Forum R20 NU DIY: Para Pemuka Agama Bertemu untuk Mencari Jawaban atas Krisis Iklim

Yogyakarta- Pada tanggal 18-19 Februari akan diadakan pertemuan para pemuka agama dan kepercayaan di DIY dan Jawa Tengah di University Hotel UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Heru Prasetia, Ketua Panitia Forum R20 NU DIY mengatakan, forum ini mempunyai tujuan untuk membangun ruang bagi masyarakat sipil untuk belajar bersama dan membangun pemahaman yang lebih baik tentang krisis lingkungan dan perubahan iklim. Selain itu untuk mendorong tumbuhnya gerakan bersama menuju keadilan ekologi.

Lanjut Heru, acara ini juga dalam rangka memperingati 1 abad NU, yang melibatkan lembaga-lembaga dalam naungan PWNU DIY, yakni LAKPESDAM-LPBI-LKK-LESBUMI-LTN PWNU DIY, kita bersama-sama berikhtiar menggelar serangkaian kegiatan untuk mencoba menjawab tantangan-tantangan tersebut di atas.

Forum ini terilhami dari ayat al-Qur’an QS. Al-Isra’:37.  Yang berarti, “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.”

Ayat di atas mengingatkan kita bahwa adanya kerusakan alam dan lingkungan yang saat ini ditandai dengan adanya krisis iklim secara global berakar dari krisis spiritual, yakni kecenderungan materialisasi alam atau pembendaan semata-mata terhadap alam sehingga dengan itu manusia seakan-akan absah mengeksploitasinya. Preferensi itu bukan hanya pada level personal namun bisa diperiksa pula di level kebijakan suatu negara, termasuk Indonesia, yang masih mendasarkan pembangunan berbasis ekonomi ekstraktif dan logika efisiensi terhadap alam.

Pangan, Penyakit, dan Krisis Ekologi Global

Dalam beberapa dekade ke depan, sebagian besar umat manusia, terutama di negara-negara miskin di belahan dunia Selatan, akan terus-menerus menderita kelaparan yang meluas dan kekurangan air akut, karena perubahan lingkungan yang dramatis. Ini adalah prediksi berdasarkan fakta-fakta yang terjadi dewasa ini. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2018 telah mengeluarkan laporan bahwa ulah manusia mengakibatkan peningkatan suhu global telah mencapai satu derajat Celcius pada 2017 dan terus naik 0,2 derajat Celcius setiap tahun. Pemanasan ini akan bakal melewati batas 1,5 derajat Celcius sekitar 2040. Tingkat perubahan iklim yang terjadi saat ini sudah mencapai titik yang tidak bisa dibiarkan berlanjut lagi jika tidak ingin keseimbangan (mizan) alam akan segera lenyap. Kita semua tahu, perubahan iklim adalah nyata.

Baca juga:  KH Zawawi Imron Jelaskan Alasan Cinta Tanah Air

Pandemi Covid-19 juga menyadarkan kita betapa dunia telah mengalami krisis ekologi atau lingkungan. Krisis ini tidak hanya terjadi di sektor daratan, tapi juga perairan, udara, dan segenap unsur lingkungan hidup lainnya sehingga mengubah hubungan antara manusia dan non-manusia. Berbagai analisis mutakhir terhadap wabah Covid-19 (Lodhi 2021) menjelaskan kaitan antara pembukaan tanah dan hutan skala luas untuk perluasan kapital dengan perubahan ekosistem. Rusak bahkan hilangnya danau, gua, hutan, dan berbagai ruang hidup menjadi ancaman bagi hewan yang semula menjadi patogen dari suatu mikroba (virus, bakteri, jamur). Tanah-tanah pertanian berubah menjadi peruntukan pembangunan yang lain atau pertanian dalam sistem agrobisnis skala korporasi sehingga para petani-peternak-pemburu memanfaatkan ruang-ruang marjinal, semakin ke gunung atau goa-goa untuk bertani dan berburu. Covid-19 adalah cermin dari ketersingkiran para petani dan pemburu.

Hewan-hewan yang semula menjadi patogen dari suatu mikroba (virus, bakteri, jamur) dikonsumsi dan terjadilah penularan penyakit dari hewan pada manusia (zoonosis). Mereka kemudian bertransmisi mencari inang baru. Penularan penyakit berlangsung melalui kontak, baik secara langsung maupun tidak langsung, antara binatang dan manusia dalam berbagai proses produksi, distribusi dan konsumsi (pangan), meluasnya meatification (dagingisasi konsumsi) secara global (Weis 2021), serta penularan melalui daur ekosistem. Transportasi pangan global dan pembukaan frontier produksi pangan kapitalistik mempercepat dan memperluas penularan. Terkoneksinya manusia secara global mengakibatkan luasnya efek wabah sehingga berdampak pada kesehatan dan kematian secara global pula (Rachman dan Nelwan 2021).

Pandemi Covid-19 ini menjadi lonceng penanda bahwa bukan hanya umat manusia, namun segenap hewan, tumbuhan, mikroba dan virus, makhluk material seperti batu, air dan angin, laut, gunung yang kesemuanya berumah di bumi tempat hidup bersama ini, bersifat saling memengaruhi dan saling terhubung.

Rusaknya infrastruktur ekologi dunia seperti gua, sungai, mata air, urat-urat sungai bawah tanah, hutan, danau, lautan, dan berbagai ruang hidup makin terjadi secara luas. Sampah makanan dan polusi mengakibatkan penumpukan gas metana sehingga terjadi pelobangan pada lapis ozon (efek rumah kaca). Sampah rumah tangga, polutan industrial, dan sampah plastik ditemukan dimana-mana, termasuk ada di sungai dan laut. Hampir semua kota-kabupaten di Indonesia tidak satupun yang memiliki kemampuan mengelola sampah dengan baik. Masalah sampah telah menjadi masalah di perkotaan maupun wilayah pedesaan kita.

Baca juga:  Bersama Kiai Said, Satgas NU Peduli Terus Tanggulangi Corona

Manusia sampai pada titik tertinggi kerakusannya, dengan melakukan pembongkaran dan pengerukan alam di daratan dan lautan, serta konversi lahan untuk pertanian, perkebunan, dan peternakan secara luas guna memenuhi hasrat (over)-konsumsinya; serta untuk motif peningkatan produksi dan akumulasi kapital. Menyadari bahwa manusia bukan satu-satunya makhluk di alam raya, serta saling-mempengaruhinya satu spesies dengan lainnya, gaya hidup dan perilaku over-consumption serta over-capital accumulation tersebut mengganggu habitat makhluk dan kerusakannya mempengaruhi kualitas manusia dan lingkungan itu sendiri.

Krisis ini menantang umat manusia untuk mengevaluasi cara hidupnya. Termasuk dengan menuntut kaum kaya untuk mengurang konsumsi energi sembari membantu meningkatkan kesejahteraaan hidup kaum fakir secara lestari/berkelanjutan. Hal ini bisa dicapai salah satunya adalah dengan mengadvokasi kaum miskin dengan model ekonomi yang berpijak pada distribusi ekonomi yang adil.

Gambaran krisis (bencana) di atas pada akhirnya saling membentuk: krisis spiritual—krisis sosial—krisis lingkungan/alam. Pihak yang paling bertanggung jawab dalam pencipta krisis tersebut adalah manusia.

Kemanusiaan dan Keberagamaan

Di dalam konteks membangun solidaritas kemanusiaan bahkan hidup selaras dengan alam, umat manusia senantiasa didorong mentransendensikan spirit persaudaraannya. Kita menyadari bahwa bencana tidak hanya disebabkan oleh perilaku manusia, namun karakter dari alam itu sendiri yang hidup dan bergerak di dalam kerangka sunnatullah (hukum alam) tersebut, yang tidak terelakkan berdampak pada kehidupan manusia.

Indonesia memiliki potensi alamiah yang membahayakan: gempa bumi, tsunami, badai, gunung berapi, banjir, hingga tanah longsor. Indonesia terletak di kawasan pertemuan tiga lempengan bumi, yaitu Eurasia, Pasifik, dan Indo-Australia; terletak di daerah sabuk api atau yang dikenal dengan “ring of fire”; terdapat 187 gunung api berderet dari barat ke timur. Indonesia menempati ranking pertama dari 265 negara di dunia terhadap risiko tsunami; rangking pertama dari 162 untuk tanah longsor; ranking ke-3 dari 153 negara terhadap risiko gempa bumi; ranking ke-6 dari 162 untuk risiko bencana banjir. Lemahnya mitigasi dan adaptasi terhadap potensi tersebut, menjadikan setiap bencana senantiasa menelan korban jiwa yang besar. Kenyataan ini tentu menyedihkan.

Baca juga:  Profesor Stanford: Jokes Bapak-Bapak Bisa Bikin Anda Cuan

Respons masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan terhadap adanya bencana tersebut adalah memberi bantuan pada para korban: evakuasi, pengobatan, suplai makanan, pembangunan pemukiman, dan berbagai bantuan kemanusiaan lainnya. Semangat aksi-aksi kemanusiaan masyarakat Indonesia memang tergolong besar. Akan tetapi di tingkat lapangan, masih saja banyak terjadi diskriminasi dan prasangka yang menganggap bahwa aksi-aksi kemanusiaan tersebut didomplengi dengan agenda keagamaan tertentu. Oleh sebab itu diperlukan pemikiran bersama bahwa prinsip kemanusiaan mendahului keberagamaan.

Peran Umat Agama dan Pemeluk Keyakinan

Problem global kerusakan lingkungan dan krisis iklim menantang kita untuk memikirkan kembali logika yang memisahkan antara alam dengan manusia, antara dimensi material dan spiritual. Apa yang terjadi saat ini juga menuntut adanya refleksi etis hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya yang menyejarah. Menyadari hal demikian maka memperjuangkan isu lingkungan hidup sebetulnya adalah ikhtiar kemanusiaan untuk menjadi rahmat bagi semesta. Perbedaan agama, ras, bahkan negara harus dilampaui untuk menghdapi ancaman bencana yang sudah di depan mata. Sudah saatnya kita menjadikan semesta alam di bawah naungan ilahi sebagai platform bersama yang melintasi batas penggolongan dan identitas dan agama. Krisis lingkungan bukan hanya masalah ilmiah, politik dan ekonomi tetapi juga tantangan moral dan spiritual.

Upaya ini seharusnya menggantikan politik identitas yang justru mengoyak-koyak kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama. Secara etis atau semestinya—dan demikianlah proses kelahiran serta tujuan penciptaannya—agama menjadi elan vital untuk mendobrak kebekuan peradaban, memperjuangkan keadilan sosial, serta kelestarian dan keadilan alam.

Pertemuan pemuka agama dan pemeluk keyakinan atau penghayat ini diharapkan dapat menjadi forum untuk (1) membangun ruang bagi masyarakat sipil untuk belajar bersama dan membangun pemahaman yang lebih baik tentang krisis lingkungan dan perubahan iklim; (2) mentransformasikan nilai-nilai agama dan praktik lokal perlindungan terhadap alam lingkungan untuk menjawab tantangan krisis ekologi; (3) mendorong tumbuhnya gerakan bersama yang mempersatukan dalam upaya pelestarian dan perlindungan alam serta aksi-aksi kemanusiaan seperti dalam aksi penanggulangan bencana alam.

https://alif.id/read/redaksi/forum-r20-nu-diy-pertemuan-pemuka-agama-jateng-diy-mencari-jawaban-agama-atas-krisis-iklim-b247136p/