dengan keberuntungan hubungan? Salah satu keuntungan yang dimiliki oleh manusia adalah hubungan sosial yang harmonis. Hubungan ini bersifat atasan-bawahan maupun relasi yang setara. Dalam hal relasi terdekat, selain keluarga, Rasulullah SAW memerintahkan agar kita berhubungan baik dengan tetangga sekitar rumah. Bahkan beliau menekankan agar apabila kita memasak dan aromanya tercium oleh tetangga, kita tak keberatan membagi apa yang telah kita masak dengan mereka.
Demikian pentingnya menjalin relasi harmonis dengan para tetangga, sehingga manakala kita membutuhkan sesuatu dalam kondisi darurat, tetanggalah yang bisa dengan cepat membantu. Dalam konteks relasi modern, apabila seseorang mau meminjam uang ke bank, misalnya, maka pihak bank tak langsung memberikan pinjaman sebelum salah satu petugasnya melakukan survei dengan mengorek informasi seputar keseharian calon peminjam melalui mulut dan mata para tetangganya. Maka, alangkah beruntungnya kita manakala memiliki tetangga-tetangga yang baik hati.
Dalam konteks yang lebih luas, keberuntungan hubungan bisa diraih manakala kita juga membuka diri untuk bergaul dengan komunitas yang lebih luas. Sikap rendah hati dan terbuka dengan orang yang baru dikenal akan membuat kita memiliki jaringan pergaulan yang luas. Ini adalah modal sosial yang baik. Semakin kuat relasi dan koneksi yang kita miliki, semakin bagus untuk keberuntungan kita. Di antara sosok yang penulis kagumi adalah Gus Dur. Saat presiden RI ke empat ini meninggal, umat lintas agama dan golongan merasa berduka dan mengutarakan bela sungkawa atas kewafatannya.
Saat itu, melalui layar televisi penulis menyaksikan bukan hanya orang Islam yang berziarah ke makamnya, melainkan lintas agama, golongan dan etnik. Sampai sekarang pun demikian. Hal ini memang dimaklumi, karena pada saat hidupnya, Gus Dur selalu melindungi tamansari kemajemukan di Indonesia. Mengapa sosok ini juga lebih gampang diterima oleh komunitas yang berbeda? Karena ia dengan tulus mengulurkan tangan persahabatan, dan ini yang paling penting, Gus Dur selalu mengingat nama sahabat-sahabatnya dengan baik berikut nomor teleponnya serta selalu memperlakukan mereka dengan baik dan tulus.
Benarlah bila dikatakan oleh Ario Seto dalam “202 Mindset Super Orang Sukses”, bahwa orang-orang besar di dunia ini menerapkan prinsip mengingat nama-nama orang lain dengan cermat dan memperlakukan mereka dengan baik. Kebiasaan ini bila disertai dengan antusiasme merupakan salah satu rahasia sukses besar. Sebab, setiap orang dunia ini mengenakan tombol imajiner yang meneriakkan, “Aku ingin merasa penting dan dihargai.”
Jadi mari kita cek, berapa banyak nama sahabat yang tertera di dalam ponsel kita, dan berapa banyak yang kita ingat nama dan alamatnya dengan baik, serta kapan kita terakhir menghubunginya melalui telepon, atau kapan terakhir kita berkunjung ke kediamannya? Alangkah bagusnya jika kita memperlakukan aset sosial kita dengan baik.
Selain itu, untuk meraih keberuntungan dalam hubungan, tiada yang harus dilakukan, kecuali menuruti apa yang dikatakan oleh Lao Tse. Filsuf Tiongkok kuno ini menjelaskan, apabila ingin menjadi manusia utama, maka kita harus menerapkan prinsip ini, “Bersikaplah lembut, maka engkau akan menjadi pemberani. Jadilah orang dermawan, maka engkau akan menjadi orang yang bebas. Hindarilah bersikap tinggi hati di depan orang lain, maka engkau akan menjadi pemimpin di tengah-tengah manusia.”
Bagaimana dengan hari ini, sudahlah kita bersikap lembut kepada keluarga, kepada tetangga, kepada para kolega di tempat kerja, dan kepada diri kita sendiri?
Sudah berapa banyak harta dan tenaga yang kita dermakan pada hari ini? Jika kita sudah berbuat baik, baik berbagi tenaga dan harta, maka secepatnya lupakan. Sebab, cara terbaik mengabadikan kebaikan adalah dengan melupakannya.
Lalu, sudahkah menatap hati agar senantiasa bersikap rendah hati (bukan rendah diri lho!)? Bagaimana caraya agar senantiasa rendah hati. Imam hasan Bashri rahimalullah, memberi tips agar senantiasa rendah hati, yaitu memandang orang lain lebih baik dari diri kita.
Bila masih berat, mari kita mulai dengan cara yang paling sederhana. Apa itu? Mengetik chat tanpa menyingkat kata. Ini sepele tapi terkadang berat dalam persahabatan. Sesibuk apakah kita hingga mengetik chat, dan menjawab status facebook saja harus menyingkat-singkat kata? Apalagi saat berkomunikasi dengan atasan kita. Semakin baik kita berkomunikasi, langsung maupun tak langsung, dengan para sahabat kita, niscaya keberuntungan bakal menghampiri kita.
Jangan lupa untuk terus bergerak menjalin relasi dengan sahabat-sahabat baru. Tak jadi soal berapa sahabat baru kita, sebab bisa menjalin persahabatan dengan sahabat baru adalah keberuntungan tersendiri yang banyak diabaikan orang. Wallahu A’lam Bisshawab.