Dilema Kecerdasan Buatan

Derap perkembangan zaman membuat banyak manusia nampak terhuyung. Teknologi semakin berlimpah dan ingin menunjukkan sudah tak ada lagi yang lemah. Hal yang kemudian memprihatinkan adalah dimensi hubungan yang terjadi antara manusia dengan teknologi. Di satu sisi banyak manusia terselamatkan dengan kemampuan adaptasi. Sementara itu, pada sisi lain, tak sedikit manusia terjerembab dalam perangkap keterasingan zaman.

Nampaklah ketika kita mengajukan ulang ungkapan yang digagas oleh Sunan Kalijaga sangat relevan sebagai prinsip dan pedoman. Ungkapan tersebut berupa: Anglaras ilining banyu angeli, ananging ora keli. Petuah itu bukan sebatas nasihat, namun semacam prediksi panjang yang menggambarkan zaman. Makna tersirat yang dapat diambil bahwasannya sebagai manusia menjalankan hidup laksana air yang mengalir, namun tidak boleh hanyut dalam arus kehidupan.

Pembacaan demi pembacaan terhadap masa depan pernah pula dilakukan oleh seorang pujangga Keraton Kasunanan Surakarta, Ranggawarsita dengan kiasan demi kiasan. Kita kadang sebatas menyebut ramalan, padahal sejatinya terpatri makna kebudayaan ilmu dan pengetahuan yang mangkus dan sangkil dalam memberikan hipotesis maupun dugaan akan apa saja yang terjadi masa depan. Kiasan yang tersaji dalam tulisan demi tulisan itu seiring berjalannya waktu terjadi. Misalkan frasa “Tanah Jawa kalungan wesi” yang menggambarkan peradaban kereta api.

Baca juga:  Dualisme Sains

Dahulu, mungkin hanya sedikit orang yang berpikir akan kemungkinan munculnya kecerdasan buatan yang kemudian mengusik dimensi kehidupan. Di tradisi Eropa dan Amerika, kecerdasan buatan dimunculkan melalui film genre fiksi sains. Kemunculan itu yang kemudian benar terjadi menjadi kekhawatiran manusia. Apalagi saat kecerdasan buatan dalam beberapa hal menyerupai manusia. Ini menimbulkan ketegangan, baik ilmu, pengetahuan, kebudayaan, dan iman.

Ahli filsafat, Saras Dewi lewat bukunya Sembahyang Bhuvana (2022) memberi keterangan: “Teknologi robotik saat ini sedang mengembangkan robot-robot yang tidak hanya dilengkapi dengan kecerdasan buatan, tetapi juga dengan kepekaan sosial dan emotif.” Banyak manusia tentu mendapati kelimpungan dengan sederet pertanyaan. Pertanyaan itu salah satunya mengarah pada keberadaan manusia dan masa depan kemanusiaan.

Pada perkembangannya, terasa semakin mencekam perkembangan kecerdasan buatan yang sejatinya juga digagas oleh manusia dalam dinamika ilmu dan pengetahuan. Di Harian Kompas (16/12/2022), Dekan Fakultas Filsafat UGM, Siti Murtiningsih menulis esai “Filsafat dan Batas Ambang Kemanusiaan”, berkisah bahwa yang menjadi isu hangat di kalangan para ahli saat ini adalah upaya penyuntingan genom. Bila itu benar terjadi, kelak yang dibuat bukanlah robot dengan kecerdasan buatan, namun manusia dengan kecerdasan buatan yang dapat diatur.

Pernyataan menarik dari Murtiningsih berupa: “Proyek penyuntingan genom, sama seperti proyek kecerdasan buatan, juga akan mengaburkan batas-batas kemanusiaan kita. Agama dan juga ajaran kebijaksanaan sering memberi tahu kita bahwa manusia adalah makhluk yang lemah dan terbatas. Ia bisa sakit, tidak mengetahui segala hal, dan kemudian mati. Namun, jika penyuntingan genom untuk menciptakan manusia super itu berhasil, sebagian keterbatasan yang menjadi ciri khas kemanusiaan kita hanya akan menjadi cerita masa lalu.”

Baca juga:  Seni Memahami Sains

Keterangan itu penting untuk kerangka dalam memberikan sebuah tafsiran. Nampaknya wahana yang perlu diperhatikan adalah mengembalikan konsep akan kebudayaan ilmu dan pengetahuan. Hal itu juga pernah disinggung oleh Mochtar Lubis (1982) lewat esai “Dampak Teknologi dan Kebudayaan”. Ia menyebut: “Amat penting agar manusia dapat menguasai kemajuan sains dan teknologi dengan mengembangkan nilai-nilai kebudayaan secara berimbang dengan kemajuan sains dan teknologi itu.”

Keseimbangan itu menjadi perkara pelik di abad XXI. Lebih-lebih adalah watak yang kerap terjadi di banyak manusia adalah menggunakan kemajuan ilmu dan pengetahuan dengan penguasaan terhadap segalanya. Konsensus akan hakikat ilmu dan pengetahuan tersebut haruslah menjadi perbincangan inti. Kita tak membayangkan bagaimana kecerdasan buatan ditumpangi nalar kuasa yang membuka peluang hilangnya kemanusiaan.

Terkait itu, ada hal menarik yang diungkap oleh ahli matematika Inggris, Junaid Mubeen lewat buku Kecerdasan Matematis (2022) akan pentingnya kekuatan manusia terhadap matematika. Tegasnya: “Kecerdasan matematis adalah sistem untuk menjadikan kita pemikir dan pemecah masalah yang lebih baik, dengan menggunakan berbagai perkakas yang telah teruji oleh para matematikawan. Di mana di era mesin pintar saat ini, kecerdasan ini semakin dibutuhkan lebih dari sebelumnya.”

Penjelasan itu membawa kita semua sadar bahwa keterhubungan ilmu dan pengetahuan terhadap kebudayaan adalah satu hal mutlak. Itu menyangkut etika dan nilai kemanusiaan. Kendati demikian, banyak hal yang mesti dilakukan berupa kerja sama dari berbagai pihak. Semuanya tentu perlu memiliki landasan mendasar berupa kesadaran manusia untuk mewujudkan kehidupan yang penuh keserasian. Dari kesadaran pengetahuan menuju ke kebijaksanaan.[]

Baca juga:  Pesantren Virtual dan Ladang Monetisasi Kyai di Ruang Digital

https://alif.id/read/joko-priyono/dilema-kecerdasan-buatan-b246869p/