Gita Bahana Nusantara: Komposisi Kultural dalam Memaknai Kebangsaan Kita

Dalam setiap peringatan HUT RI di Istana Negara, tim orkestra dan paduan suara Gita Bahana Nusantara (GBN) hadir menyajikan lagu-lagu nasional, perjuangan dan daerah Nusantara. Mereka adalah sekelompok anak muda terpilih berusia 16-23 tahun dari seluruh Indonesia yang memiliki talenta musik dan olah vokal.

Sesuai namanya, Gita berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti nyanyian atau lagu. Bahana adalah gema, bunyi, suara riuh rendah, dan Nusantara merupakan sebutan wilayah kepulauan Indonesia. GBN mengartikan nyanyian membahana dari seluruh wilayah Indonesia.

GBN menjadi kebanggaan para anak muda yang ingin mewujudkan nasionalisme dan rasa cinta tanah air melalui musik. Ini ditunjukkan dengan antusiasme mereka mengikuti seleksi di daerah masing-masing. Dengan peserta dari seluruh Indonesia, GBN menjadi gambaran keragaman seni budaya Indonesia. Ia menjadi gambaran Indonesia mini dalam sebuah orkestrasi musik.

Tidak hanya nada yang dilagukan, notasi yang dimainkan atau orkestrasi alat musikal, pembacaan lebih dalam tentangnya adalah sebuah komposisi kultural, di mana setiap elemen penyusunnya adalah kemampuan dan kualitas personalitas yang hadir untuk kepentingan yang sama: memaknai kemerdekaan bangsa.

Ia tidak sekedar presisi ketukan dan tinggi rendahnya nada, tapi musiknya juga menyampaikan ekspresi kebudayaan yang lebih esensial. Lagu-lagu Nusantara itu adalah simbolisasi nilai, makna kontekstual dan ekspresi artistik sebuah kebudayaan.

Musik hanyalah media, sementara spirit yang mendasarinya adalah nasionalisme. Dan kebanggaan dan rasa cinta tanah air ini akan membangun dan menumbuhkan sesuatu yang baik demi bangsa dan negara.

Dalam maksud dan tujuan kehadirannya, GBN membuktikan musik sebagai produk kebudayaan beroleh fungsi kontekstualnya. Sesuai dengan prinsip kemanusiaan, musisi muda dari berbagai latar belakang wilayah, suku, agama dan kepercayaan, memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pengakuan serta berkesempatan untuk mempresentasikan diri berkompetisi dan berprestasi.

Musisi muda berbakat dari Natuna, wilayah terdepan dan terluar di Kepulauan Riau bisa bertemu, berlatih dan bekerja sama dengan talenta musik lain dari Mentawai, Sumbawa, hingga Papua. Tak ada yang diutamakan ciri khas kedaerahan ataupun penanda khusus kewilayahannya. Semua disatukan oleh musik yang melebur batas-batas identitas antropologis itu dalam sebuah ekspresi artistik.

Dinamika Sosial Politik

Ia menjadi respon balik atas dinamika sosial politik yang terindikasi kerap memunculkan kisah keberpihakan pada kepentingan pihak tertentu, penyalahgunaan wewenang hingga pemutarbalikan fakta dilakukan secara vulgar dan berulang. Kesan hukum digunakan untuk kepentingan golongan yang mempunyai kuasa, makin terasa di negeri ini. Publik dianggap anak kecil yang bisa dikelabui dan diabaikan pendapatnya karena tak mempunyai kekuatan untuk merubah keadaan.

Setelah pesta demokrasi dan menjelang pemilihan kepala daerah ini, Indonesia sebagai sebuah entitas dikoyak oleh ide kontestasi identitas (agama, kelas sosial dan kini, basis politiknya) yang tidak hanya terjadi di Ibu Kota, tetapi juga menjalar ke sejumlah wilayah. Semuanya dilakukan dalam konstruksi yang dibangun di tengah – meminjam istilah Francis Fukuyama ”superioritas kelompok” – yang sering memaksakan kehendaknya dengan memanfaatkan logika kultural dengan semena-mena.

Padahal Indonesia, seturut Restu Gunawan (2022), selain sebagai komitmen politik, juga mengandung makna sebuah komitmen kebudayaan. Upaya membangun Indonesia yang inklusif dan berkelanjutan perlu terus diwacanakan. Terlebih dalam perkembangan politik saat ini, sering kali masyarakat lupa bahwa tanah air Indonesia lahir atas kontrak politik untuk menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada ke dalam kerangka Tanah Air yang satu.

Sikap Budaya

Dengannya, bangsa dan negara ini perlu melakukan transformasi logika kehidupan dengan menguatkan kohesi sosial sebagai sikap budaya berbentuk toleransi, solidaritas dan juga apresiasi dalam berbagai bentuk kegiatan dan kebijakan publik yang memfasilitasi keberagaman latar kultural dan menghargai pluralitas yang ada.

Pluralisme harusnya menjadi ruang nyaman bagi paradigma perbedaan sebagai salah satu konsep dasar kemanusiaan. Perbedaaan kultur diakui menjadi elemen penyusun corak kehidupan masyarakat. Itulah multikulturalisme, jembatan ideologi yang mengakomodasi perbedaan dalam masyarakat yang bhinneka (Parsudi Suparlan, 2001).

Untuk itu, hal penting yang akan menguatkannya adalah apa yang disebut Hannah Arendt sebagai etika sosial kemasyarakatan berupa “persaudaraan”: sesuatu yang lebih sublim ketimbang ras, agama, atau ideologi – sebuah relasi yang nonsektarian. Persaudaraan adalah sebuah etika pergaulan kebudayaan yang beralaskan saling pengakuan satu sama lain sebagai subyek moral yang setara dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip metasektarian, seperti kebebasan, kesetaraan, dan keadilan.

Relasi sosial ini bisa terwujud dalam sistem respons dan resiprositas sosial atau timbal balik antar individu didalam masyarakat dalam wujud saling respek, tak berpandangan sempit, tak mudah menstigma atau mengklaim secara sepihak. Dalam konteks ini, sebagai orkestrasi, GBN menumbuhkan kesadaran untuk saling merespon, melengkapi dan menguatkan dalam sebuah komposisi musikal.

GBN menjadi wahana para generasi muda tergabung dalam sebuah proyek kolaborasi artistik. Sebagai proses edukatif, ini bisa melatih mereka untuk bekerja sama dalam spirit pluralism, multikulturalisme dan nasionalisme.

Dalam konteks kehadirannya, ia berada dalam konsep kebangsaan sebuah acara kenegaraan, yang bisa dibaca sebagai penegasan tentang (meminjam istilah Ben Anderson) sebuah komunitas yang dibayangkan. Komunitas yang menekankan kedekatan, kebersamaan, kebersatuan, tentang identitas bersama. Ialah Indonesia, negara yang sedang merayakan hari kelahirannya.

Melalui GBN, musik menjadi berdaya; ia tidak hanya menghibur, tapi juga menguatkan. Praktik baik ini, apalagi jika menjadi budaya keseharian, bisa menjadi cara dalam menumbuhkembangkan kesadaran kehidupan bersama, menjadi fondasi bagi pendidikan karakter yang ditanamkan dan diamalkan, tidak sekedar pengetahuan.

GBN bisa memunculkan generasi muda yang memiliki dasar kuat sebagai sumber daya manusia utuh dan berkepribadian. Anak-anak muda yang menguasai kompetensi artistik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial.

Untuk itu, jangan sampai esensi makna kebudayaan melalui ekspresi musik ini menjadi komposisi “orkes sumbang” akibat lakon-lakon korupsi, hedonisme, kriminalisasi, ketimpangan hukum dan kesenjangan sosial – sesuatu yang merusak peringatan ulang tahun negeri ini.

 

Artikel Gita Bahana Nusantara: Komposisi Kultural dalam Memaknai Kebangsaan Kita ini ditulis oleh Purnawan Andra dan pertama kali diterbitkan di Alif.ID

Alif.IDAlif.ID – Berkeislaman dalam Kebudayaan

https://alif.id/read/purnawan-andra/gita-bahana-nusantara-komposisi-kultural-dalam-memaknai-kebangsaan-kita-b249708p/