Laduni.ID, Jakarta – Ketua Yayasan Talibuana Nusantara, Dr. Endin AJ. Soefihara, MMA., dalam sambutannya mengatakan bahwa dalam rangka mengelola negara Indonesia yang majemuk, diperlukan hubungan yang harmoni antara sesama masyarakat yang bernaung di dalamnya.
“Hubungan yang harmoni inilah, baik harmoni dalam hubungan kemanusiaan, harmoni dalam kewilayahan, harmoni dalam apa saja yang kemudian disebut dengan istilah moderasi. Dalam keadaan yang saling memahami, saling menghargai, saling mengetahui apa yang menjadi area kehidupan masing-masing itu disebut kehidupan yang moderat,” ujarnya pada acara workshop yang diselenggarakan Yayasan Talibuana Nusantara bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI tahun 2021, dengan tema “Penguatan Kapasitas Moderasi Beragama Bagi Guru pendidikan agama Islam”, pada Rabu, (8/12/21) di Hotel Sofyan Cut Meutia, Jakarta Pusat.
Lebih lanjut, perilaku kehidupan yang moderat itu ia sebut sebagai kehidupan yang memiliki alam dan sifat-sifat moderasi. Dari itu, ia menekankan pentingnya masyarakat Indonesia mengamalkan serta mengembangkan sistem moderasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Nah sistem moderasi dalam kehidupan itu banyak hal, tidak hanya beragama saja. Tapi pembicaraan kita pada hari ini adalah sistem kehidupan yang harmoni dalam kehidupan beragama. Karena itu kita menyebutnya moderasi beragama,” ujarnya
Dalam konteks kehidupan beragama, Endin membagi empat kategori wilayah yang harus dihormati oleh masing-masing individu. Keempat tersebut yakni wilayah privat, wilayah publik, wilayah privat publik, dan wilayah publik privat. Dalam pelaksanaannya, ia menegaskan agar wilayah privat dalam beragama tidak boleh bersinggungan dengan wilayah publik.
“Jangan mentang-mentang kita mau menunaikan ibadah shalat lalu kita serta merta kita melakukan ibadah shalat, di mana sesuai kesukaan kita karena itu wilayah pribadi kita,” ungkapnya.
“Nah apalagi yang wilayah publik, dalam rangka mengamalkan ini semua, itu yang disebut bahwa kita perlu keharmonisan dalam mengamalkannya,” lanjutnya.
Ia pun berpesan kepada yang hadir agar senantiasa meningkatkan keyakinan keagamaan dengan kebenaran mutlak, yakni kebenaran yang didapat adalah kebenaran ketuhanan.
“Soal mereka mengaku benar tentang agamanya itu urusan dia. Kalau kita mau berdakwah kepada dia untuk mengikuti keberagamaan kita, boleh-boleh saja. Tetapi dakwahnya juga harus menggunakan metodologi dan transformasi kehidupan yang tetap moderat dan harmoni, dan kita menghindari konflik-konflik diantara pergaulan sesama kita,” pungkasnya.
Pada kesempatan yang sama, turut hadir mantan narapidana terorisme, Sofyan Tsauri.
Berdasarkan hasil riset yang dikeluarkan oleh Badan Intelijen Negara (BIN), ia mengungkapkan bahwa sekitar 2% di kalangan kepolisian terpapar paham intoleransi dan radikalisme. Tak berhenti disitu, ia memaparkan lebih jauh bahwa paham intoleran tersebut turut menyasar hingga kalangan mahasiswa yang dominan berlatar pendidikan eksakta.
“Mengapa orang-orang eksakta jauh lebih rawan terkena paham-paham intoleransi dan radikalisme daripada orang-orang sosial, meskipun orang-orang sosial belum pernah belajar Ushul Fiqh. Karena orang-orang sosial itu ketika melihat persoalan itu lebih utuh, melihat persoalan itu dari ketinggian. Tidak seperti orang-orang eksakta yang terjebak image building seperti halnya satu tambah satu sama dengan dua. Jadi manusia itu disamakan kayak kalkulator, gak boleh salah,” papar Sofyan.
Sejatinya paham intoleran dan radikalisme dapat dicegah dengan berpegang teguh pada tiga prinsip utama ajaran Islam, yakni Akidah, Fiqh, dan Tasawwuf. Menurutnya, jika 3 prinsip tersebut hilang, maka dapat dipastikan orang-orang akan cenderung menjadi jahat.
“Nah masalahnya di kelompok-kelompok jihadis keburu mengkafirkan tasawwuf, terlanjur membenci tasawwuf,” terangnya.
Sejatinya, terang Sofyan, setiap individu yang menjalankan syariat Islam dengan benar, tentulah akan menjadikan diri mereka menjadi lebih smart dan beprestasi. Namun yang mengherankan baginya adalah mengapa kelompok-kelompok radikal, ketika belajar Islam malah dengan entengnya mengkafirkan sesamanya, bahkan orang tuanya sendiri.
Ia lantas memberikan apresiasi kepada ormas Nahdlatul Ulama (NU) yang mampu survive di tengah gempuran kelompok radikal. Sebab menurutnya, para ulama di kalangan NU memiliki daya tahan yang kuat dalam menolak serangkaian pemikiran dan tindakan radikal yang dilancarkan oleh segelintir kelompok, disebabkan masih banyaknya para ulama yang menguasai ilmu Ushul Fiqh.
“Itu kiai-kiainya belajar wurud dan runut. Makanya dia bisa dibawa kemana aja. Mau dibawa ngegas bisa, dibawa lembut juga bisa,” lanjutnya.
Berdasarkan pengalamannya, Sofyan bercerita bagaimana awal mula dirinya menjadi seorang teroris. Sepengakuannya, sebelum menjadi teroris, ia enggan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Pasalnya ia meyakini bahwa bernyanyi itu hukumnya haram.
“Menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah menurut Muhammad bin Abdul Wahab telah jatuh kepada kekafiran,” terangnya.
Ia pun tak memungkiri bahwa mayoritas teroris yang telah ditangkap kebanyakan dari mereka menjadikan karya Muhammad bin Abdul Wahab sebagai referensi mereka.
“Maka ada kitab primernya di kelompok-kelompok para jihadis yang takfir-takfir ini namanya addhurur ats tsaniyah. Sekarang di Timur Tengah itu menjadi kajian serius kitab tersebut,” terangnya.
Lebih ekstrim lagi, lanjut Sofyan, seorang ulama yang bernama Syarif Hatim Al Auni turut melegitimasi kitab tersebut dengan mengatakan bahwa mengingkari adanya hubungan paham-paham takfiri dengan kitab addhurur ats tsaniyah, maka berarti ia telah mengkhianati umat dan negara.
“Karena ketika buku-buku karya Muhammad bin Abdul Wahab tidak boleh di kritik atau di syarah ulang, maka menyebabkan pemikiran-pemikiran ini akan mengancam setiap kita. Bahkan kita menipu para pemuda-pemuda kita untuk jatuh kepada paham-paham tersebut,” ungkapnya.
Ia pun mengingatkan agar jangan sampai nilai-nilai toleransi hilang di tengah masyarakat yang berbudaya. Sebab konsekwensi dari pengkafiran yang dilakukan oleh sebuah kelompok, bisa berdampak pada tumpahnya darah.
“Dan ini bahaya, karena konsekwensi daripada takfir tersebut, hasil eksperimen coba-coba tersebut berpotensi kepada tumpahnya darah, dan itu terjadi di seluruh dunia. Dan aparat kemanan jadi target penyerangan daripada kelompok-kelompok ini,” ujarnya.
Workshop yang berlangsung selama dua hari tersebut diikuti sebanyak 30 orang sebagai peserta yang keseluruhannya berprofesi sebagai guru PAI.
Pada kesempatan tersebut, acara turut dihadiri oleh Yanto Basri mewakili pihak kementerian agama, serta Dr. Anis Masykhur, M.A. selaku Kasubdit Bina Guru dan Tenaga Kependidikan MA/MAK, Kementerian Agama RI.
Oleh: Jaya Sasmita
Editor: Daniel Simatupang