Di Balik Manuver Gus Dur Menjalin Hubungan Diplomasi dengan Israel demi Kemerdekaan Palestina

Laduni.ID, Jakarta – KH. Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur, selalu dikesankan dengan sikap kontroversial. Salah satu yang mungkin akan terus dianggap kontroversi adalah kenyataan bahwa dirinya mempunyai “kedekatan” dengan tokoh-tokoh Israel dan Yahudi. Bahkan ketika banyak dunia menghujat Israel, justru pada bulan Oktober tahun 1994, Gus Dur berkunjung ke Israel. (Greg Barton, Biografi Gus Dur: The Authorized of Abdurrahman Wahid)

Dalam kunjungan tersebut, Gus Dur menyaksikan perjanjian perdamaian Israel dengan Yordania. Bahkan juga sempat berkunjung ke Jerusalem dan berkeliling Israel. Banyak kecaman dari berbagai tokoh mengenai kunjungannya tersebut, apalagi pada waktu itu Gus Dur menjabat sebagai Ketua PBNU. Tidak hanya kritik dan kecaman dari tokoh di luar NU, justru dari dalam NU sendiri mengecam dengan sangat keras sikap Gus Dur yang terkesan membela dan mengakui Israel. Sebab, sejak dulu komitmen NU dalam membela Palestina tidak pernah luntur, sejak sebelum kemerdekaan.

Dalam catatan sejarah, pada tahun 1938, Ketua Umum PBNU, KH. Mahfudz Siddiq pernah diminta menghadap kejaksaan Hindia Belanda. Beliau dianggap meresahkan, sebab beberapa hari sebelumnya, beliau sempat menggelorakan semangat empati kepada Palestina. Atas nama PBNU, beliau mengajak kepada seluruh umat Islam untuk turut serta dalam aksi solidaritas terhadap Palestina melalui Perayaan Isra’ Mi’raj besar-besaran pada 27 Rajab sekaligus menyerukan penggalangan dana untuk disumbangkan kepada rakyat Palestina. Selain itu, dalam agenda tersebut digemakanlah pembacaan qunut nazilah sebagaimana restu dari Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, Rais Akbar PBNU. Dari sinilah kemudian seluruh konsul (Pengurus Cabang) NU melaksanakan amanah.

Berangkat dari sejarah komitmen NU tersebut, maka ketika belakangan Gus Dur menjalin hubungan diplomasi dengan Israel, tidak heran banyak tokoh NU yang mengecam dan melontarkan kritik keras, sampai ada yang menuduhnya sebagai antek Yahudi. Tapi apalah arti semua itu bagi Gus Dur. Setiap tindakan atau langkah yang diambilnya tentu akan memunculkan reaksi pro dan kontra. Tapi ketika tekad dan niat sudah benar, bagaimanapun keadaannya, bagi Gus Dur tidak ada yang boleh menghalanginya.

Tuduhan yang dilontarkan kepada Gus Dur, sebenarnya sangat mudah ditepis dengan komitmen yang sesungguhnya telah Gus Dur tunjukkan sejak dulu. Pada tahun 1982, Gus Dur yang ketika itu sudah menjabat sebagai salah satu pimpinan PBNU dan juga menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta, pernah menginisiasi aksi Malam Solidaritas Palestina yang digelar bersama para penyair, seperti Subagyo Sastrowardoyo, Sutardji Calzoum Bachri, D. Zawawi Imron, Taufik Ismail, Abd Hamid Jabbar, Gus Mus, dan lain sebagainya. Dalam kesempatan itu pula, diinstruksikanlah kepada umat Islam, khususnya warga Nahdliyin, untuk kembali menggiatkan pembacaan qunut nazilah sebagaimana instruksi para sesepuh NU dahulu dalam membela Palestina.

Dalam tulisan Rijal Mumazziq, Gus Dur dan Pembelaannya Atas Palestina, ia menulis bahwa Gus Dur pernah menyatakan dalam sebuah tulisan berjudul Arti Sebuah Kunjungan yang dibuat setelah kunjungannya dari Israel. Dalam tulisan itu Gus Dur menyatakan:

“Palestina tidak memiliki kepemimpinan yang tangguh dan para pemimpin mereka saling bertengkar dalam perbedaan strategi dan garis perjuangan. Inilah yang harus mereka koreksi untuk diperbaiki dalam waktu dekat ini. Bagaimanapun juga, harus ada strategi perjuangan bagi sebuah bangsa, agar supaya segala macam energi dan kemampuan yang dimiliki bangsa itu dapat tersalur keluar menjadi alat perjuangan yang ampuh menghadapi lawan. Menurut penulis, strategi itu adalah perundingan yang lama dan berkepanjangan dengan pihak Israel, untuk memperjuangkan kemerdekaan sebagai negara dan keadilan.”

Jadi komitmen Gus Dur dalam membela Palestina tidak bisa diragukan lagi. Gus Dur mencoba untuk menjalin hubungan baik di antara Palestina dan Israel. Sikap ini diambil oleh Gus Dur karena tidak mungkin bisa terjalin hubungan diplomasi untuk mencapai kesepakatan damai, tanpa ada komunikasi di antara keduannya.

Gus Dur juga menyatakan secara tegas dalam sebuah tulisannya, sebagaimana dikutip oleh Rijal Mumazziq di atas:

“Bagi penulis, Gaza adalah sumber perlawanan terhadap penjajahan, dan alangkah indahnya jika perlawanan itu tidak hanya mengambil bentuk fisik saja, melainkan juga perlawanan kultural terhadap keadaan.”

Gus Dur mengambil langkah yang penuh resiko itu dengan percaya diri, menjadi juru damai mengingat kapasitasnya yang dipercaya menjadi salah satu anggota Simon Peres Institut, Israel dan pada saat yang sama juga dekat dengan Palestina yang saat itu dipimpin oleh Yasser Arafat. Pada saat itulah Gus Dur berusaha membuka kebuntuan yang beberapa kali terjadi pasca upaya diplomatik sejak era Yasir Arafat dan Yitzhak Rabin dalam Perjanjian Oslo II, 1994.

Posisi strategis Indonesia disadari oleh Gus Dur, sehingga hal ini membuatnya berani mengambil langkah taktis untuk menjadi juru damai.

Dalam buku yang ditulis oleh Djohan Effendi, Setneg Presiden KH. Abdurraham Wahid, yang berjudul Damai Bersama Gus Dur, menjelaskan bahwa ada dua alasan kenapa Gus Dur melibatkan diri dalam upaya perdamaian Israel-Palestina dengan membuka hubungan diplomatik dengan Israel.

Menurutnya langkah yang diambil Gus Dur tersebut berlandaskan alasan, yang pertama, Gus Dur ingin memastikan seorang kapitalis George Soros, yang keturunan Yahudi, tidak mengacaukan pasar modal yang saat itu mempunyai kekuatan besar. Alasan yang kedua, adalah ingin meningkatkan posisi tawar Indonesia di Timur Tengah, sebab sebagai sebuah negara yang berpenduduk mayoritas muslim, maka sudah sewajarnya melibatkan diri secara aktif dalam merajut perdamaian di sana.

Komitmen Gus Dur dalam membela Palestina selalu dipegang teguh. Ketika menjabat sebagai Presiden Indonesia, ia pernah mengatakan kepada Yasser Arafat bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan hak untuk mencapai perdamaian di Palestina ada di tangan rakyat Palestina sendiri yang diwujudkan dalam bentuk keputusan-keputusan atau konferensi OKI, PBB, dan lain-lain. Komitmen ini juga masih berlanjut ketika Gus Dur sudah tidak lagi menjabat sebagai Presiden.

Kita menyadari bahwa konflik Palestina-Israel selalu menyisakan duka yang mendalam. Sudah tidak terhitung lagi korban yang jatuh, seakan menjadi prasyarat utama bagi berdirinya satu kekuatan yang penuh dengan balutan egoisme. Sering kali perang dianggap sebagai solusi akhir yang efektif dalam menyelesaikan musibah kemanusiaan ini.

Kecaman dunia yang dialamatkan kepada Israel sebagai pihak “pendatang” yang tidak segan melayangkan aksi sporadis membunuh warga Palestina atau yang belakangan dengan keras dikecam sebagai tindakan genosida, seakan dianggap nada sumbang yang tak perlu disimak. Israel tetap keras kepala berlindung di balik alasan self defense atau membela diri. Keras kepala ini semakin kuat ketika didukung oleh Amerika, Inggris dan beberapa negara Barat sebagai sekutunya sejak dulu, meski protes terus dilancarkan oleh para warga negara-negara tersebut.

Tidak ada yang meragukan, Gus Dur merupakan satu dari sekian banyak intelektual yang memiliki perhatian mendalam terhadap konflik tersebut. Namun demikian, meski berasal dari latar belakang muslim, Gus Dur tidak serta merta mendukung semua metode perjuangan Palestina guna menghentikan aksi despotisme Israel. Namun, ia juga tidak lantas setuju dengan kebijakan sepihak Israel yang berbuntut pada pengusiran paksa bangsa Palestina dari tanah mereka, bahkan sampai melakukan genosida.

Mengenai konflik yang tak kunjung usai antara Israel-Palestina itu, Gus Dur memandang bahwa dalam penyelesaian konflik kemanusiaan tersebut, haruslah ditarik akar yang lebih mendalam ketimbang berhenti pada wilayah agama, yakni pada sisi-sisi humanistik. Jika telah sampai pada tataran kemanusiaan, maka hak untuk berdemokrasi, penegakan keadilan dan pembangunan multi-sektoral haruslah terlaksana antara kedua belah pihak. Dengan kata lain, Gus Dur bertindak kooperatif, baik dengan Palestina, maupun Israel. Meski sampai akhir hayat apa yang digagas oleh Gus Dur itu belum pernah terwujud sampai saat ini. []


Penulis: Abd. Hakim Abidin

Editor: Kholaf Al-Muntadar

https://www.laduni.id/post/read/517841/di-balik-manuver-gus-dur-menjalin-hubungan-diplomasi-dengan-israel-demi-kemerdekaan-palestina.html