Etika Islam dalam Bersosial

Laduni.ID, Jakarta – Islam tidak pernah melarang umatnya berbuat baik kepada orang-orang non muslim. Sebaliknya, Islam justru mengharuskan umatnya memuliakan siapapun yang merupakan anak cucu Adam, apapun jenis kelamin, etnis, agama dan kepercayaannya. Demikian ini yang diajarkan oleh Islam, sebagaimana keterangan di dalam Surat Al-Isra’ ayat 70, Allah SWT berfirman;

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا

“Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”

Dalam ayat lain ditegaskan;

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ. اِنَّمَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ قَاتَلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَاَخْرَجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوْا عَلٰٓى اِخْرَاجِكُمْ اَنْ تَوَلَّوْهُمْۚ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama, mengusirmu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah: 8-9)

Islam menyerukan umatnya untuk memberikan perlindungan terhadap orang-orang yang lemah tanpa membedakan agamanya, sebagaimana tertulis dalam Surat At-Taubah ayat 6, Allah SWT berfirman:

وَاِنْ اَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ اسْتَجَارَكَ فَاَجِرْهُ حَتّٰى يَسْمَعَ كَلٰمَ اللّٰهِ ثُمَّ اَبْلِغْهُ مَأْمَنَهٗ ۗذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْلَمُوْنَ

“Jika seseorang di antara orang-orang musyrik ada yang meminta pelindungan kepada engkau (Nabi Muhammad), lindungilah dia supaya dapat mendengar firman Allah kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya. (Demikian) itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengetahui.”

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:

وَمَآ اَنَا۠ بِطَارِدِ الْمُؤْمِنِيْنَ

“Aku tidak akan mengusir orang-orang yang beriman.” (QS. As-Syu’ara: 114)

Islam menganjurkan untuk menyampaikan dakwah kepada semua umat manusia tidak dengan cara-cara pemaksaan dan kekerasaan. Kekerasan atas nama apapun dan dengan tujuan apapun tidak ada tempatnya di dalam Islam. Bahkan Al-Quran menegaskan bahwa tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Di dalam Surat Al-Baqarah ayat 256, Allah berfirman:

لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗوَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh, telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Siapa yang ingkar kepada thagut* dan beriman kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

*Kata thagut disebutkan untuk setiap yang melampaui batas dalam keburukan. Oleh karena itu, setan, dajal, penyihir, penetap hukum yang bertentangan dengan hukum Allah SWT, dan juga termasuk penguasa yang tirani dinamakan thagut.

Lalu Jika sudah disampaikan lantas belum mau mengikuti ajakan itu maka kita diminta menyerahkan kepada Allah SWT. Sebagaimana dijelaskan di dalam Surat Al-Qashash ayat 56, Allah SWT berfirman:

اِنَّكَ لَا تَهْدِيْ مَنْ اَحْبَبْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚوَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

“Sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad) tidak (akan dapat) memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk). Dia paling tahu tentang orang-orang yang (mau) menerima petunjuk.”

Pluralitas masyarakat sudah merupakan ketetapan Allah (sunnatullah), sebagaimana dijelaskan di dalam QS. Yunus: 99. Allah SWt berfirman:

وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَاٰمَنَ مَنْ فِى الْاَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًاۗ اَفَاَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتّٰى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ

“Seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah semua orang di bumi seluruhnya beriman. Apakah engkau (Nabi Muhammad) akan memaksa manusia hingga mereka menjadi orang-orang mukmin?”

Menyadari hal tersebut, Islam mengajarkan kepada umatnya agar dalam menjalani kehidupan ini tidak menekankan aspek perbedaan satu sama lain tetapi lebih menekankan persamaan (kalimat sawa’) sebagaimana diisyaratkan dalam Surat Ali Imran ayat 64, Allah SWT berfirman:

قُلْ يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ تَعَالَوْا اِلٰى كَلِمَةٍ سَوَاۤءٍۢ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ اَلَّا نَعْبُدَ اِلَّا اللّٰهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهٖ شَيْـًٔا وَّلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُوْلُوا اشْهَدُوْا بِاَنَّا مُسْلِمُوْنَ

“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai Ahlul Kitab, marilah (kita) menuju pada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, (yakni) kita tidak menyembah selain Allah, kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling, katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang muslim.”

Dalam ayat lain juga ditegaskan demikian. Allah SWT berfirman:

وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ اَنْ صَدُّوْكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اَنْ تَعْتَدُوْاۘ وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

“Janganlah sekali-kali kebencian(-mu) kepada suatu kaum, karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya. (QS. Al-Maidah: 2)

Sejak masa Nabi, Sahabat dan generasi sesudahnya hingga sekarang, selain Tanah Haram (Makkah), warga non muslim diberi hak untuk tinggal dengan berbagai jaminan keamanan. Nabi SAW selalu mencontohkan  bagaimana seharusnya memperlakukan non muslim. Jika mereka tunduk dan mengikuti kesepakatan, maka tidak boleh diperangi. Sebaliknya, jika mereka terang-terangan memerangi Islam, maka umat Islam wajib mempertahankan agamanya.

Sejarah mencatat bagaimana waga non muslim bisa berinteraksi dengan saudara-saudaranya yang muslim dalam berbagai bidang. Mereka bisa melakukan interaksi bisnis satu sama lain sebagaimana dilakukan oleh kelompok Yahudi dan Nasrani di Madinah. Warga non muslim di masa Nabi SAW tidak pernah merasa sebagai warga kelas dua. Mereka bisa menjumpai Nabi dan keluarganya kapan pun dan di manapun. Nabi SAW tidak pernah menyamaratakan para warga non muslim  yang sering memerangi Islam dengan warga non muslim yang menjalin perjanjian damai. Hal ini membuktikan bahwa Nabi SAW pantas dikagumi oleh semua orang atas kebijakannya dalam memperlakukan sesama manusia tanpa mebedakan agama, suku dan golongan.

Jadi selayaknya pantas kalau Nabi Muhammad SAW dinobatkan sebagai peringkat utama dari 100 tokoh terkemuka yang pernah dilahirkan di muka bumi ini dalam buku karya Michael Hart, atau tokoh utama di antara 11 Tokoh yang pernah lahir di muka bumi ini dalam karya Thomas Carlyle.

Yang paling penting bagi kita adalah bagaimana kearifan Nabi bisa diikuti oleh semua pihak. Nabi Muhammad SAW sebagai tokoh yang sering disebut lahir jauh melampaui kurun waktunya ini, betul-betul menarik untuk dikaji. Kebijakan-kebijakan dan statemen-statemennya selalu tepat untuk semua orang dan di setiap waktu. Hampir tidak pernah ada orang yang tersinggung oleh setiap kebijakan dan statemennya. Dan tentu kita merindukan sosok seperti ini.

Warga non muslim sebetulnya tidak ada alasan khawatir dengan Islam, apalagi dengan memunculkan istilah Islamophobia. Islam bukan agama yang menakutkan. Sebaliknya, Islam menjanjikan rasa aman kepada semua orang. Setiap kali pasukan muslim akan menjalankan misi suci dan perdamaian di suatu wilayah, Nabi Muhammad SAW, selalu hadir mengingatkan kepada para prajuritnya agar tidak mengganggu rumah ibadah orang lain, tidak mecabut atau menebang pepohonan tanpa tujuan khusus, tidak mengusik anak-anak dan kaum hawa, dan tidak merusak properti orang lain selama properti itu tidak digunakan untuk tujuan politik.

Mari kita benar-benar memahami bahwa Islam itu sesuai dengan namanya yang berarti damai. Tidak pernah dimaksudkan untuk memberi rasa takut kepada semua orang. Karenanya, tentu kita sepakat bahwa segala hal yang menyebabkan kesengsaraan, kesedihan, dan malapetaka pasti tidak sejalan dengan Islam. Musuh kemanusiaan adalah juga musuh Islam. Kita juga bisa menarik lebih dekat dalam konteks Indonesia. Musuh bangsa Indonesia yang hendak merusak dan menghancurkan bangunan kebangsaan dan negara tentulah juga adalah musuh umat Islam. []


Catatan: Tulisan ini disadur dan diadaptasi dari Buku Islam Nusantara, Jalan Panjang Moderasi Beragama di Indonesia karya Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A.

___________

Editor: Hakim

https://www.laduni.id/post/read/517396/etika-islam-dalam-bersosial.html