Enzo Fernandes, Rasisme, dan Kesetaraan Manusia dalam Ajaran Islam

Skandal rasisme tengah menghantam skuad juara Copa America 2024, Argentina, dengan Enzo Fernandez menjadi salah satu pemain yang terlibat. Enzo Fernandes, juga pemain yang saat ini tengah bermain untuk klub Premier League, Chelsea. Sayang sekali, gelar juara yang seharusnya menjadi kebanggaan bagi Argentina kini terancam tercoreng karena tindakan para pemainnya yang menunjukkan pelecehan rasial terhadap pemain Timnas Prancis, Kylan Mbapé. 

 

Kasus ini bermula dari Instagram Live akun resmi Enzo Fernandez yang kemudian menyebar luas dan menuai kecaman. Dalam live Instagram milik Enzo Fernandez, nyanyian tersebut terdengar jelas dan hampir semua pemain Argentina turut serta dalam menyanyikan lirik yang bernada rasial. Potongan lirik yang terekam dari video tersebut berbunyi: 

 

They play for France, but their parents are from Angola. Their mother is from Cameroon, while their father is from Nigeria. But their passport says French.” (Mereka bermain untuk Prancis, tetapi orang tua mereka berasal dari Angola. Ibu mereka berasal dari Kamerun, sementara ayah mereka berasal dari Nigeria. Namun, paspor mereka menyatakan bahwa mereka adalah warga negara Prancis.) 

 

Akibat kejadian ini, kritik dan kecaman datang dari berbagai pihak, termasuk dari komunitas internasional dan organisasi sepak bola. Banyak yang mengecam tindakan para pemain Argentina, terutama Enzo Fernandez yang dianggap tidak pantas dan merusak citra sepak bola. Gelar juara Copa America 2024 yang seharusnya menjadi kebanggaan kini terancam tercoreng oleh tindakan rasisme yang tidak dapat diterima.

 

Rasisme dalam Sepak Bola

Dalam sepak bola, kasus Enzo Fernandez ini bukanlah yang pertama. Daniel Burdsey, dalam artikel Racisme and English Football; For Club and Country mengatakan, rasisme di sepak bola merupakan fenomena yang jamak terjadi. Bahkan dalam penelitiannya, negara Inggris memiliki masalah serius dalam menindaklanjuti kasus-kasus rasisme. Aturan dan hukum dalam sepak bola seringkali bertentangan dengan hukum umum di pengadilan, hal ini membuat penanganan kasus menjadi rumit. 

 

Beberapa pemain, seperti John Terry dan Fernando Forestieri, dihukum oleh Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) meski sebelumnya dibebaskan oleh pengadilan. Kasus-kasus lain juga menunjukkan inkonsistensi dalam penanganan. Wayne Hennessey, misalnya, dituduh melakukan penghormatan Nazi namun dibebaskan oleh FA.

 

Antonio Rüdiger, mantan pemain Chelsea juga mengaku menjadi korban rasisme. Sayangnya, polisi dan klub lawan tidak menemukan bukti yang cukup. Ini menunjukkan bahwa kesaksian pemain kulit berwarna seringkali tidak dipercaya dan pengalaman rasisme mereka dianggap kurang penting.

 

Di sisi lain, kasus Sam Finley yang dituduh menggunakan kata-kata bernada rasis juga menunjukkan masalah ini. Meskipun kata tersebut merupakan penghinaan bagi kelompok etnis tertentu, FA hanya menganggapnya sebagai penghinaan berdasarkan kebangsaan. Hal ini memperlihatkan kurangnya pemahaman tentang rasisme dan dampaknya bagi korban.

 

Pada artikel lain, Jonathan Liew, menulis di The Guardian English football is consumed by racism and hatred. Can the cycle be broken? mengungkapkan fakta bahwa rasisme di sepak bola Inggris telah menjadi masalah serius selama beberapa dekade. Empat puluh tahun yang lalu, Cyrille Regis menerima ancaman berupa peluru sebelum debutnya di tim nasional Inggris. 

 

Pada tahun 2008, Avram Grant, manajer Chelsea saat itu, menerima puluhan email antisemit. Saat ini, pelecehan rasial lebih banyak terjadi di media sosial seperti Twitter dan Instagram, yang ditujukan terutama kepada pemain kulit hitam ternama. Walaupun banyak pernyataan kecaman dikeluarkan, siklus ini terus berulang dan rasisme tetap ada.

 

Beberapa pemain seperti Marcus Rashford, Axel Tuanzebe, dan Anthony Martial pernah menjadi korban sasaran pelecehan rasial. Setelah kecaman publik, kemarahan mereda, dan berita tersebut hilang dari siklus media. Namun, masalah rasisme tetap ada. Pemerintah dan tokoh olahraga telah mendesak platform media sosial untuk lebih waspada, namun tindakan nyata belum terlihat. Ada juga ancaman hukuman dari pemerintah terhadap perusahaan teknologi, tetapi semuanya masih berupa kata-kata. Intinya, rasisme dalam sepak bola Inggris terus berlanjut dan sulit untuk benar-benar diberantas.

 

Kasus pelecehan rasial tidak hanya terjadi di media sosial. Misalnya, dalam pertandingan kualifikasi Piala FA antara Haringey Borough dan Yeovil Town, kiper Haringey, Valery Pajetat, mengalami pelecehan rasial dari fans Yeovil Town. Pelatih Haringey, Tom Loizou, memutuskan untuk menarik timnya dari lapangan sebagai bentuk protes. Insiden ini menunjukkan betapa dalamnya masalah rasisme di sepak bola Inggris, yang tidak hanya berdampak pada pemain, tetapi juga mempengaruhi klub secara keseluruhan.

 

Dalam data yang dirilis oleh Kantor Pusat Inggris, lebih dari 10% dari 2.663 pertandingan sepak bola di Inggris dan Wales musim lalu melibatkan setidaknya satu insiden kejahatan kebencian rasial.  Peneliti Dr. Jamie Cleland mengatakan bahwa hal ini disebabkan oleh “kasualisasi” bahasa di masyarakat, di mana norma-norma sosial tidak lagi ditegakkan dengan ketat. Masalah ini kompleks dan melibatkan berbagai pihak, termasuk budaya hooliganisme (perilaku supporter yang rusuh dan merusak) yang kini beralih ke media sosial. Oleh karena itu, solusinya harus melibatkan semua pihak, dari pemerintah, platform media sosial, hingga komunitas suporter itu sendiri.

 

Lebih jauh lagi, berdasarkan laporan yang diterbitkan United Nations, yang berjudul Racism in Football – Football against Racism: The FARE Experience, dijelaskan bahwa fenomena rasisme bukan barang baru di dunia sepak bola. Tak sedikit, pemain sepak bola yang menjadi korban dari rasisme. Pelakunya pun beragam, mulai dari suporter, official tim, bahkan dari sesama pemain sepak bola sendiri. Pelecehan rasial terhadap pemain, nyanyian kebencian, dan simbol-simbol rasis menjadi pemandangan yang umum di stadion-stadion sepak bola.

 

Meskipun kasus rasisme di sepak bola masih marak terjadi, ada secercah harapan. Kesadaran terhadap isu ini semakin meningkat, baik dari media, penggemar, maupun organisasi sepak bola itu sendiri. Dukungan terhadap kelompok anti-rasisme pun semakin kuat. Berbagai organisasi, seperti klub sepak bola, asosiasi nasional, dan federasi internasional seperti UEFA dan FIFA, telah aktif menentang rasisme dan mengambil tindakan tegas terhadap para pelakunya.

 

Singkatnya, meskipun rasisme masih menjadi masalah besar di sepak bola, ada langkah-langkah positif yang diambil untuk mengatasinya. Kesadaran dan tindakan kolektif dari berbagai pihak dapat membantu memerangi rasisme dan menciptakan lingkungan sepak bola yang lebih inklusif dan aman bagi semua

 

Pandangan Islam tentang Rasisme

Dhira Astri Ramadhani, dkk, dalam Journal Islamic Education berjudul Rasisme di Dunia Olahraga menyatakan rasisme dalam dunia olahraga merupakan sebuah kenyataan pahit yang tak dapat dipungkiri. Rasisme dapat muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari diskriminasi dalam proses seleksi tim, penghinaan dan pelecehan verbal, hingga perlakuan tidak adil dalam pertandingan. Contoh lain dari perilaku rasisme adalah penolakan dan pengucilan berdasarkan ras, etnis, atau asal-usul. Penggunaan simbol dan tanda rasis dalam konteks olahraga semakin memperparah situasi dan memperkuat sentimen negatif.

 

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan rasisme sebagai segala bentuk diskriminasi yang didasari pada ras, warna kulit, keturunan, atau asal etnis dan nasional. Diskriminasi ini dapat berupa tindakan atau pemisahan yang bertujuan untuk meniadakan atau merugikan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya.

 

Rasisme pada dasarnya merupakan pandangan atau sikap yang merendahkan dan diskriminatif terhadap individu atau kelompok berdasarkan ras, etnis, warna kulit, atau asal-usul. Hal ini dapat mengakibatkan perlakuan tidak adil dan merugikan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan hak asasi manusia lainnya. [Dhira Astri Ramadhani, dkk, Rasisme di Dunia Olahraga (Journal Islamic Education, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2023), halaman 124]. 

 

Agama Islam dengan tegas melarang segala bentuk tindakan rasisme. Hal ini didasari oleh prinsip kesetaraan semua manusia di hadapan Allah SWT. Kedudukan manusia tidak ditentukan oleh ras, suku bangsa, atau keturunan, melainkan oleh ketakwaan dan ketekunan mereka dalam beribadah kepada Allah.

 

Dengan kata lain, hanya ketakwaanlah yang menjadi tolok ukur kemuliaan manusia di sisi Allah. Tidak peduli dari mana mereka berasal, ras apa yang mereka miliki, selama mereka taat dan menjalankan ibadahnya dengan penuh ketakwaan, merekalah yang mulia dan berhak mendapatkan pahala terbaik dari Allah SWT.

 

Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Q.S al-Hujarat [49] ayat 13;

 

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ 

 

Artinya; Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha.”

 

Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Tafsir Marah Labid, Jilid II, halaman 440 menegaskan bahwa semua manusia, tanpa terkecuali, diturunkan dari Adam dan Hawa, dan keturunan mereka. Hal ini menunjukkan kesetaraan hak dan derajat semua manusia di mata Allah SWT.

 

Pembagian manusia ke dalam berbagai bangsa dan suku, menurut Syekh Nawawi, bukan dimaksudkan untuk menciptakan perbedaan derajat, melainkan untuk saling mengenal dan memahami kekayaan budaya yang beragam. Perbedaan tersebut seharusnya menjadi sarana untuk mempererat hubungan sosial dan meningkatkan rasa saling menghargai antara sesama. Dengan demikian, manusia dapat belajar dan berkembang melalui interaksi dengan berbagai budaya dan tradisi yang ada. 

 

Lebih lanjut, kehormatan dan kemuliaan seseorang, menurut Syekh Nawawi, tidak datang dari keturunannya atau status sosialnya, melainkan dari ketakwaannya kepada Allah. Ketakwaan menjadi ukuran sejati kemuliaan di mata Allah SWT. Dengan demikian, ajaran ini mengajak setiap individu untuk berlomba-lomba dalam kebaikan dan ketakwaan, tanpa memandang latar belakang atau asal-usul mereka. Pesan ini relevan untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan mengingatkan kita untuk menghargai setiap individu berdasarkan amal dan ketakwaannya.

 

Sementara itu, dalam kitab Musnad Imam Ahmad, Jilid V, halaman 411 menjelaskan Nabi Muhammad SAW dalam khutbahnya di Arafah  menyampaikan pesan penting tentang persamaan derajat manusia. Rasulullah menegaskan bahwa di hadapan Allah SWT, semua manusia setara, tidak ada perbedaan berdasarkan ras, suku, atau warna kulit. Keutamaan satu manusia atas lainnya hanya ditentukan oleh ketakwaannya kepada Allah SWT.

 

Pesan Nabi Muhammad SAW ini mengandung makna universalisme Islam. Islam adalah agama yang ingin menghapus semua bentuk diskriminasi dan prasangka yang didasarkan pada faktor-faktor eksternal seperti ras, suku, atau warna kulit. Islam mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama, dan harus diperlakukan dengan adil dan hormat.

 

 حدثنا إسماعيل حدثنا سعيد الجريري عن أبي نضرة حدثني من سمع خطبة رسول الله صلى الله عليه وسلم في وسط أيام التشريق فقال يا أيها الناس ألا إن ربكم واحد وإن أباكم واحد ألا لا فضل لعربي على أعجمي ولا لعجمي على عربي ولا لأحمر على أسود ولا أسود على أحمر إلا بالتقوى أبلغت قالوا بلغ رسول الله صلى الله عليه وسلم 

 

Artinya; “Telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Sa’id al-Jurairi dari Abu Nadrah, dia berkata, “Orang yang mendengar khotbah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di tengah hari-hari Tasyriq bercerita kepadaku. Beliau bersabda, ‘Wahai manusia, ketahuilah bahwa Tuhan kalian satu, dan ayah kalian satu. Ketahuilah, tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang non-Arab, dan tidak ada keutamaan bagi orang non-Arab atas orang Arab, dan tidak ada keutamaan bagi yang berkulit merah atas yang berkulit hitam, serta tidak ada keutamaan bagi yang berkulit hitam atas yang berkulit merah, kecuali dengan takwa. Sudahkah aku sampaikan?’ Mereka menjawab, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyampaikan.’ (HR. Imam Ahmad). [Musnad Imam Ahmad, (Kairo: Darul Ihya Turats l-Arabi, 1993), Jilid V, halaman 411].

 

Terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, menggambarkan prinsip kesetaraan dalam Islam. Ini menegaskan bahwa kepemimpinan dan hak-haknya tidak didasarkan pada ras, warna kulit, atau etnis, tetapi pada kemanusiaan dan kualitas kepemimpinan seseorang. Islam menekankan bahwa setiap individu, tanpa memandang latar belakang, memiliki potensi untuk menjadi pemimpin yang adil dan dihormati.

 

Rasulullah bersabda: 

 

 حدثنا مسدد حدثنا يحيى بن سعيد عن شعبة عن أبي التياح عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اسمعوا وأطيعوا وإن استعمل عليكم عبد حبشي كأن رأسه زبيبة

 

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id, dari Syu’bah, dari Abu At-Tayaah, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Dengarkanlah dan patuhilah (pemimpin kalian), meskipun yang diangkat untuk memerintah kalian adalah budak berkulit hitam [Habsyi] yang kepalanya seperti kismis [gimbal].” (HR. Bukhari).

 

Hadits ini menunjukkan bahwa Islam sudah sejak lama memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi semua umat manusia tanpa memandang latar belakang mereka. Ini mencerminkan lompatan besar dalam hukum Islam yang mempromosikan kebebasan kepemimpinan secara merata di antara semua ras.

 

Selanjutnya, hadits ini juga dapat dipahami sebagai seruan untuk menghormati siapa pun yang memimpin dengan adil, terlepas dari asal-usul atau status sosial mereka. Ini bukanlah penghinaan, melainkan penghargaan terhadap kemampuan dan kualitas individu dalam memimpin. 

 

Selain itu, hadits ini juga berfungsi untuk mencegah fanatisme dan diskriminasi berdasarkan warna kulit, sehingga setiap orang yang memiliki kualitas kepemimpinan yang baik berhak untuk dihormati dan diikuti. Ini adalah pesan universal yang relevan di setiap zaman dan masyarakat.

 

Profesor Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan, perbedaan yang ada di antara manusia, termasuk warna kulit, tidak seharusnya menjadi sumber perpecahan. Sebaliknya, perbedaan ini harus disyukuri sebagai bukti kebesaran Allah dan menjadi sarana untuk saling mengenal dan memahami satu sama lain. Menurutnya, perbedaan lidah dan warna kulit manusia adalah bukti nyata dari kekuasaan Allah yang patut kita syukuri. Allah menciptakan keberagaman ini agar manusia dapat belajar untuk hidup berdampingan dengan damai dan harmonis, serta untuk saling melengkapi satu sama lain. [Profesor Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Ciputat: Lentera Hati, 202), Jilid XI, halaman 37].

 

Selain itu, Quraish Shihab juga menekankan bahwa setiap manusia memiliki bahasa, dialek, dan intonasi yang berbeda-beda, yang semuanya merupakan tanda dari kebesaran Allah. Perbedaan bahasa ini dijelaskan melalui lidah, yang memiliki dua makna. Pertama, lidah secara fisik yang berperan dalam mengeluarkan bunyi dan menjadi dasar bahasa untuk berkomunikasi. Kedua, lidah sebagai bahasa itu sendiri yang memungkinkan manusia untuk berkomunikasi dan berbagi pengetahuan dengan sesama. 

 

Dengan demikian, kata Prof Quraish, perbedaan lidah dan warna kulit bukanlah alasan untuk berpecah belah, melainkan harus menjadi sarana untuk mempererat hubungan antar manusia dan memahami kebesaran Allah yang menciptakan keberagaman. Wallahu a‘lam.

 

Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam Tinggal di Ciputat.

https://islam.nu.or.id/syariah/enzo-fernandes-rasisme-dan-kesetaraan-manusia-dalam-ajaran-islam-OFAIh