Di Ukraina, Novel dan Fiksi Jenis Apapun, telah Kehilangan Makna…

“Topik perbincangan kami kini hanya perang. Aktivitas menulis ditunda dulu. Saya hanya seorang pria yang berusaha untuk bertahan hidup. Saya tidak punya kata-kata untuk menggambarkan kekejaman Rusia ini,” kata Vakhtang Kebuladze, penulis Ukraina, dalam sebuah forum virtual yang digelar oleh PEN-USA, Maret 2022. Profesor filsafat di Taras Shevchenko National University itu menceritakan, sebelum bergabung di forum itu, ia baru selesai membantu teman-temannya mencapai pos pemeriksaan militer dalam perjalanan meninggalkan Kyiv.

Sementara itu, Andrey Kurkov, penulis novel Death and The Penguin (2010) yang bermukim di Kyiv, sejak serangan Rusia—yang disamarkan dengan istilah “operasi khusus”—mengaku punya kebiasaan baru yang terasa agak  ganjil.  “Di pagi hari, saya memeriksa ramalan cuaca. Mengapa? Karena ketika saya melihat hujan atau salju turun di zona perang—di tanah air saya—saya tahu, tentara Rusia tak dapat bergerak cepat, karena mereka akan kedinginan,” kata Andrey Kurkov (2022) dalam Where a Russian ‘fantasy’  meets brutal reality.

Bagi Kurkov, terminologi “operasi khusus” itu hanya kedok guna menutupi represi militer Rusia. Ia mengambil contoh dari kasus Donetsk Philharmonic Orchestra yang terjadi pada April 2022. Para musisi lokal yang berbasis di wilayah kaum separatis itu dipanggil untuk menggelar konser. Ternyata mereka tidak tampil di panggung. Alat-alat musik dilucuti, lalu mereka dipaksa ikut wajib militer, untuk kemudian dikerahkan menuju Mariupol, sebuah kota pelabuhan di sisi selatan Ukraina. Dalam peristiwa itu pianis bernama Nikolai Zvyagintsev tewas. “Nasib rekan-rekan musisi yang lain tidak jelas, begitu pula dengan  kematian Zvyagintsev. Apakah ia juga dipaksa berperang di Mariupol? Kami tidak tahu. Yang pasti, pianonya tak akan pernah bersuara lagi,” demikian kenang Kurkov.

Tragedi kemanusiaan akibat “operasi khusus” itu telah membuat Andrey Kurkov dan para penulis Ukraina lainnya, belajar bertahan hidup di masa perang. Mereka tahu apa yang harus dilakukan bila terjadi serangan di sekitar mereka. Tapi di atas semua itu—seperti diakui oleh Vakhtang Kebuladze—Andrey Kurkov juga telah belajar untuk tidak menulis fiksi lagi. Sebelumnya, Kurkov tak dapat membayangkan situasi ketika ia akan memutuskan untuk tidak lagi menulis novel. Tapi kini,  itu benar-benar terjadi, sebagaimana ia tulis dalam In Ukraine, Fiction Has Lost Its Meaning—But Recording the Truth Is More Important Than Ever yang tersiar di www.time.com (24/5/22). Bahwa saat kota-kota penting di sisi timur Ukraina dibombardir oleh rudal Rusia, novel dan genre fiksi lainnya telah kehilangan makna.

Kenyataan itu lebih mengerikan dari fiksi jenis apapun. “Semua orang yang bisa menulis sedang menyaksikan salah satu kejahatan terburuk abad 21,” tulis Kurkov. Dengan begitu, maka bagi penulis Gray Bees (2018) dan presiden PEN-Ukraina itu tugas seorang sastrawan Ukraina kini telah beralih menjadi saksi yang mencatat dan menyimpan barang bukti kejahatan. “Sekarang saya menjadi saksi untuk persidangan pidana di masa depan. Jika proses ini terjadi lebih lambat dari yang saya inginkan, kesaksian saya—seperti kesaksian puluhan penulis dan jurnalis Ukraina lainnya—akan ditolak oleh hakim,” kata Kurkov

Saat Kurkov didaulat sebagai narasumber dalam forum virtual di atas, militer Rusia yang telah menduduki wilayah Kherson, dekat Laut Hitam, sedang berusaha mengalihkan jaringan internet Ukraina ke layanan Rusia dan memperingatkan warga setempat bahwa mereka akan kehilangan akses pada Facebook atau Instagram. Menurut Kurkov, itu berarti mereka harus melepaskan hak dan kebebasan mereka, seperti yang telah dialami oleh puluhan juta orang Rusia. “Saya tahu bagaimana perasaan orang-orang yang tetap tinggal di wilayah  pendudukan, saya tahu apa yang mereka pikirkan,” kata Kurkov. Kalimat terakhir itu mengingatkan kita pada sosok Sergei Sergeyich karakter protagonis rekaan Andrey Kurkov dalam Gray Bees.

Berkisah tentang hidup keseharian seorang peternak lebah yang bertahan tinggal di Little Starhorodivka, wilayah Donbas—daerah hunian kaum separatis yang didukung Rusia—yang  masih meluapkan hawa permusuhan  antara warga pro-Ukraina dan warga pro-Rusia. Sergeyich menyebut desa kecilnya sebagai zona abu-abu. Dengan satirisme yang dingin dan detail, Kurkov menggambarkan betapa tidak mungkinnya Sergeyich memastikan keberpihakan secara hitam-putih. Terang-terangan menyatakan keberpihakan pada Rusia hanya akan membuat ia menjadi sasaran kebencian tetangganya yang pro-Ukraina. Begitu pula sebaliknya. Itu sebabnya ia percaya bahwa menjadi penghuni zona abu-abu lebih aman daripada memihak. Setiap kali ditanya apakah ia berasal dari Donetsk—kota yang dikuasai kelompok separatis—ia menyangkal: “Tidak, rumah saya berada di zona abu-abu.”

Baca juga:  Pemetik Puisi (17): Siddhartha Mukherjee, Kanker, dan Tuhan

Dalam kariernya sebagai penulis yang telah menghirup udara kebebasan berkarya di Ukraina sejak 1991, Kurkov merasa perlu berterimakasih. Bagi warga Ukraina lainnya,  negeri itu istimewa mungkin karena tanahnya yang subur dan dapat menghasilkan 10% dari kebutuhan gandum dunia. Tapi bagi Kurkov, yang sangat berharga di Ukraina adalah tersedianya ruang kebebasan berkarya. Sepanjang karier kepengarangannya, buku-buku Kurkov dapat diterbitkan  tanpa sensor, tanpa kontrol politik, tanpa tekanan. Bahkan selama agresi Rusia berlangsung dan telah merenggut banyak nyawa, pemerintah Ukraina belum memperkenalkan sensor militer yang sebenarnya. Dalam kecamuk perang, Ukraina tetap tidak membatasi kebebasan warganya, termasuk kebebasan berbicara.

Sementara di hadapan agresor Rusia—selama puluhan tahun kemerdekaan Ukraina—ratusan jurnalis yang menjadi saksi kekejaman militer Rusia di semenanjung Krimea, telah kehilangan nyawa. Jurnalisme memang salah satu profesi paling  berbahaya, tapi sejak perang Rusia-Ukraina bermula, menjadi semakin berbahaya. Tulisan press di rompi atau helm anti peluru mereka, bagi militer Rusia seperti kain merah untuk seekor banteng. Setelah aneksasi Rusia atas Krimea pada 2014, satu per satu jurnalis dideportasi dari semenanjung itu atau ditangkap, 14 orang citizen journalist yang masuk untuk menggantikan mereka, juga mendekam di penjara Krimea dan Rusia atas tuduhan sebagai pelaku terorisme atau ekstremisme agama.

Padahal, satu-satunya kesalahan mereka adalah karena mereka secara sukarela memikul tanggung jawab untuk menyingkap penindasan Rusia terhadap para pembangkang (warga  yang tidak mengakui pencaplokan Krimea). Kurkov mencatat nama-nama para pemberani yang telah dijatuhi atau sedang menunggu hukuman itu, antara lain Vladislav Esipenko, Marlen Asanov, Osman Arifmemetov, Remzi Bekirov, Ruslan Suleimanov, Rustem Sheykhaliev, Server Mustafaev, Seyran Saliev,  Ibragimov, Amet Suleymanov, Alexei Besarabov, Irina Danilovich, dan Nariman Dzhelal. Selain mereka, lebih dari 200 warga Ukraina juga meringkuk di penjara.

Baca juga:  Pemetik Puisi (21): Salam Disingkat

Bukan saja berhenti menulis seperti pilihan Vakhtang Kebuladze dan Andrey Kurkov, novelis Oleh Sentsov malah mendaftarkan dirinya sebagai tentara sukarela, ia bergabung dengan pasukan pertahanan teritorial  (Territorial Defense Forces). Sebagaimana dilaporkan oleh Kate Tsurkan (2022) dalam  How Ukrainian Writers Are Contributing to the War Effort, Sentsov dikenal dunia setelah ia ditangkap atas tuduhan terorisme palsu karena memprotes pencaplokan Rusia atas tanah kelahirannya, Krimea. Ia menghabiskan lima tahun humuman dan hampir mati setelah melakukan aksi  mogok makan selama 145 hari.

Sejak kembali ke Ukraina dalam pertukaran tahanan pada 2019, Sentsov berkembang pesat secara artistik. Novel satirnya The Second One’s Also Worth Buying (2020) merupakan alegori tentang perang Rusia-Ukraina. Begitu pula dengan film-nya Rhino tentang geng kriminal di Ukraina era 90-an di mana tayang perdananya sebelum serangan Rusia ke Ukraina,  memperoleh sambutan yang semarak. Kini, setiap pembaruan status di dinding Facebook-nya, Sentsov menampilkan dirinya dalam seragam tentara. “Kami akan memenangkan perang ini karena kami tidak punya pilihan lain,” kata Sentsov dalam satu video unggahannya.

“Sebelum perang ini dimulai, saya mengabdikan hidup saya untuk sastra: menerjemahkan, menulis dan menerbitkan buku karya pengarang Ukraina,” demikian pengakuan Kate Tsurkan yang menulis laporan untuk www.lithub.com,  langsung dari Chernivtsi, tempat tinggalnya. Sebuah kota sepi di sisi barat Ukraina yang  dulu dikenal sebagai kota puisi (the city of poetry). Menurut data pemerintah setempat, Chernivtsi telah menampung lebih dari 12.000 pengungsi dari seluruh Ukraina. Tsurkan mengaku, sejak serangan Rusia tiba,  ia belum menyentuh satu buku pun. Aktivitas utamanya adalah memeriksa banyak penulis, untuk memastikan mereka berada dalam keadaan relatif aman. “Bagaimana kata-kata dapat membangun kembali kota-kota besar Ukraina seperti Kharkiv, yang saat ini sedang diratakan oleh tentara Rusia?” tanya Tsurkan. Menurutnya co-founder dan editor utama Apofenie Magazine  itu, di masa perang, kata-kata mungkin mengecewakan, tapi banyak penulis Ukraina telah menemukan cara (selain menulis) untuk berkontribusi dalam perang itu, dengan menjadi sukarelawan alias mengangkat senjata.

Itulah yang dilakukan oleh Artem Chapeye, penulis Ukraina yang dikenal dengan fiksi popular dan non-fiksi kreatifnya. Setelah Rusia melesatkan rudal   di kota-kota penting Ukraina, Chapeye mengevakuasi keluarganya dari Kyiv, lalu ia kembali untuk  mendaftar sebagai tentara sukarela. “Saya masih anti-perang, tapi saya tidak punya pilihan,” kata finalis 4 kali penghargaan buku tahunan BBC Ukraina itu, seperti dikutip Tsurkan. Panggilan sadar untuk terjun langsung ke medan tempur juga ditunaikan oleh jurnalis Stanislav Aeyev. Penulis buku The Torture Camp on Paradise Street (2021) itu sudah merasakan akibat perang, jauh sebelum peristiwa 24 Februari 2014 (Revolusi Maidan dan aneksasi semenanjung Krimea oleh Rusia).

Aeyev memilih tetap tinggal di negara asalnya Donetsk, sebuah kawasan industri di Ukraina timur, setelah diduduki pasukan Rusia. Ia ingin melaporkan kebenaran tentang apa yang terjadi di sana, tapi pada musim panas 2017, ia ditangkap atas tuduhan spionase palsu dan dikirim ke Izolyatsia, bekas pabrik dan pusat kesenian yang diubah menjadi  penjara. Aeyeev telah  menghabiskan hampir dua setengah tahun hidup bagai di neraka setiap hari, hingga ia dibebaskan dalam pertukaran tahanan kedua pada 2019. Sejak itu, ia berkeliling dunia untuk menyebarkan pesan tentang kejahatan perang Rusia yang terus berlangsung di Donbas. Aeyeev berada di Kyiv ketika Rusia menyerbu, ledakan membangunkannya dari tidur. Setelah memastikan ibunya aman di barat Ukraina, ia kembali ke Kyiv untuk bergabung dengan Pasukan Pertahanan Teritorial.

Baca juga:  Iklan Majalah Adzan: Bukan Berkumandang, Tapi Berhadiah

“Kami hancur dan kami sangat sedih. Tapi kemarahan adalah perasaan yang dominan,” kata novelis muda Ukraina, Victoria Amelina. “Dan kebanggaan!” tambahnya. Mantan Duta Besar AS untuk Rusia, Michael McFaul, yang memoderatori diskusi daring di atas, menyatakan kekagumannya pada rakyat Ukraina karena perlawanannya. Menurut profesor Universitas Stanford itu, invasi Rusia setidaknya telah menyatukan Ukraina dari perpecahan politik yang dalam dan luas. Di forum virtual itu pula, Kurkov dan Amelina meminta warga AS untuk berpartisipasi dalam protes jalanan guna meminta anggota kongres mereka mendapatkan dukungan atas zona larangan terbang di wilayah udara Ukraina. “Tolong jangan biarkan mereka membunuh saya dan teman-teman saya!” mohon Amelina. Kebebasan berkarya yang dikenang oleh Andrey Kurkov dalam skala lebih luas dapat dilihat pada kebebasan rakyat Ukraina untuk membayangkan sebuah bangsa berdaulat yang menjadi bagian dari masyarakat Uni-Eropa.

Sejak berdiri sebagai bangsa yang mandiri, menjadi bagian dari UE adalah visi futuristik orang-orang Ukraina. Dalam serial televisi Servant of The People (2016) secara gamblang ditampilkan betapa girangnya presiden fiksional Vasyl Petrovych Goloborodko—diperankan oleh Volodymyr Zelenskyy yang kini menjabat sebagai presiden Ukraina sungguhan—saat menerima telpon dari Angela Merkel (mantan kanselir Jerman) yang mengabarkan bahwa Ukraina telah diterima sebagai anggota UE. Sesaat kemudian, Vasyl Petrovych tampak sangat kesal, ia mengumpat-umpat sambil berjalan di halaman kantor kepresidenan Ukraina karena pembicaraan dengan presiden dewan Uni-Eropa masa itu hanyalah komunikasi salah sambung. Merkel menjelaskan, yang seharusnya diberi selamat adalah presiden Montenegro, tapi entah kenapa, telponnya malah tersambung dengan nomor kontak pribadi presiden Ukraina.

Kini, kebebasan bangsa Ukraina untuk menggapai mimpi besar itu—termasuk visi pertahanan dengan menjadi anggota NATO—tak hanya terkendala oleh hubungan telpon salah sambung, tapi dihadang oleh gempuran rudal yang meluluhlantakkan kota-kota penting di Ukraina. Gempuran tak henti-henti yang membuat orang-orang harus meninggalkan Kyiv, di mana Vakhtang Kebuladze, Victoria Amelina, dan para penulis Ukraina lainnya memilih menyelamatkan nyawa mereka terlebih dahulu ketimbang mengurus karya-karya. Atau seperti Andrey Kurkov yang saban hari mengabarkan ramalan cuaca Ukraina ketimbang menuntaskan penulisan novelnya. Atau yang nekat terjun langsung dalam kecamuk perang dengan senjata di tangan, seperti pilihan Oleh Sentsov dan Artem Chapeye. Yang pasti, bagi mereka, kini tak ada waktu untuk menulis. Jejak tinta di kertas kerjanya bagai tertutupi oleh timbunan debu dari puing gedung-gedung bertingkat setelah diluluh-lantakkan oleh rudal Rusia….

 

 

 

 

https://alif.id/read/damhuri-muhammad/di-ukraina-novel-dan-fiksi-jenis-apapun-telah-kehilangan-makna-b244629p/