Laduni.ID, Jakarta – Cara pandang Imam Syadzily yang memudahkan mestinya perlu untuk menjadi rujukan yang dipegang. Implementasinya sebagaimana direkam di dalam kitab Al-Hikam. Kitab Al-Hikam ini bisa menjelaskan cara pandangnya Imam Syadzily.
Coba dipertanyakan kalau ada seseorang melakukan dosa besar, apakah kita marah karena melihat kesalahannya atau ada hal lain yang menyebabkan kita marah? Jangan-jangan kita marah itu pasti ada hal lain. Misalnya, karena bukan saudara atau bukan atasan. Jadi marahnya itu pasti karena ada hal lain. Dari sini perlu direnungkan kembali.
Dalam satu kisah, bisa kita lihat tentang Nabi Ibrahim saat diangkat di Alam Malakut. Ketika Nabi Ibrahim melihat orang-orang maksiat, beliau berkata “Ya Allah orang-orang yang maksiat itu makan dari rizkimu, bertempat di bumi mu dan mendapatkan semua fasilitas yang Engkau ciptakan.” Lalu Allah berkata, “Lalu bagaimana Ibrahim?” Ibrahim berkata, “bunuh saja Ya Allah”. Lalu Nabi Ibrahim melihat lagi ada maksiat, beliau mengusulkan lagi agar dibunuh lagi.
Kemudian suatu saat Allah berkata ke Ibrahim, “Wahai Ibrahim sembelihlah Ismail!” Nabi Ibrahim mengelak, “Ya Allah Ismail ini buah hati ku, kenapa harus disembelih?” Allah lalu berkata, “Apakah kamu tidak ingat, ketika kamu aku angkat ke alam malakut, beberapa hambaku kamu usulkan agar ia dimatikan. Sekarang gantian, anakmu coba disembelih. Kalau kamu bisa sayang anakmu, maka aku juga sayang hamba-hambaku. Kamu diangkat menjadi Nabi itu untuk dakwah, bukan untuk membunuh atau mengurangi hamba-Ku.” Seketika Nabi Ibrahim menangis.
Dari sini bisa diambil satu pelajaran bahwa jika ada ditemukan kesalahan seseorang, terkadang kita memandangnya secara tidak fair akan kesalahan tersebut. Kadang karena orang yang salah itu tidak ada keterkaitan dengan kita, maka kita berpandangan bisa seenaknya saja dengan orang yang salah tersebut.
***
Bumi ini sebaiknya diisi oleh sekian perbedaan. Karena justru dengan adanya perbedaan itu, bumi ini akan menjadi bagus dan baik. Misalnya ,Ada yang mengajar, mengasuh di Pondok Pesantren, ada yang mengisi ceramah di luar, dan lain sebagainya.
Ada orang yang sholeh rajin ibadah di masjid, ada juga orang yang sholeh dalam pergaulan sosial. Ada orang yang terbiasa melakukan ibadah di masjid, itu juga bagus. Lalu ada orang duduk-duduk di pinggir jalan dengan tidak mengancam, tidak mengganggu, tetapi justru menolong orang lain yang mungkin butuh bantuan, tentu ini juga baik dan disyariatkan oleh Islam.
Coba diperhatikan apa yang disampaikan oleh Imam Ibnu Athoillah di dalam Kitab Hikam. Silakan direnungkan, bayangkan jika yang maksiat itu anak kamu, istri kamu. Pasti kamu memafkan dan kamu meminta kepada Allah agar diampuni kesalahannya. Berbeda jika yang maksiat itu orang lain, kita mungkin mudah untuk melaknatnya dan memandang sebelah mata.
Karena itulah, kita seringkali diajarkan oleh para guru kita, kalau berdoa itu perlu juga memintakan ampun untuk semua dengan kalimat seperti; “wa li jami’il muslimina wal muslimat, wal mukminina wal mukminat.” Kalimat ini filosofinya sangat keren bagus sekali. Bagaimana tidak, karena di situ untuk memintakan ampunan kepada seluruh umat Islam. Dan iIni merupakan ciri khas Ahlussunah wal Jamaah; dengan mendoakan seluruhnya, mulai semua Sahabat hingga seluruh orang mukmin. []
Sumber: Tulisan ini merupakan catatan yang diolah dan dikembangkan dari pengajian Gus Baha. Tim redaksi bertanggungjawab sepenuhnya atas uraian dan narasi di dalam tulisan ini.
___________
Penulis: Athallah Hareldi
Editor: Hakim
https://www.laduni.id/post/read/517364/gus-baha-bumi-ini-sebaiknya-diisi-oleh-sekian-perbedaan.html