Kedatangan syahrul mubarak atau bulan Ramadan merupakan impian seorang muslim. Tanda masuknya bulan Ramadan adalah berakhirnya bulan Sya’ban. Fenomena penetapan awal Ramadan dan lebaran (Idul Fitri dan Idul Adha) tentunya di negeri kita sering kerap terjadi perbedaan sejak dari dulu. Tentunya ini tidak terlepas dari metode dan dalil yang menjadi sandaran berpijak dalam menentukan awal Ramadan dan lebaran.
Pada dasarnya di dalam menetapkan 1 (satu) Ramadan dan 1 (satu) Syawal di setiap tahun di Indonesia hingga saat ini dan mungkin saat-saat mendatang tak kunjung menyatu, selalu ada saja timbul perbedaan yang mungkin disebabkan adanya perbedaan prinsip yang mendasar dalam memahami nash yang berakibat melahirkan perbedaan cara penerapannya. Ada yang merujuk pada pendapat wujudul hilal atas dasar hisab (bulan sudah berada di atas ufuq) dan ada juga yang merujuk pada pendapat rukyatul hilal (bulan berada di atas ufuq dengan ketentuan imkanu ar- rukyah).
Efek dari dua metode ini terkadang ada yang jatuh bersamaan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha serta Ramadan juga sebaliknya. Ketika terjadi hasil ijtihadnya ternyata jatuh pada hari yang sama, maka tidak menimbulkan permasalahan di kalangan masyarakat. Akan tetapi manakala ternyata hasilnya jatuh pada hari yang berbeda, maka diakui atau tidak, dapat dipastikan menimbulkan dampak permasalahan di kalangan masyarakat khususnya masyarakat awam, sekurang-kurangnya sedikit kebingungan, karenanya harus menunggu keputusan pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama RI.
Kedua metode ini tentunya ada pijakan tersendiri. Pendapat pertama berpijak kepada rukyat. Para ulama dan mayoritas ulama dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali menyatakan bahwa awal bulan Ramadan hanya bisa ditetapkan dengan menggunakan metode rukyat (observasi atau mengamati hilal) atau istikmal, yaitu menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
Mereka berpegangan pada firman Allah subhanahu wa ta’ala dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 185: “Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan maka hendaklah ia berpuasa (pada) nya.”. Menyokong ayat di atas, dalam sebuah hadist, Rasul SAw bersabda: “Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihatnya.
Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari, hadits no. 1776). Berdasarkan ayat dan hadits di atas, Allah dan Rasul-Nya mengkaitkan kewajiban berpuasa dengan melihat hilal. Artinya, kewajiban berpuasa hanya bisa ditetapkan dengan melihat hilal atau menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. (Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, hal. 210).
Pendapat kedua, metode hisab. Ulama yang berpegang dengan metode ini seperti meliputi Ibnu Suraij, Taqiyyuddin al-Subki, Mutharrif bin Abdullah dan Muhammad bin Muqatil dan sebagian ulama lainnya menyebutkanbahwa awal puasa dapat ditetapkan dengan metode hisab (perhitungan untuk menentukan posisi hilal). Mereka berpedoman pada firman Allah subhanahu wa ta’ala dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman dalam surat Yunus ayat 5:“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu).” Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kalian melihat hilal (hilal Ramadan) maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal Syawwal) maka berbukalah. Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka perkirakanlah ia.”
Ayat di atas menerangkan bahwa tujuan penciptaan sinar matahari dan cahaya bulan serta penetapan tempat orbit keduanya adalah agar manusia mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Artinya, Allah subhanahu wa ta’ala mensyariatkan kepada manusia agar menggunakan hisab dalam menentukan awal dan akhir bulan hijriyah.
Sedangkan poin utama dari hadits di atas adalah kata “Faqdurû lah”. Menurut mereka, arti kata tersebut adalah perkirakanlah dengan menggunakan hitungan (hisab). Dari kedua pendapat di atas, tampaknya pendapat kelompok pertama yang menyatakan bahwa awal Ramadan hanya bisa ditetapkan dengan rukyat dan istikmal merupakan pendapat yang sangat kuat, karena dalil-dalil yang mereka kemukakan sangat jelas dan tegas menyatakan hal tersebut.
Perbedaan dalam masyarakat termasuk persoalan agama merupakan rahmat. Begitu juga dalam penentuan awal Ramadan dan Lebaran, adanya perbedaan penetapan awal dan akhir Ramadan bermula dari bagaimana memahami hadits yang menuturkan perihal tersebut.
Rasulullah shollahhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya. Bila penglihatan kalian tertutup mendung maka sempurnakanlah bilangan (bulan Sya’ban) menjadi tiga puluh hari.” Dari hadits tersebut perbedaan memahaminya menjadi lebih spesifik kepada satu kalimat li ru’yatihi– karena melihat hilal.
Sebagian kaum Muslim memahami kalimat itu sebagai melihat hilal secara langsung dengan mata kepala sebagaimana dipegangi oleh warga Nahdliyin dan sebagian lagi memahaminya sebagai melihat hilal cukup dengan hitungan atau hisab sebagaimana diamalkan oleh warga Muhamadiyah. Terlepas dari perbedaan pendapat secara hukum tersebut tidak ada salahnya bila kita mencoba memahami hadits di atas dari sisi bahasa khususnya pada kalimat yang menjadi fokus perbedaan yakni kalimat li ru’yatihi.
Memahami dalil melalui bahasa menjadi penting mengingat hukum-hukum Islam bersumber dari al-Qur’an dan hadits yang notabene berbahasa Arab dan untuk memahaminya secara baik dan benar tidak bisa tidak harus melibatkan pemahaman bahasa arab yang memadai. (Bersambung)
https://alif.id/read/hab/fenomena-penentuan-awal-ramadan-antara-rukyah-dan-hisab-b242625p/