Gagasan Al-Farabi Tentang Al-Madinah Al-Fadhilah: Utopia di Nusantara

Al-Farabi, seorang filsuf Muslim terkemuka dari abad ke-10, menulis kitab berjudul Ara’ Ahl Al-Madinah al-Fadhilah sebagai respons terhadap kebutuhan manusia akan negara yang ideal dan pemimpin yang sempurna. Karya ini mencerminkan keinginannya untuk menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang berdasarkan keutamaan moral dan kebijaksanaan, yang ditujukan untuk membawa masyarakat menuju kebahagiaan tertinggi.

Karya ini juga menjadikan al-Farabi menjadi orang pertama yang mengembangkan konsep terintegrasi tentang negeri utopia dari perspektif Arab-Islam. Dengan memadukan filsafat Yunani, terutama Plato, dengan prinsip-prinsip Islam, Al-Farabi menawarkan sebuah visi utopis yang filosofis dan Islamis.

Secara etimologis, istilah utopia berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua bagian: (οὐ) yang berarti “tidak” dan (τόπος) yang berarti “tempat”, sehingga secara harfiah berarti “tempat yang tidak ada”. Dalam konteks ini, Al-Madinah al-Fadhilah menggambarkan kota yang ideal namun sulit untuk diwujudkan dalam kenyataan. Meskipun demikian, keinginan untuk mencapai keadaan tersebut mencerminkan harapan umat manusia akan kehidupan yang lebih baik dan lebih bermartabat.

Namun, apakah gagasan al-Farabi ini hanyalah pemikiran abstrak dan teoritis belaka?

Dalam kitabnya al-Farabi menyatakan bahwa negara yang ideal adalah yang dipimpin oleh orang yang memahami tujuan kehidupan, yakni kebahagiaan yang hakiki (sa’adah). Pemimpin negara ini harus memiliki kombinasi dari kebijaksanaan (hikmah), keadilan (‘adl), dan pengetahuan tentang hakikat kebenaran (ma’rifat).

Dalam masyarakat ideal, setiap individu menjalankan peran yang sesuai dengan bakat dan keahlian mereka. Seorang pemimpin yang ideal perlu memahami hubungan antara kebahagiaan individu dan kesejahteraan masyarakat. Menurut pandangan al-Farabi, kebahagiaan tidak dapat dicapai secara terpisah; melainkan, ia merupakan hasil dari interaksi dalam masyarakat yang harmonis. Oleh karena itu, pencapaian kebahagiaan individu bergantung pada penciptaan lingkungan sosial yang mendukung dan saling melengkapi.

Al-Farabi menggambarkan pemimpin dalam negeri utopia (al-Madinah al-Fadhilah) sebagai jantung dalam tubuh manusia, yang menjadi inti dari keberadaan negeri tersebut. Jika Plato menekankan pentingnya pemimpin sebagai seorang filsuf, Al-Farabi membawa pandangan ini lebih jauh dengan menyatakan bahwa pemimpin seharusnya adalah seorang النبي الفيلسوف (imam filsuf), Pemimpin yang bukan hanya bijaksana dan cerdas dalam hal intelektual, tetapi juga memiliki kualitas spiritual yang tinggi.

Pantas saja, menjadi pemimpin di negeri utopia bukanlah hal yang mudah; harus ada kesempurnaan dalam diri pemimpin tersebut. Al-Farabi menekankan bahwa seorang pemimpin yang ideal adalah sosok yang tidak dipimpin oleh siapa pun. Dan kondisi ini hanya dapat tercapai pada seseorang yang memiliki dua belas kualifikasi krusial di bawah:

  1. Kesehatan fisik yang baik.
  2. Pemahaman yang baik.
  3. Daya ingat yang kuat.
  4. Kecerdasan dan kewaspadaan.
  5. Kemampuan berbicara yang baik.
  6. Kecintaan terhadap ilmu.
  7. Menjauhi kenikmatan duniawi.
  8. Kecintaan pada kebenaran.
  9. Kebesaran jiwa.
  10. Tidak menganggap harta duniawi penting.
  11. Kecintaan pada keadilan.
  12. Kekuatan tekad.

Relevansi Pemikiran Al-Farabi dalam Konteks Indonesia

Mengaitkan konsep Al-Madinah al-Fadhilah al-Farabi dengan kearifan lokal di Indonesia, kita bisa melihat keselarasan dengan filosofi Jawa, “Hamemayu Hayuning Bawana”. Prinsip ini menekankan pentingnya menjaga dan mempercantik dunia—baik dalam aspek alam, manusia, maupun hubungan dengan Tuhan. Nilai tersebut sejalan dengan gagasan al-Farabi tentang kebahagiaan dan harmoni dalam sebuah masyarakat yang ideal.

Dalam budaya Jawa, pemimpin tidak hanya bertanggung jawab atas kesejahteraan material rakyat, tetapi juga harus membawa kedamaian dan keseimbangan, seperti tercermin dalam filosofi ini. Pemimpin harus menempatkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi, suatu ide yang juga ditekankan oleh al-Farabi dalam konsepsi negeri idealnya, di mana kebahagiaan bersama menjadi tujuan utama. Al-Farabi melihat pemimpin sebagai sosok yang harus memiliki kebijaksanaan, serupa dengan konsep pemimpin Jawa yang harus waskito—cerdas dan bijak.

Contoh lainnya, Konsep Sabilulungan, yang merupakan kearifan lokal masyarakat Sunda dengan makna gotong royong, menghadirkan perspektif yang sangat relevan dalam memahami kolaborasi sosial sebagaimana dijelaskan dalam Al-Madinah al-Fadhilah karya Al-Farabi. Dalam Sabilulungan, masyarakat diajarkan untuk bekerja sama demi kemakmuran bersama, sebuah prinsip yang selaras dengan gagasan Al-Farabi tentang masyarakat ideal, di mana setiap anggota masyarakat memiliki peran penting dalam mencapai kebahagiaan kolektif.

“فالمدينة التي يقصد بالاجتماع فيها التعاون على الأشياء التي تنال بها السعادة في الحقيقة، هي المدينة الفاضلة، والاجتماع الذي به يُتعاون على نيل السعادة هو الاجتماع الفاضل، والأمة التي تتعاون مدنها كلُّها على ما تنال به السعادة هي الأمة الفاضلة، وكذلك المعمورة الفاضلة إنما تكون إذا كانت الأمم التي فيها تتعاون على بلوغ السعادة.”

“Suatu negeri yang dapat menjalin kerjasama untuk mencapai kebahagiaan sejati, itulah yang disebut sebagai negeri utopia (al-Madinah al-Fadhilah). Perkumpulan yang didalamnya ada kerjasama untuk meraih kebahagiaan disebut sebagai perkumpulan terbaik. Suatu bangsa yang kota-kotanya saling berkolaborasi untuk mencapai kebahagiaan adalah bangsa yang terbaik. Begitu juga, peradaban yang terbaik hanya dapat terwujud jika bangsa-bangsa di dalamnya saling bekerja sama untuk mencapai kebahagiaan.”

Sebagai contoh nyata, program Sabilulungan Raksa Desa di Bandung mengimplementasikan konsep ini dalam kehidupan sehari-hari. Program tersebut menekankan pentingnya kerja sama dalam menjaga lingkungan hidup, di mana warga desa berpartisipasi dalam kegiatan menanam pohon (Satapok) dan pengelolaan limbah. Tujuannya adalah menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan berkelanjutan, serta memperkuat hubungan sosial di antara warga. Kegiatan semacam ini mencerminkan ide harmoni sosial Al-Farabi, yang menekankan bahwa masyarakat yang ideal dibangun melalui kolaborasi yang saling menguntungkan antara individu-individunya.

Dengan demikian, konsep di atas menggambarkan bagaimana warisan lokal dapat memperkaya filosofi klasik seperti Al-Madinah al-Fadhilah, menciptakan sebuah sinergi antara tradisi lokal dan pemikiran filosofis global dalam upaya membangun masyarakat yang ideal.

Demokrasi di Indonesia: Mencari Harmoni di Tengah Koloni

Dalam praktik politik Indonesia saat ini, ada banyak dinamika dan tantangan yang perlu diatasi untuk mencapai visi ideal seperti yang digagas oleh al-Farabi. Demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang diterapkan di Indonesia mencerminkan nilai-nilai partisipasi aktif dari berbagai elemen masyarakat. Namun, tantangan seperti korupsi, oligarki, dan ketimpangan sosial masih menjadi masalah yang menghambat tercapainya masyarakat yang adil dan sejahtera.

Dalam konteks ini, nilai keadilan (‘adl) yang dikemukakan al-Farabi menjadi penting. Negara yang ideal dalam konsep al-Farabi adalah negara yang menegakkan keadilan bagi seluruh rakyatnya, yang juga selaras dengan sila ke-5. Ini bisa diimplementasikan ke dalam konteks Indonesia dengan memperkuat lembaga-lembaga penegak hukum dan meningkatkan transparansi dalam birokrasi. Sebagaimana dikatakan al-Farabi: “Keadilan adalah fondasi dari setiap negara yang stabil dan sejahtera”.

Seperti yang sudah dipaparkan di atas, kearifan lokal di Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam membangun masyarakat yang harmonis dan adil. Nilai-nilai seperti musyawarah, gotong royong, dan kesetaraan yang dipegang oleh masyarakat adat tidak hanya mencerminkan tradisi, tetapi juga berfungsi sebagai fondasi dalam mewujudkan gagasan negeri utopia.

Dalam Al-Madinah al-Fadhilah, Al-Farabi menekankan bahwa setiap individu memiliki peran dalam mencapai kebahagiaan bersama. Konsep ini relevan dalam demokrasi Indonesia, di mana penguatan partisipasi “civil society” menjadi kunci untuk menciptakan kesejahteraan bersama. Partisipasi ini tidak hanya terbatas pada pemilihan umum, tetapi juga meliputi keterlibatan dalam diskusi publik, pengawasan terhadap kebijakan, serta inisiatif sosial yang mendorong transparansi dan akuntabilitas pemerintahan.

Organisasi masyarakat sipil seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peran besar dalam memperkuat nilai-nilai demokrasi dan pluralisme di Indonesia. Keduanya seharusnya berfungsi sebagai mekanisme check and balance yang alami, lahir dari rahim masyarakat, untuk mengawasi kinerja pemerintah secara kritis. Mereka secara aktif terlibat dalam mempromosikan dialog antaragama dan menjaga kebinnekaan nasional, menciptakan ruang bagi semua kelompok untuk berpartisipasi dalam proses sosial dan politik.

Melalui penguatan peran masyarakat sipil, kita dapat melihat bagaimana kearifan lokal dan prinsip-prinsip dari Al-Madinah al-Fadhilah dapat terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Dalam menciptakan masyarakat yang lebih baik, peran aktif semua elemen, dari pemerintah hingga individu, sangat dibutuhkan. Dengan demikian, kehadiran masyarakat sipil bukan hanya sebagai pengawas, tetapi juga sebagai mitra dalam membangun tatanan sosial yang harmonis dan berkeadilan.

Kesimpulannya, Al-Madinah al-Fadhilah tidak hanya merupakan utopia dalam konteks teori politik, tetapi juga sebuah visi yang sedikit demi sedikit bisa diterapkan. Dengan mengamalkan nilai-nilai kearifan lokal seperti gotong royong dan musyawarah, serta memperkuat moralitas dalam kepemimpinan, Indonesia kelak bisa mendekati visi negara yang harmonis dan adil seperti yang digagas oleh al-Farabi.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/adn/gagasan-al-farabi-tentang-al-madinah-al-fadhilah-utopia-di-nusantara-b249953p/