Dalam beberapa tahun terakhir, perbincangan tentang peta jalan Satu Abad Nahdlatul Ulama sudah sering dibahas berbagai pihak dan institusi. Komunitas-komunitas santri membahas ide-ide ini dengan cara pandang masing-masing. Sebagian menulis catatan reflektif secara personal, sebagian membangun gagasan berbasis komunitas dan institusi.
Bahkan, belum seratus tahun Nahdlatul Ulama dirayakan, telah menjamur pembahasan tentang rumusan Abad ke-2 organisasi ini. Usia menjelang satu abad tentu saja menorehkan catatan panjang yang layak disimak dan dimaknai. Secara organisasi, NU telah mengalami berbagai belokan sejarah: dari pra kemerdekaan hingga reformasi, dari era awal inovasi teknologi hingga muncunya society 5.0.
Nahdlatul Ulama berdiri dalam konteks politik regional dan internasional. Organisasi ini tidak hanya ‘kebangkitan ulama’ yang mengkhususkan pada pengabdian aspek keumatan-keislaman, namun juga pada konteks kebangsaan dan politik internasional. Horizon dan visi besar inilah yang harus dipahami serta menjadi perspektif bersama.
Bahwa para kiai Nahdlatul Ulama berjuang melawan kolonialisme, bersama-sama para pejuang lain mengusung kemerdekaan, itu sudah jamak diketahui. Sudah jelas sejarahnya, para kiai NU ikut membidani berdirinya Republik Indonesia. Laskar santri-kiai menjadi tulang punggung pergerakan nasional di berbagai kawasan, serta pada titik krusial melawan penjajah Belanda dan Jepang. NU jelas punya ‘saham’ yang besar dalam berdirinya Indonesia.
Di sisi lain, dalam konteks geopolitik internasional, para kiai NU juga berpikir global dengan merespon situasi di Timur Tengah secara tepat. Para kiai NU menganalisa problem, merumuskan gerakan dan mengirim utusan untuk diplomasi internasional secara tepat. Kita mengenal Komite Hijaz sebagai ‘special envoy’, utusan khusus atau Duta Nahdlatul Ulama untuk negosiasi internasional. Komite Hijaz melakukan kerja diplomasi jauh sebelum merekahnya gagasan kemerdekaan, sebelum Indonesia merdeka.
Tentu saja, diplomasi ala Nahdlatul Ulama ini harus menjadi catatan sejarah penting. Bahwa, komunitas Islam di Nusantara berani melakukan lobi politik dan negosiasi dengan Raja Arab untuk menyelesaikan sengketa di Timur Tengah. Bisa dibayangkan betapa gigantik nyali dari Kiai Wahab Chasbullah dan tim Komite Hijaz dalam melaksanakan tugas ini.
Saya ingin menyatakan bahwa Kiai Wahab merupakan Diplomat Nahdlatul Ulama. Beliau meletakkan secara jelas nilai, fungsi, sekaligus juga strategi negosiasi ala santri. Nyatanya, misi Komite Hijaz berhasil dan dampak pentingnya bisa dirasakan umat muslim seluruh dunia.
Tentu, refleksi yang bisa dihadirkan kemudian: para santri sejak awal punya keahlian diplomasi. Penguasaa teks keislaman, analisa politik internasional, kecakapan berbahasa, jaringan pertemanan yang luas, hingga nyali besar untuk bernegosiasi–yang menjadi prasyarat kerja-kerja diplomatik–dikuasai secara sempurna oleh Kiai Wahab. Tersebab para kiai NU telah menjadi diplomat hampir satu abad lalu, tentu tidak aneh jika santri-santri saat ini menjadi diplomat yang mengemban tugas negara.
Diplomasi santri inilah yang menjadi nilai penanda estafet pergerakan alumni-alumni pesantren yang berkiprah di level regional dan global. NU tidak pernah kehabisan ulama, penggerak, dan kader-kader yang mewarnai di berbagai level. Para diaspora santri yang saat ini tersebar di berbagai negara, bisa dikonsolidasi menjadi energi besar agar berkontribusi untuk NU, Indonesia dan dunia.
Sudah banyak pihak yang membahas tentang bagaimana menyongsong 100 tahun Nahdlatul Ulama dan bahkan abad ke-2 organisasi ini. Kesadaran ini telah meluas tidak hanya di kalangan aktifis di Jakarta saja, namun juga di berbagai daerah. Komunitas-komunitas santri telah menyelenggarakan diskusi, baik offline maupun online. Belum lagi, secara kelembagaan baik dari GP Ansor, ISNU, RMI, LP Maarif dan beberapa lembaga lainnya.
Meski demikian, belum ada grand-design yang jelas dan terang yang menjadi pernyataan resmi dari PBNU secara organisasi dan kemudian dideminasi secara luas kepada warga Nahdliyyin. Masing-masing lembaga dan komunitas membayangkan seratus tahun NU dan Abad ke-2 organisasi ini, dalam pikiran masing-masing. Perlu ada pertemuan strategis yang melibatkan lembaga-lembaga untuk membahas secara mendalam, meneroka masa depan, sekaligus membagi peran dalam road-map NU untuk melangkah pada abad ke-2.
Grand design ini sangat penting, agar lapisan-lapisan generasi Nahdlatul Ulama bisa paham ke mana arah dan bagaimana melangkah. Kapal besar membutuhkan nahkoda yang tangguh sekaligus visioner, yang didukung tim solid untuk menggerakkan semua elemen agar berbagi peran mengupayakan tujuan bersama.
Gus Yahya C Staquf, dalam sebuah diskusi menyampaikan ada warning betapa saat ini para petualang kekuasaan dan politisi sudah mengetahui cara mengakses konstituen NU tanpa melalui pengurus resmi. Artinya, warga Nahdliyyin bisa diakses langsung dalam pertarungan politik, dengan menggunakan strategi dan media khusus yang tanpa melibatkan pengurus struktural.
Dalam banyak hal, kondisi ini tentu ada kelebihan dan kekurangannya. Hal positif ketika jamaah yang berjumlah lebih 90 juta ini, memiliki keragaman dalam pandangan dan perspektif. Artinya, dalam isu-isu yang terbuka perdebatan, ada keragaman yang mendewasakan. Namun, kekurangannya, dalam gerakan politik menjadi tidak sepenuhnya solid. Dan memang, saya kira ini khas NU pasca menjadi partai politik dalam lintasan zaman.
Di sisi lain, otoritas pengetahuan di lingkungan NU menjadi sangat dinamis. Inovasi digital dan tumbuhnya media sosial mendorong kiai-kiai muda pesantren untuk aktif berdakwah di media baru yang membuka kesempatan mempengaruhi komunitas di luar kaum santri. Fenomena Gus Baha menjadi contoh khas, betapa otoritas pengetahuan pesantren bisa menembus serta mempengaruhi kelompok di luar Nahdliyyin. Gus Baha bahkan sering memberi ceramah di beberapa Kementerian dan perusahaan teknologi, yang sebelumnya tidak banyak kiai Nahdliyyin yang berdakwah di wilayah itu.
Nah, saya kira roadmap untuk abad ke-2 Nahdlatul Ulama harus disiapakan secara serius. Harus ada pihak-pihak yang berpikir strategis yang kemudian ditransformasi secara bertahap melalui lembaga-lembaga di NU dan pesantren secara keseluruhan. Selain itu, peta jalan NU pada abad ke-2 juga harus berkolerasi dengan road-map Indonesia 2045.
Bahwa, gerakan santri pada saat ini dan mendatang segaris dengan gerakan memajukan Indonesia. Para santri yang saat ini belajar baik di dalam negeri maupun di luar negeri, secara selaras menjadi tulang punggung untuk Indonesia 2045, sekaligus mengawal mimpi besar Nahdlatul Ulama pada tahapan abad kedua. (*)
Pilihan Redaksi
https://alif.id/read/munawir-aziz/diplomasi-santri-narasi-nu-abad-ke-2-dan-indonesia-2045-b239780p/