Meski baru 1 tahunan pindah dari Solo, tapi rasa kangennya masih sering muncul. Apalagi selama 4 tahun di Solo, saya berkesempatan tinggal di tempat yang menurut saya penuh keromantisan. Duh, jadi ingin nostalgia terus.
Tidak banyak orang tahu, jika di kompleks Masjid Agung Surakarta, ada hidden gem pesantren Al-Qur’an disana. Lokasinya berada di belakang masjid—tapi harus masuk lewat gerbang utara masjid yang punya nama Belanda Noordelijke Padoeraksa van de Solo-Moskee. Tak jauh dari gerbang utara, di sebelah kanan terdapat gapura pendek berwarna putih. Kalau dilihat dari luar, sekilas akan terlihat deretan rumah satu sisi. Nah, di depan deretan rumah itulah pesantren tempatku nyantri di Solo.
Pesona Kampung Gedang Selirang
Salah satu yang bikin kangen selain suasana mondok ya suasana Kampung Gedang Selirang. Deretan rumah yang bisa diliat dari luar gapura itulah yang dinamakan Kampung Gedang Selirang. Kita sering menyebutnya “Gedsel”.
Kampung Gedang Selirang ini telah mengalami sedikit pergeseran fungsi dari tujuan awalnya. Menurut cerita, pada masa Keraton Kasunanan Surakarta ada beberapa abdi ndalem yang ditugaskan untuk mengurus Masjid Agung, tetapi jarak rumah mereka jauh dengan masjid. Demi kenyamanan dan efisiensi, dibangunlah Kampung Gedang Selirang untuk mereka.
Merekalah yang tinggal disana dan mengurus masjid. Kemudian keturunannya lah yang melanjutkan tinggal disana dengan syarat mengurus masjid. Dulu tempat tinggal tersebut terbuat dari gedek dan papan sebagai pembatasnya, bangunannya banyak, dan yang tinggal disana juga banyak. Kini bangunan tersebut sudah dibangun ulang dengan tembok menjadi 9 rumah dengan ukuran 5,5×9,5 meter. Keluarga yang tinggal disana pun juga semakin sedikit.
Sejak awal nyantri, bangunan Gedang Selirang yang paling dekat dengan gapura sudah beralih fungsi menjadi kantor administrasi pondok. Bangunan sebelah kantor juga baru-baru ini direnovasi sebagai kamar untuk santri. Beberapa penduduk yang menempati Gedang Selirang merupakan ustadz, imam, ta’mir masjid, muadzin, petugas pembuat teh manis, serta para ibu-ibu yang bertugas memasak setiap ada hajat di Masjid Agung. Salah satu ustadz kami yang tinggal disana dan merupakan ta’mir Masjid Agung, saat ini juga merupakan Tafsir Anom ke-24 atau istilahnya Menteri Agamanya Keraton Kasunanan Surakarta.
Disana juga terdapat koperasi tempat para santri njajan. Ada yang membuka jasa laundry langganan para santri. Lalu ada pemilik hik, namanya Pak Kelik, beliau biasa menggelar dagangan di luar gerbang utara. Meski kami dilarang keluar malam, tapi kalau ke hik Pak Kelik masih diizinkan. Salah satu yang bikin ngangenin ya es kampul Pak Kelik yang tiada duanya. Dulu jarang sekali beli es kampul, tapi setelah jauh dari Solo, rasanya menyesal dulu jarang minum es teh Solo.
Guyub Rukun Warga Gedang Selirang
Kenapa dinamakan Gedang Selirang? ya, karena bentuknya seperti gedang selirang. Sebenarnya bukan ‘seperti’ yang mirip. Tapi mungkin karna dibangun sama dan berjajar, maka seperti gedang selirang. Gedang selirang artinya pisang sesisir. Menilik dari namanya, saya justru memaknai dari sisi lain. Biasanya kalau mau bikin pisang goreng, kita membeli pisang sesisir itu. Dalam satu sisir pisang, sudah pasti bentuknya berbeda-beda, meski ia berasal dari satu baris, satu tandan, satu pohon, setiap buah pisang pasti tidak sama. Sama halnya dengan Kampung Gedang Selirang. Selayaknya perkampungan pada umumnya, penduduk yang tinggal disana berasal dari latar belakang yang berbeda, dengan karakter yang berbeda pula.
Tapi ada satu hal yang tidak bisa dipisahkan dari Kampung Gedang Selirang, yaitu guyub rukunnya. Semua penghuni Gedang Selirang merasa mereka adalah satu keluarga. Sudah seperti saudara—seperti pisang setandan. Saat ada hajat di pondok maupun masjid, Ibu-Ibu Gedang Selirang akan gotong royong membantu atau menyajikan makanan. Kami juga mengadakan acara tirakatan 17 Agustus bersama. Mereka juga akrab dengan para santri. Guyub rukun adalah ruh kehidupan masyarakat yang pastinya didasari sikap saling menghormati, tepo seliro, empati, dan sebagainya (Nadar dkk, 2024).
Kampung Gedang Selirang telah menempati dimensi ruang dalam sejarah peradaban Kasultanan Keraton Surakarta. Kini seperti kampung-kampung lain yang terbentuk sejak dulu di Kota Solo, Gedang Selirang masih eksis berdiri di tengah era urban Kota Solo. Meski sedikit bergeser dari fungsi awalnya, tetapi dominansi fungsi Gedang Selirang terhadap Masjid Agung Surakarta tidak pernah berubah. Menurut Ramdhon (2016), keberadaan kampung menawarkan kehidupan sosial dengan dimensi luas dan biasanya kampung adalah gudang dari legenda perkotaan, yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Meski kampung gedang selirang berada di dalam kompleks Masijd Agung, tetapi termasuk ke dalam RT 3 RW 2 Desa Kauman, Kec. Pasar Kliwon. Warga Gedang Selirang juga selalu aktif mengikuti setiap kegiatan desa, seperti kirab, Agustusan, sadranan, dan lain-lain.
Sepertinya kenangan Gedang Selirang akan melekat di benak santri Masjid Agung yang sudah jadi alumni. Kalau kangen, aroma pisang goreng dan gorengan hik Pak Kelik jadi yang pertama tercium di benak kita—dan juga es kampulnya.
Referensi :
Nadar, M., dkk. 2024. Motivasi Moderasi Beragama. Pekalongan: Penerbit NEM.
Ramdhon, A. 2016. Merayakan Negara Mematrikan Tradisi. Yogyakarta: Pandiva Buku.
Artikel Dimensi Ruang Kampung Gedang Selirang di Era Urban Kota Solo ini ditulis oleh Husna Zuhaida dan pertama kali diterbitkan di Alif.ID
Alif.ID – Alif.ID – Berkeislaman dalam Kebudayaan
https://alif.id/read/hsz/dimensi-ruang-kampung-gedang-selirang-di-era-urban-kota-solo-b249678p/