RumahBaca.id – Dalam bahasa Arab, “futur” artinya kendor (atau persisnya: kekendoran); harus dibedakan dari kata “future” dalam bahasa Inggris yang artinya “masa depan”, walau ada kemiripan dalam hurufnya.
Futur adalah istilah penting dalam ilmu tasawuf. Ia menggambarkan situasi ketika seorang salik/penempuh jalan ketuhanan secara rohani mengalami situasi “down,” turun, patah semangat. Ibarat sebuah lampu, “futur” adalah kondisi ketika lampu kejiwaan seserang “mblêrêk,” memudar sinarnya.
Tetapi “futur” juga menggambarkan keadaan kejiwaan secara umum; tidak saja dalam hal ketasawufan saja. Ketika pada suatu pagi kita tiba-tiba “mager,” malas gerak, ogah melakukan rutinitas jalan atau lari pagi, itu adalah futur.
Kondisi “jeroan” manusia memang sangat fluktuatif, seperti sebuah gelombang. Ada saat-saat seseorang mengalami situasi pasang/naik: semangatnya meluap-luap. Inilah yang disebut euforia. Ada saat lain ketika “jeroan” orang itu mengalami surut. Dalam momen seperti ini, ia seperti kehilangan “selera” untuk melakukan apa saja, alias mager.
Semua orang tentu pernah mengalami pasang-surut seperti ini. Saya pun mengalaminya, bahkan sering. Jika situasi futur ini sedang menimpa, kita biasanya akan mengalami ketidak-nyamanan, bahkan kesedihan. Inilah momen “gloomy,” mendung kejiwaan kita; mendung rohani.
Menjaga kondisi agar “jeroan” atau kejiwaan kita stabil secara terus-menerus, jelas susah dan amat berat. Yang paling bisa dilakukan, paling jauh, adalah menjaga agar fluktuasi dan pasang-surut “jeroan” kita tidak terlalu drastis. Jika sedang bersemangat, tidak terlalu meluap berlebihan; jika sedang kehilangan “api” juga tidaklah ekstrim. Tengah-tengah. Inilah mungkin situasi kerohanian yang disebut “istiqamah“. Jika seseorang mampu menjaga istiqamah, konsistensi dalam hal kebaikan sepanjang hayatnya, ia menjadi seorang wali. Sering dikatakan: istiqamah lebih berat ketimbang seribu keramatnya para wali (al-istiqāmah khairun min alfi karāmah).
Contoh sederhana istiqamah yang mengagumkan buat saya adalah kemampuan para kiai kita di kampung-kampung untuk “ajêg“, istiqamah, konsisten mengajar, “ngaji”, ngimami salat, mendidik para santri, sepanjang hayat; padahal tidak ada “reward” yang bersifat finansial yang mereka peroleh. Mereka melakukannya secara sukarela, karena kecintaan mereka pada pekerjaan mengajar itu. Istiqamah memang biasanya terjadi ketika seseorang mencintai sesuatu dengan mendalam. “Futur” biasanya terjadi ketika “api cinta” itu mulai “mblêrêk.”
Apakah para kiai itu tidak pernah mengalami “futur” atau kendor semangat untuk mengajar para santri? Tentu saja pernah. Saya yakin, ada momen-momen tertentu ketika seorang kiai mengalami keadaan futur semacam itu. Saya sendiri, sering mengalaminya; tiba-tiba saja merasa malas sekali untuk memulai ngaji Ihya’. Rasanya berat sekali ketika mau membuka kitab Imam Ghazali itu. Yang aneh, dan ini sering saya alami, begitu sudah mulai membuka kitab, dan mengajarkannya, futur itu pelan-pelan hilang, lalu semangat saya mendadak muncul kembali. Pada saat futur hilang dan semangat kembali, kita merasa gembira luar biasa, seperti pacar bertemu dengan pasangannya.
Memang “jeroan” dan suasan batin manusia memiliki gerak-gerik yang ajaib, dan kadang aneh. Barangkali inilah yang oleh Imam Ghazali dalam Ihya’ disebut “keajaiban hati manusia” (ʿajāʾib al-qalb). Yaitu, hati manusia yang wira-wiri dan naik turun antara semangat-meluap dan semangat-mblêrêk.
Inilah sebabnya, doa tasyahhud akhir dalam salat memuat penggalan ini: yā muqallib al-qulūb, ṯabbit qalbi ʿalā dīnik (wahai Tuhan yang membolak-balikkan hati manusia, tetapkan hatiku atas jalan kebenaran-Mu).
Sekian. Ayo ngopi!