Dikit-dikit Taliban

Keterangan foto tidak tersedia.
Oleh Muhammad Jawy, Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo)

Video santri menutup telinga ketika musik disetel selama antri vaksin mendapat komentar dari beberapa orang. Diaz Hendropriyono menyebutnya pendidikan yang salah. Denny Siregar juga menambahi seharusnya yang disetel Metallica. Abu Janda menambahi, mereka mabok agama.

Nada yang menghakimi para santri dengan narasi bibit radikal bisa jadi terkait dengan situasi kembalinya kekuasaan Taliban yang diberitakan melarang musik di negerinya. Mereka kuatir, kalau para santri itu menjadi cikal bakal Taliban di Indonesia.

Ini tentu saja pandangan yang terpengaruh bias konfirmasi, karena banyak informasi yang sebenarnya belum kita ketahui, tapi sudah mudah mengeluarkan tuduhan.

Namanya orang lagi belajar, memang butuh konsentrasi tinggi, suara gaduh, suara televisi, hingga musik, bagi beberapa orang memang bisa sangat mengganggu. Tidak usah belajar hafalan Qur’an, jaman saya sekolah, bete banget kalau pas lagi belajar mata pelajaran hafalan seperti biologi, kemudian ada tetangga kamar nyetel musik keras-keras.

Itu sebabnya di Jogja jaman dulu, setelah jam 18, kalau ada motor masuk gang sempit, harus dituntun, mesin dimatikan. Televisi juga diminta dimatikan, karena jam-jam tersebut adalah Jam Belajar Masyarakat. Tradisi ini semakin menghilang sejak TV swasta punya banyak program menggoda, apalagi sekarang era internet. Jogja sekarang masih berjuang mengembalikan model JBM itu.

Apakah saya mengharamkan musik? Lha tidak, wong saya jaman sekolah di Jogja itu pemain band angkatan je, saya pegang bass. Di kamar kost saya punya koleksi kaset Guns N Roses, Nirvana, Metallica, yang bergantian mengisi tape deck Sony saya.

Tapi pertanyaannya, lha mereka khan lagi di ruang publik, bukan jadwal jam biasanya orang belajar? Ya namanya orang sedang berjuang menghafalkan sesuatu, termasuk hafalan Quran, bisa jadi jam antri vaksin yang wajib itu, tidak memberikan dispensasi mereka untuk setoran hafalan yang biasanya dilakukan setiap hari. Bisa jadi mereka butuh untuk berusaha menjaga hafalannya tidak lepas, menurut saya wajar saja.

Dan semakin jelas ketika tokoh yang jelas bukan bagian dari kelompok radikal bersuara. Intelektual muda NU Nadirsyah Hosen juga mengingatkan agar jangan terburu menuduh para santri berpaham radikal. Yenny Wahid juga meminta supaya jangan gampang memberi cap radikal. Hingga Sudjiwo Tedjo pun turut memberikan pandangan. Demikian juga BPIP sama, jangan mudah menghakimi.

Media sosial memang menjadi sarana asyik untuk menyampaikan pendapat. Tapi sebaiknya tidak asal berpendapat, namun selamilah dulu pemikiran dan persepsi dari banyak pihak yang amat beragam di Republik ini. Jangan gegabah melontarkan tuduhan apalagi nyinyiran, siapa tahu kita punya persepsi negatif, karena kurang srawung, kurang gaul, kurang silaturahmi, kurang ngobrol, tapi jari terlalu cepat menghakimi.

Karena bahaya banget kalau budaya terburu menghakimi dibiarkan. Ketersinggungan etnis dan agama, bisa berujung konflik horizontal akibat ulah jari yang tidak sabar.