Dua Barista: Sehimpun Cerita Poligami, Bahwa Praktik Tak Semudah Teori

Sejak awal diterbitkannya novel “Dua Barista”, sudah banyak kalangan yang ramai memperbincangkannya. Novel berplot pesantren dengan mengangkat problem poligami ini menuai pujian yang baik bagi para pembacanya.

Saya pun tak habis pikir dengan apa yang telah dituliskan neng Najhaty Sharma ini. Pada awalnya, saya mengira bahwa novel ini akan berbicara soal suasana cafe‘ lengkap dengan para barista yang ada. Jauh daripada itu semua, hal yang disuguhkan justru seputar biduk rumah tangga.

Tersebut Gus Ahvash sebagi tokoh utama dalam cerita, adalah seorang anak Kiai yang memiiki pesantren. Karena sebab orang tuanya yang semakin tua, dan pesantren yang ada semakin banyak santri yang berdatangan, Gus Ahvash digadang-gadang akan menjadi pewaris pimpinan pesantren kelak. Gus Ahvash menikah dengan putri seorang kiai ternama. Wanita cantik nan cerdas bernama Mazarina itu adalah wanita dambaannya sejak sewaktu mesantren di Jawa Timur.  Maka setelah selasai pendidikan Gus Ahvash dari Yaman, ia menikahinya dan memboyongnya untuk tinggal di Pesantrennnya di Tegalklopo, Purworejo.

Rumah tangga Gus Ahvash yang harmonis mulai tidak baik-baik saja sejak Neng Maza masuk rumah sakit. Penyakitnya semakin parah dan mengharuskan operasi pengangkatan rahim. Akibatnya, ia divonis tak dapat memberikan keturunan.

Wanita mana yang tidak meronta dengan keadaan yang tidak seperti pada umumnya. Menjadi mandul bukanlah sebuah pilihan. Sebab letak kesuksesan seorang wanita selain berbakti terhadap suaminya adalah menjadi sesosok ibu bagi anak-anak dari suaminya. Namun jika takdir itu telah digariskan, apalah daya kita sebagai hamba-Nya ini.

Baca juga:  Sabilus Salikin (95): Ajaran dan Adab Murid Pengikut Tarekat Khalwatiyah

Tentu atas realitas yang terjadi itu, Neng Maza mengizinkan suaminya untuk menikah lagi, merelakan diri memiliki madu. Bahkan Neng Maza sendirilah yang memilihkan madunya untuk suaminya.

Terpilihlah Meysaroh sebagai istri kedua Gus Ahvash. Seorang wanita desa asal Dieng yang telah lama mengabdikan diri untuk Pesantren. Selain ia seorang santri kawakan, juga sebelumnya adalah khodimah dari Neng Maza sendiri. Maka tak salah jika Neng Maza memilihnya sebagai madunya karena tau sendiri kabaikan-kebaikan dalam diri Meysaroh.

Tidak Benar Jika Mendua Itu Mudah

Keputusan berpoligami bukanlah pilihan yang ringan bagi Gus Ahvash. Semenjak awal, ia tak pernah menyangka akan terjadi hal demikian. Menjadi lelaki yang beristri dua tidaklah pernah ada dalam kamus hidupnya sebelumnya.

Ia pun tidak dapat membohongi perasaannya itu, soal kepada siapa sesungguhnya hati itu ia berikan. Tiap hari ia harus berusaha keras untuk berlaku adil dalam mengekspresikan cinta. Karena merayu dan menggombal dalam satu waktu pada dua perempuan memerlukan keterampilan yang terasah setiap waktu, setiap hari.

Kalaupun bukan karena desakan orang tuanya Gus Ahvash, mungkin Neng Maza sekalipun tak mampu memiliki keturunan akan dipertahankan oleh suaminya. Namun hal ini berbeda. Orang tua Gus Ahvash menghasrati jika kelak Pesantren Tegalklopo tersebut dipimpin oleh satu darah dengannya, bukan orang lain. Begitupula Neng Maza berpikir. Kalaupun jika bukan karena Pesantren membutuhkan kader untuk memimpin, mana mungkin ia rida dan rela untuk dimadu.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (9): Hujjah Ahlussunnah Wal jamaah

Sampai sini saya mulai terusik dan perasaan terasa diaduk-aduk membacanya. Tergambarkan degan jelas bahwa kehidupan rumah tangga yang poligami itu sangatlah rumit, runyam, penuh sandiwara dan kecemburuan. Tidak semudah yang terbayangankan selama ini.

Sejak kehadiran Meysaroh sebagi istri kedua dari Gus Ahvash, gejolak selalu timbul bahkan dari hal-hal remeh sekalipun. Novel mulai membuat geram dan sesekali mbaperi pembaca.

Semenggeramkan kelakuan Gus Ahvash memberlakukan istri keduanya bak mesin penghasil anak. Memang motivasi terkuat untuk berpoligami ini adalah persoalan keturunan. Namun Meysaroh juga  menginginkan hal yang sama seperti yang dilakukan suaminya kepada Neng Maza, dicandai, diajak diskusi tentang banyak hal.

Sementara di pihak Neng Maza pun demikian. Selain karena derita tak bisa memiliki anak rasa cemburu sering menyayat perasaannya. Setiap harinya diliputi rasa cemburu dan tak jarang menumpahkan tangis setiap kali suaminya bermalam di rumah istri kedua.  Terbayang dibenaknya sang suami direngkuh dan dijamah wanita lain selain dirinya.

Sungguh bukanlah perkara yang gampang  berlaku adil terhadap dua istri yang memiliki latar belakang berbeda. Adil memang tidak harus sama. Namun dalam biduk rumah tangga poligami, satu istri merasa sangat dibanggakan dan istri yang lain merasa diabaikan dan terancam, apakah itu yang dinamakan adil ?

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (15): Kitab Hadis Arbain Karya Syekh Hasyim Asy’ary

Novel ini memang bukanlah karya yang menonjolkan poligami sebagai suatu hal yang harus dilakukan. Justru cerita poligami di sini sangatlah menjadi momok, sumber masalah terbesar dalam hubungan rumah tangga. Secara khusus novel ini mengajari kita untuk senantiasa bertindak adil, bahkan sejak dalam pikiran sekalipun. Juga menyiratkan pesan betapa memilih berpoligami itu sangatlah rumit dan banyak menyita energi serta perasaan.

Selain pesan khusus persoalan poligami, novel “Dua Barista” ini juga tak luput mengkritik fenomena pesantren yang terlalu monarki. Seakan pesantren adalah kerajaan yang keberlangsungannya selalu mementingkan keturunan daripada mengkader orang lain.

Di bagian akhir novel kita bisa menyimpulkan sendiri betapa memilih monogami itu sangatlah penting daripada berpoligami.

Judul : Dua Barista

Penulis : Najhaty Sharma

Penerbit : Telaga Aksara

Tahun Terbit : 2020

Tebal : xvi+495 halaman

ISBN : 978-623-9185-2-4-4           

  

https://alif.id/read/acd/dua-barista-sehimpun-cerita-poligami-bahwa-praktik-tak-semudah-teori-b247217p/