Laduni.ID, Jakarta – Ketika Indonesia diproklamirkan 17 Agustus 1945, dengan segala kondisi yang ada, belum memiliki lambang negara. Hal ini berlangsung hingga akhir Desember 1949, pasca Konfrensi Meja Bundar. Bung Karno akhirnya mengutus Sultan Hamid Al Qodri II sebagai Ketua perancangnya..
Tak ketinggalan pula beberapa tokoh Nasional antara lain Mr. Muhammad Yamin, Ki Hajar Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Mr. Mohammad Natsir, dan R. M. Ngabehi Poerbatjaraka juga mengajukan rancangan tersebut. Namun, dari puluhan rancangan, akhirnya rancangan dari Sultan Hamid II lah yang disetujui.
Setidaknya ada dua versi menarik tentang inspirasi dari Lambang Garuda Pancasila. Versi Pertama, garuda merupakan burung mitos masyarakat Jawa era Majapahit yang menyatakan bahwa burung ini adalah kendaraan dari Raja Erlangga, Burung Garudhea.
Versi Kedua, burung garuda sebenarnya adalah Elang Rajawali Sayyidina Ali. Juga salah satu panji beliau adalah Elang Rajawali. Hal ini diketahui setelah Sultan Hamid II berkunjung ke Yaman dan bertemu dengan para Ulama di sana.
Beliau membandingkan dan menggabungkan antara mitologi Garuda dengan Elang Rajawali Sayyidina Ali. Lambang yang dirancang oleh Sultan Hamid II mendapat usulan perbaikan dari Bung Karno, yakni kepalanya menjadi berjambul dan cengkeramannya ke depan. Juga pita yang awalnya merah putih menjadi pita bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika.
Lambang Negara yang telah disetujui bersama ini akhirnya dilukis oleh pelukis ternama, Dullah, dengan biaya pribadi Sultan Hamid II. Jadilah Lambang garuda Pancasila seperti yang kita kenal saat ini.
Namun, sayang sekali, dalam perjalanan sejarah, beliau dituduh bersekutu dengan Westerling dalam rencana penyerangan Sidang Dewan Menteri RIS, sehingga dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Setelah itu, nama beliau hampir tidak pernah disebutkan dalam sejarah lagi.
Saat ini keluarga sedang mengajukan supaya Sultan Hamid II dijadikan Pahlawan Nasional.
Ila Hadlroti Ruhi Sultan Hamid Al Qodri II, Al Fatihah…
Sumber foto: BBC.com dan Kompas.com
Oleh: Bu Nyai Shuniyya Ruhama
Editor: Daniel Simatupang