18. Kesunahan-kesunahan dalam puasa38
1. Makan Sahur.
Hal ini berdasarkan hadits Nabi:
”Makan
sahurlah, karena sahur itu barakah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Waktu sahur dimulai sejak separuh akhir malam. Sehingga makan sebelum
pertengahan malam tidak termasuk sahur dan tidak pula mendapatkan kesunahannya.
? CATATAN:
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menjelaskan
tentang keutamaan sahur sebagai berikut39:
a) Mengikuti sunah Nabi Muhammad Saw.
b) Pembeda dengan puasa ahli kitab, berdasarkan
hadits dari Amru bin Al Ash dari Nabi Saw. beliau bersabda, “Pembeda antara puasa
kita dengan puasanya Ahli Kitab ialah makan sahur” (HR. Muslim).
c) Menguatkan badan dalam melaksanakan ibadah
puasa.
d) Menambah semangat agar semakin rajin beribadah.
e) Dapat menjadi sebab untuk bersedekah kepada
orang yang membutuhkan makanan sahur, atau dapat juga menjadi kesempatan untuk
makan bersama-sama.
f) Menjadi sebab menjalankan dzikir dan doa pada waktu yang mustajab.
2. Mengakhirkan santap sahur. Hal ini karena mengikuti hadits Nabi (riwayat imam Ahmad), dan agar lebih dapat menunjang kekuatan
melakukan ibadah puasa.
3. Menyegerakan berbuka puasa. Sebelum
melaksanakan shalat maghrib, hendaknya
seseorang membatalkan puasanya terlebih dahulu dengan berbuka puasa. Hal ini bila
ia yakin matahari benar-benar terbit. Disunahkan ketika berbuka dengan makan buah
kurma, jika tidak ada maka dengan air putih. Jika tidak ada, maka dengan
makanan/ minuman manis yang bukan hasil masakan. Seperti madu, anggur dan
lain-lain. Jika tidak ada maka dengan makanan/ minuman manis dari hasil masakan40.
Saat berbuka puasa, disunahkan membaca doa:
“Ya
Allah untukmu aku berpuasa, dan atas rizqimu aku berbuka.”
Bisa juga dengan
membaca:
“Telah
hilang rasa haus, dan telah basah urat-urat, dan telah tetap pahala insya
Allah”.
Doa tersebut bisa dibaca setelah selesai berbuka atau
ketika hendak berbuka. Namun lebih utama dilakukan setelahnya41.
? CATATAN:
Bila berbuka di tempat orang lain, maka disunahkan pula
membaca doa42
“orang-orang
yang berpuasa telah berbuka di tempat kalian, dan orang-orang yang baik telah menyantap
makanan kalian, dan malaikat pilihanpun mendoakan rahmat bagi kalian.”
4. Menahan diri dari makanan syubhat (yang
belum jelas kehalalannya) dan syahwat (kesenangan) yang diperbolehkan seperti mendengar,
melihat, menyentuh dan menghirup aroma parfum.
5. Mandi janabat bagi yang berhadats
besar sebelum terbitnya fajar.
6. Memperbanyak sedekah dan memberi
makan pada orang yang berbuka puasa
7. Memperbanyak membaca Al-Quran,
ibadah, i’tikaf dan dzikir terlebih pada sepuluh hari akhir bulan Ramadlan.
8. Menghindari perkataan yang tidak baik,
dusta, menggunjing orang lain dan sebagainya dari sudut pandang berpuasa. Meskipun
wajib hukumnya menghindari perkataan-perkataan tersebut dari sudut pandang hukum
asal.
19. Kemakruhan-kemakruhan puasa43
1. Berkumur dan menghirup air ke dalam
hidung secara berlebihan
2. Mengunyah makanan tanpa ada yang tertelan44
3. Mencicipi makanan tanpa menelannya
kecuali karena kebutuhan seperti memasak
4. Berbekam
5. Menghirup atau memandang wewangian
6. Mandi dengan cara berendam
7. Bersiwak setelah tergelincirnya
matahari. Namun
menurut Imam al-Nawawi tidak dimakruhkan
8. Terlalu banyak makan, tidur dan
berbicara yang tidak berfaedah
9. Melakukan syahwat-syahwat yang diperbolehkan
seperti mencium istri.
20. Hal-hal yang menghilangkan pahala puasa45
1. Menggunjing orang lain. Yakni
menyebutkan sifat-sifat orang lain dengan sifat yang tidak disukainya meskipun
sesuai fakta
2. Mengadu domba
3. Berkata dusta. Yakni memberi kabar
tidak sesuai dengan kenyataan
4. Memandang sesuatu yang diharamkan
5. Memandang sesuatu yang diperbolehkan dengan
pandangan syahwat
6. Sumpah palsu
7. Mengucapkan perkataan buruk
8. Melakukan perbuatan buruk.
Referensi :
8Musthafa al-Khin, al-Fiqh
al-Manhaji, juz 2 hal. 73
9Al-Habib Zein bin Ibrahim bin
Smith, Al-Taqrirot al-Sadidah, hal. 434-436
10Hari syak adalah
tanggal 30 bulan sya’ban, dimana banyak orang yang mengabarkan telah melihat hilal dan dari kabar tersebut menimbulkan
keraguan. Atau terdapat orang yang bersaksi telah melihat hilal, namun dia tidak diterima kesaksiannya, seperti wanita
dan anak-anak. Ibid.,437
11 Ibid.,
436
12
Al-Imam al-Ghazali, Ihya
Ulum al-Din, juz. 1, hal. 235
13
Zainuddin bin Abdul Aziz, Fath
al Mu’in wa Hasyiyah Ianah ath Thalibin, juz 2 hal. 248
14
Fase di mana anak kecil sudah
mampu makan, minum dan
cebok sendiri.
15
Muhammad bin Salim Babashil, Is’ad
al-Rafiq, juz.1,
hal.92.
16
Al-Habib Zein bin Ibrahim bin
Smith, Al-Taqrirot alSadidah, hal.439
17
hitungan versi kitab al-Taqrirat
al-Sadidah. Versi mayoritas ulama
adalah 119,99988 km, versi kitab Tanwir al Qulub 80,640 km. Boleh memilih
masing-masing dari versi tersebut.
18
Syaikh Said bin Muhammad
Ba’isyun, Busyra al-Karim, juz.1, hal.559.
19
Dengan standar mubih
al-tayammum (kepayahan setingkat hal-hal yang memperbolehkan tayamum). Kebolehan
berbuka puasa bagi orang sakit yang masih ada harapan sembuh, dilakukan dengan
niat mengambil dispensasi syariat, agar berbeda antara berbuka yang boleh dan
dilarang.
20
Sa’id bin Muhammad Ba’asyin, Busyro
al-Karim fii Masa’ili al-Ta’lim, hal.558.
21
Muhamad bin Muhamad Khatib
al-Syirbini, Al-Iqna’ fii Halli Alfadzi abi Syuja’, hal.78
22
Dengan standar mubih
al-tayammum (kepayahan setingkat
hal-hal yang memperbolehkan tayamum). Kebolehan berbuka puasa bagi pekerja berat, dilakukan dengan niat mengambil dispensasi
syariat, agar berbeda
antara berbuka yang boleh dan
dilarang.
23
Abu Bakr bin Muhammad
Syatha’, I’anah at-Thalibin, juz.2, hal.268
24 Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur, Bughyah
alMustarsyidîn,
hal.112,
Muhamad Amin al-Kurdi
al-Irbali, Tanwir al-Qulub hal. 227 Al-Habib Zein bin Ibrahim bin
Smith, Al-Taqrirat al Sadidah hal.438
25
Muhamad Amin al-Kurdi
al-Irbali, Tanwir al-Qulub hal.287
26
KH. Ahmad Idris Marzuqi, Sabil
al-Huda hal.51
27
Zainuddin bin Abdul Aziz,
Fath al-Mu’in wa Hasyiyah I’anah al-Thalibin, juz.2, hal.255-258, Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Smith, Al-Taqrirat
al-Sadidah hal. 448-452
28
Nawawi al-Bantani, Kasyifah
al-Saja, hal.308
29
Nawawi al-Bantani, Qut
al-Habib al-Gharib, hal.221-222
30
Jalaluddin al-Mahalli, Kanz
al-Raghibin, juz.2, hal.87
31
Nawawi al-Bantani, Kasyifah
al-Saja, hal.308
32
Muhamad bin Muhamad Khathib
al-Syirbini, Mughni alMuhtaj, juz.2, hal.176
33
Muhamad bin Muhamad Khathib
al-Syirbini, Mughni alMuhtaj, juz.2, hal.176
34
Muhammad al-Ramli, Fatawa
al-Ramli, juz.2, hal.74
35
Ibid., Nawawi al-Bantani, Qut
al-Habib al-Gharib, hal.223
36
Al-Habib Zein bin Ibrahim bin
Smith, Al-Taqrirot alSadidah, hal.451
37
Ibid., hal 455-456
38 Zainuddin bin Abdul Aziz, Fath al-Mu’in wa Hasyiyah
I’anah al-Thalibin juz.2,hal.277-289,
Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib wa Hasyiyah
al-Bajuri juz.1, hal.292-294,
Muhamad Amin al-Kurdi al-Irbali, Tanwir al-Qulub
hal.230231
39
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath
al-Baari, juz.4, hal.140
40
Abdurrahman bin Muhammad
al-Masyhur, Bughyah alMustarsyidîn, hal.185
41
Busyrol karim (1/563)
42
Abdul Hamid bin Muhamad al-Makki,
Kanz an-Najah, hal.192
43
Al-Habib Zein bin Ibrahim bin
Smith, Al-Taqrirat alSadidah hal.
447-448,
Muhamad Amin al-Kurdi al-Irbali, Tanwir al
Qulub hal.231
44
Bila ada yang tertelan, maka
puasanya batal.
45
Al-Habib Zein bin Ibrahim bin
Smith, Al-Taqrirat alSadidah hal.448
https://www.potretsantri.com/2022/05/fiqih-puasa-lengkap-beserta-tanya-jawab.html