Setelah kepergian Gus Dur dua belas tahun silam, sulit rasanya untuk menemukan sesosok penggantinya. Seorang pemimpin, baik sebagai pemimpin negara atau ormas Islam terbesar di Indonesia, atau sebagai tokoh politik sekaligus tokoh keagamaan di masyarakat, yang konsisten menyuarakan keadilan dan berani pasang badan atas setiap problem ketidakadilan. Mungkin inilah yang menjadikan Gus Dur sebagai manusia “langka” di tanah Nusantara.
Walaupun, tentu saja, Gus Dur bukanhlah sesosok manusia yang bersih dari cela. Gus Dur bukanlah seorang nabi atau manusia setengah dewa, tapi justru karena ia bukan seorang nabi yang membuat saya selalu takjub padanya: sebagai manusia biasa yang berani memikul tanggung jawab berat hingga rela mengorbankan dirinya demi yang lain, atau liyan. Tanggung jawab kepada liyan (the other) itulah yang telah menjadi prinsip dalam hidupnya.
Dalam pribadi Gus Dur, tanggung jawab itu bersifat konkret, seperti keberpihakan Gus Dur kepada kelas-kelas yang tersubordinasikan, dan berwatak asimetris, tanpa pamrih, sebagaimana dalam filsafat Levinasian. Sebab itu, dalam beberapa hal, Gus Dur cenderung mengingatkan saya pada Levinas, yang menekankan perihal tanggung jawab pada liyan atas dasar keadilan. Tanggung jawab kepada liyan atas dasar keadilan itulah yang saat ini terasa sulit kita temui, terlebih lagi pada sosok para pengurus publik (elit politik) hari ini.
Ada satu istilah dalam pemikiran Gus Dur yang tampak analog dengan pemikiran Emmanuel Levinas, yakni pengutamaan pada etika, sebagaimana tercermin dalam gagasannya perihal Islam sebagai Etika Sosial. Walaupun tentu, secara teoritis, etika dalam pemikiran Levinas jelas berbeda dengan konsep etika dalam pemikiran Gus Dur.
Apabila Levinas meletakkan etika sebagai dasar metafisik serta sebuah perjumpaan konkret dan suatu bentuk tanggung jawab terhadap liyan, sementara konsep etika dalam gagasan Islam sebagai Etika Sosial Gus Dur, merupakan suatu konsep nilai-nilai tentang tata kehidupan yang sesuai dengan Islam. Meskipun berbeda secara teoritis, tapi, setidaknya, masih memiliki kesamaan dalam hal politik, yakni sebagai bentuk etika-politik yang menekankan pada politik perbedaan, dalam mencapai keadilan.
Menariknya lagi, pemaknaan Gus Dur atas etika ini jauh berbeda dari pemahaman mainstream umat Islam dalam memahami istilah akhlak, yang merupakan muara dari ajaran Islam. Di tangan Gus Dur, akhlak yang selama ini cenderung dipahami sangat individualistik, menjadi berwatak sosial, sehingga memiliki kepekaan terhadap setiap problem sosial seperti ketimpangan dan kekerasan terhadap liyan oleh sistem yang berkuasa. Hal ini diungkapkan sendiri oleh Gus Dur dalam esainya yang berjudul, Fiqh dan Etika Sosial Kita (1987).
Dengan demikian, etika dalam gagasan Islam sebagai Etika Sosial ini sangatlah politis—dalam arti, memiliki muatan keadilan etis sekaligus keadilan politis. Melalui gagasan Islam sebagai Etika Sosial ini, Gus Dur hendak membentuk kehidupan masyarakat berkeadilan yang didasarkan pada nilai-nilai etis keislaman, sebagaimana yang terumuskan di dalam maqashid al-syari’ah.
Di dalam maqashid al-syari’ah termuat perlindungan atas hak-hak dasar manusia (kulliyat al-khams); perlindungan atas hak hidup (hifdz al-nafs), hak beragama (hifdz al-din), hak berpikir (hifdz al-aql), hak kepemilikan (hifdz al-maal), dan hak berkeluarga (hifdz al-nasl). Atas dasar itulah, dikatakan sebagai nilai-nilai universal Islam, atau nilai-nilai kemanusiaan di dalam Islam.
Nilai-nilai universal Islam itu menjadi dasar pemikiran Gus Dur dan kemudian dipertemukan dengan tradisi pengetahuan Barat, sebagaimana dalam peradaban Islam klasik pada masa dinasti Abbasyiah yang terbuka pada peradaban lain, seperti tradisi filsafat Yunani Kuno. Keterbukaan Islam terhadap kebenaran dan peradaban lain, semisal pada masa peradaban Islam klasik itu, menjadi teladan bagi Gus Dur untuk melahirkan gagasan kosmopolitanisme Islam.
Sebab, bagi Gus Dur, kosmopolitanisme Islam ini menjadi prasyarat untuk mewujudkan nilai-nilai universal Islam tersebut. Alasannya, zaman yang berbeda sudah tentu memiliki seperangkat pengetahuan dan aturan yang berbeda pula seperti sistem sosial dan politik, maka membutuhkan suatu cara baru agar mampu memahami dan mengatasi setiap persoalan yang muncul dalam berbagai aspek kehidupan di zaman modern ini.
Akan tetapi, cara-cara baru itu haruslah tetap dipijakan pada prinsip-prinsip mendasar keislaman. Tradisi keislaman ini seolah-olah menjadi habitus dalam diri Gus Dur, yang telah menggerakan dan membentuk kepribadiannya. Dan dari sanalah, Gus Dur mencetuskan suatu pandangan dalam dunia Islam yang dibangun dalam tiga bulir nilai: syura (demokrasi), musawah (persamaan), dan ‘adalah (keadilan).
Ketiga bulir nilai itu merupakan prinsip operasional yang terejawantahkan secara praksis dalam Islam sebagai Etika Sosial, dengan tujuan terciptanya keadilan etis dan keadilan politis. Artinya, tolak ukur dari ketiga nilai itu merupakan terciptanya suatu masyarakat yang beragam dan berkeadilan. Sehingga, bagi Gus Dur, untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan rakyat itu diperlukan suatu sistem politik yang dapat mendukungnya, yakni demokrasi.
Gus Dur memandang demokrasi sebagai sistem politik yang niscaya, karena hanya dengan sistem demokrasilah keadilan dan kesejahteraan rakyat bisa terwujud. Selain itu, demokrasi menjamin kebebasan dan kesetaraan setiap warga negara. Melalui sistem demokrasi setiap warga negara bisa menentukan dirinya sendiri sesuai dengan pandangan hidup yang diyakininya. Dalam hal ini, Gus Dur berusaha mewujudkan kebebasan beragama (hifdz al-din) dan kebebasan berpikir (hifdz al-aql), yang sangat fundamental dalam masyarakat demokratis.
Akan tetapi, kedua kebebasan itu baru bisa terpenuhi, tentu setelah prasyarat materialnya tercapai, seperti kelayakan hidup dalam hal ekonomi. Gus Dur pun menempatkan hak hidup (hifdz al-nafs) sebagai paling utama, sebagai prasyarat struktural dalam mencapai demokrasi yang sebenar-benarnya, bukan sekedar berwatak prosedural seperti pemerintahan saat ini.
Maka tak mengejutkan, apabila Gus Dur begitu ngotot dalam memperjuangkan demokrasi demi terciptanya kesejahteraan dan keadilan sosial. Komitmennya terhadap perjuangan demokrasi ini, dapat dilihat dari perlawanannya terhadap rezim despotik Orde Baru, serta pembelaannya terhadap liyan—petani, masyarakat adat, minoritas Tionghoa, eks-tapol PKI, atau kaum lemah lainnya.
Dengan demikian, Gus Dur telah mewarisi suatu etika politik, didasarkan pada nilai-nilai syura, musawah, dan ‘adalah, untuk membangun suatu tata kehidupan masyarakat yang beragam dan berkeadilan. Hal ini merupakan suatu kepedulian dan tanggung jawab Gus Dur sebagai seorang muslim kepada umat Islam, dan terutama kelompok tertindas, sebagai liyan dari sistem yang berkuasa dan represif. Sebagaimana Levinas, Gus Dur pun telah mengajarkan kepada kita suatu tanggung jawab kepada liyan yang bewatak asimetris, tanpa pamrih sedikitpun!
Hal itu terbukti saat Gus Dur membela kelompok minoritas seperti Ahmadiyah, membela Inul Daratista, meminta maaf kepada eks-tapol PKI dan yang diduga komunis, serta kebijakannya untuk mencabut TAP MPRS No. 25 tahun 1966, dan seterusnya, yang banyak menuai pertentangan dan caci maki dari sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun, setiap caci maki dan permusuhan terhadap dirinya itu selalu disikapi dengan lapang dada dan pikiran yang jernih. Kegigihannya dalam membela liyan itulah yang perlu kita teladani sampai kapan pun.
https://alif.id/read/ds/gus-dur-dalam-gagasan-emmanuel-levinas-islam-sebagai-etika-sosial-b241488p/