LADUNI.ID, Jakarta – Melaksanakan shalat merupakan suatu kewajiban seorang muslim 5 waktu dalam sehari di manapun berada, tentunya di tempat-tempat yang diperbolehkan untuk melaksanakannya. Shalat sendiri merupakan rukun Islam yang kedua dan sebagai tiang agama yang sangat krusial. Dalam melaksanakan tentunya harus mengetahui rukun-rukunnya supaya shalat yang dikerajakan tidak sia-sia bahkan lebih ngeri lagi apabila sudah mengerjakan tidak mendapatkan pahala dan sebaliknya mendatangkan dosa.
Tanpa disadari ada beberapa tindakan yang bisa merusak shalat yang disebut mufsidat musytarakah dan mufsidat khashshah. Mufsidat musytarakah adalah hal-hal yang membatalkan shalat secara umum, di antaranya terbukanya aurat, terkena najis, bergerak tiga kali berturut-turut, tentunya ini berlaku juga untuk shalat Jumat.
Sedangkan mufsidat khashshah, inilah yang merusak khusus shalat Jum’at. Ulama menjelaskan hal ini menjadi dua:
Pertama, habisnya waktu shalat, sebelum pelaksanaan Shalat Jum’at. Sebab, pelaksanaan shalat Jum’at harus dilaksanakan pada waktu shalat Dzuhur.
Dan tidak ada qadla’ dalam shalat Jum’at. Makanya jika waktu shalatnya habis, atau shalatnya tertinggal, tidak bisa diqadla’, tetapi menggantinya dengan shalat Dzuhur. Inilah pendapat semua imam.
Kedua, shalat Jum’at menjadi batal, jika jumlah syarat jama’ah shalat Jum’at tidak terpenuhi, atau berkurang.
Perlu dipahami bahwa syarat terpenuhi jumlah minimal jama’ah berlaku dari mulai khutbah pertama hingga shalat dilaksanakan. Oleh karenanya, jika kemudian, di tengah shalat, ternyata ada beberapa makmum membatalkan shalatnya, sehingga jumlah jama’ah berkurang dari 40 orang, sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya, maka shalat Jum’atnya secara otomatis menjadi batal. Pilihan adalah menggantinya menjadi shalat Dzuhur.
Meski demikian, dirinci lagi oleh ulama, bahwa madzhab Syafi’i sendiri memiliki tiga pendapat.
Satu, jika berkurang dari 40 orang, maka diganti dengan dzuhur.
Dua, jika tersisa dua orang, maka diselesaikan shalat Jum’atnya.
Tiga, jika tersisa satu orang, maka masih boleh menyelesaikan Jum’atnya.
Tetapi dari tiga pendapat di atas, yang paling kuat adalah pendapat pertama, sehingga pilihan mengganti dengan shalat Dzuhur adalah yang terbaik.
Sebagai informasi hukum shalat Jumat wajib bagi setiap mukallaf, baligh, aqil, laki-laki, merdeka yang tidak memiliki uzur. Kewajiban shalat didasarkan pada surat Al-Jumu‘ah ayat 9 yang menuntut umat Islam untuk menghadiri panggilan Jumat.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: Wahai orang yang beriman, bila diseru shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah menuju zikrullah (shalat Jumat) dan tinggalkan aktivitas jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya. (Surat Al-Jumu‘ah ayat 9).
Banyak hadis yang menerangkan bahwa meninggalkan shalat Jumat bagi mereka yang terkena kewajiban Jumat tanpa uzur syar’i sebagai kemaksiatan besar.
من ترك ثلاث جمعات من غير عذر كتب من المنافقين
Artinya: Siapa saja yang meninggalkan tiga kali ibadah shalat Jumat tanpa uzur, niscaya ia ditulis sebagai orang kafir nifaq/munafiq. (HR At-Thabarani)
Hadis lain dalam kitab Nihayatul Muhtaj, juz VI dijelaskan bahwa tindakan meninggalkan Jumat adalah maksiat. Secara zahir kemutalakannya bahwa tidak ada perbedaan antara meninggalkan berturut-turut atau tidak. Tetapi bisa jadi bukan itu yang dimaksud. Yang dimaksud adalah ‘berturut-turut’ (niscaya Allah menutup hatinya) Allah menyegel hatinya dengan sesuatu seperti cincin yang dapat menghalanginya dari nasihat dan kebenaran.
قَوْلُهُ (مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمْعٍ تَهَاوُنًا) أَيْ بِأَنْ لَا يَكُونَ لِعُذْرٍ وَلَا يَمْنَعُ مِنْ ذَلِكَ اعْتِرَافُهُ بِوُجُوبِهَا وَأَنَّ تَرْكَهَا مَعْصِيَةٌ، وَظَاهِرُ إطْلَاقِهِ أَنَّهُ لَا فَرْقَ فِي ذَلِكَ بَيْنَ الْمُتَوَالِيَةِ وَغَيْرِهَا، وَلَعَلَّهُ غَيْرُ مُرَادٍ وَإِنَّمَا الْمُرَادُ الْمُتَوَالِيَةُ (قَوْلُهُ : طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ) أَيْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِهِ شَيْئًا كَالْخَاتَمِ يَمْنَعُ مِنْ قَبُولِ الْمَوَاعِظِ وَالْحَقِّ
Artinya: (Siapa meninggalkan tiga kali shalat Jumat karena meremehkan) dalam arti tidak ada uzur. Pengakuan atas kewajiban Jumat tidak menghalanginya dari konsekuensi tindakannya. Tindakan meninggalkan Jumat adalah maksiat. Secara zahir kemutalakannya bahwa tidak ada perbedaan antara meninggalkan berturut-turut atau tidak. Tetapi bisa jadi bukan itu yang dimaksud. Yang dimaksud adalah ‘berturut-turut’ (niscaya Allah menutup hatinya) Allah menyegel hatinya dengan sesuatu seperti cincin yang dapat menghalanginya dari nasihat dan kebenaran. (Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, juz VI, halaman: 450).
Sumber:
- Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, juz VI, halaman: 450
https://www.laduni.id/post/read/57951/dua-hal-dapat-merusak-shalat-jumat.html