Oleh: Ahmad Karomi* Kiai Fuad Mun’im Djazuli atau akrab dikenal dengan Gus Fu’ merupakan salah satu dari masyayikh Al-Falah Ploso Kediri y…
Oleh: Ahmad Karomi*
Kiai Fuad Mun’im Djazuli atau akrab dikenal dengan Gus Fu’ merupakan salah satu dari masyayikh Al-Falah Ploso Kediri yang sangat popular dengan dawuh “Sampun tam” nya. Adik dari Kiai Zainuddin, Kiai Nurul Huda dan Gus Miek ini di mata para santri memiliki sejumlah kenangan yang takkan terlupa. Bagaimana tidak, sosok yang dikenal santai nan tegas tersebut secara tidak langsung membentuk nalar kritis para santri—termasuk saya—agar mengoptimalkan nalarnya dalam mengupas teks kitab di pesantren.
Saya teringat pada tahun 1991, awal nyantri di Ploso, sebagai santri baru yang masih “plonga-plongo” dengan tradisi pesantren salaf, seperti “maknoi”, “nambal”, “pen tutul”, dan “mangsi”, sontak terkejut ketika model ngajinya berbahasa makna gandul seperti “utawi-iki iku”, “ora keno ora”, “leleyangan”, “merkungkung”, “endok amun-amun”, dlsb. Kesemua itu asing bagi saya yang notabene masih santri anyaran.
Sore itu, para santri berkumpul di pelataran masjid Ploso, kemudian dari kejauhan datanglah sosok pria dengan surban di atas peci hitam susun, berjalan tegap menuju masjid. Ya, Gus Fu’ atau Kiai Fuad mengajikan kitab Taqrib menggantikan Kiai Zainuddin yang tengah berangkat ihram. Beberapa santri—termasuk saya—duduk di bawah pohon rindang depan masjid, dan ada pula yang duduk di Madrasah Abang, sebuah madrasah pertama Ploso yang diresmikan oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari.
Kiai Fuad pun memulai pengajian Taqribnya. Saya yang masih “belajaran” awalnya mengira bakal “kewalahan” memaknai gandul. Ternyata, perkiraan saya meleset. Adik Gus Miek tersebut membacakan kitab Taqrib dengan pelan, jelas dan gamblang. Acapkali Gus Fu’ menyisipkan kata-kata “sampun tam, gus” yang menandakan keterangan itu sudah jelas. Narasi yang dibangun oleh Gus Fu’ memang terkesan sederhana namun keterangan yang disampaikan sangat “kaya”.
Menariknya, Kiai penggemar bola dan catur ini melontarkan pesan berulang kali dengan “ta’ammalu, wa tadabbaru fil Bajuri, Gus” yang artinya para santri diminta untuk memikirkan-cross-check kembali dalam kitab syarh seperti Bajuri yang merupakan penjelas kitab Taqrib. Dari sini, Gus Fu’ menjadi influencer-trendsetter bagi para santri yang ingin mengembangkan wawasan teks kitab secara out of the box.
Bahkan—seingat saya—Kiai Fuad pernah dawuh: “Santri nek iso kudu paham tiga kitab Fathul, yakni Fathul Qarib, Fathul Muin, Fathul Wahhab. Nek ora paham, yo nyekel Fathul Jare, jare sopo? Jare Kiaine” (santri kalo bisa harus faham tiga kitab Fathul, yakni Fathul Qarib, Fathul Muin, Fathul Wahhab. Kalo tidak faham, ya berpegangan “Fathul Jare” (Fathul Kata), kata siapa? Ya kata Kiainya”.
Arah dawuh Kiai Fuad tersebut tidak lain adalah mengajak santri yang masih belum faham supaya “merujuk dawuh maupun penjelasan dari para Kiai-nya” yang tentunya lebih alim dan pakar di bidang ulum al-din, serta intens bertanya kepada Kiainya bilamana terkendala suatu persoalan kehidupan bermasyarakat yang tidak terdapat dalam teks kitab. Disinilah puncak hubungan batin (‘alaqah batiniyah) santri dan murabbi al-ruh (pendidik jiwa) nya, tetap terjaga sampai kapanpun.
Wallahu A’lam.
Kalipucung Blitar, 31 Maret 2021
_____________________________
*Alumni Al-Falah Ploso, PW LTNNU JATIM, Al-Kimya Dirasah Virtual.
https://www.halaqoh.net/2021/03/fathul-jare-perspektif-kiai-fuad-munim.html