Sedahsyat apapun popularitas Gus Dur di mata banyak kelompok yang beragam dalam berbagai ladang sosial yang digarapnya, tidak melunturkan sosok Gus Dur sebagai kiai di mata para santri. Ketika beliau membela kaum yang dilemahkan, orang-orang bisa saja menganggapnya sebagai pejuang Hak Asasi Manusia, tapi bagi santri, beliau tak lebih dari kiai yang mewarisi sikap Baginda Nabi yang membela kaum terdhalimi.
Ketika beliau mengampanyekan sikap menerima perbedaan, orang-orang bisa saja menganggapnya sebagai bapak pluralisme, tapi bagi santri, beliau sesederhana kiai yang memahami betul keberagaman ciptaan Tuhan yang dinash dalam Al-Qur’an. Gus Dur adalah ejawantah nyata adagium terkenal Islam : rahmatan lil alamin.
Gus Dur terkadang memang menjelma sosok kiai yang berbeda. Beliau seringkali mengejutkan kalangan santri dengan berbagai tindakan yang dilakukanya, tapi beliau juga bisa menjelaskan tindakanya itu dalam bahasa khazanah keilmuan santri.
Pada tahun 1982, beliau pernah menggegerkan kaum Nahdhliyin (jamaah Nahdhatul Ulama) dengan menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Tapi beliau tidak menjawabnya dengan penjelasan ndakik-ndakik dan argumentasi akademik, cukup beliau menjelaskan bagaimana sekaliber Imam Syafi’i (pendiri madzhab Syafi’I yang dianut mayoritas muslim Indonesia) saja pernah dikenal sebagai Naqidul Adaby (kritikus sastra) yang disegani para penyair dan sastrawan Arab. “Kalau Imam Syafi’i masih hidup, ya menjadi Ketua Dewan Kesenian, begitulah. Saya kan hanya itba’…”. (Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab: 2020).
Karena itu, sungguh tidak tepat menganggap beliau liberal atau sekuler. Gus Dur sebagaimana banyak ulama’ didikan pesantren, merupakan ulama’ konservatif yang inklusif, pewaris tradisi dan cara berpikir Baginda Nabi yang menangkap bahwa elan vital konservatisme agama adalah demi menjaga hidup bersama dan membuat kemaslahatan serta kemajuan umat manusia (Hamzah Sahal, 2020).
Gus Dur merupakan santri dari berbagai pondok pesantren (Krapyak dan Tegalrejo) yang sejak belia membaca karya-karya babon intelektual dunia, seperti Das Kapital-nya Karl Marx. Tidak aneh, sebab pemikiran beliau memiliki lahan garapan berbeda dengan kebanyakan kiai pesantren lainya. Tapi penting untuk dicatat, segala pemikiran yang muncul dari Gus Dur, basisnya tetap berasal dari keilmuan agama khas pesantren : bagaimana pembacaan beliau pada Al-Qur’an, eksplorasinya atas khazanah ilmu fiqih dan perhatianya pada tasawuf.
Kaidah Fikih dalam Tulisan Gus Dur
Salah satu khazanah keilmuan pesantren yang tidak luput dari perhatian Gus Dur dalam membangun pemikiran-pemikiranya adalah Ilmu Qowaidul Fiqih (ilmu tentang kaidah-kaidah Fiqih). Tak jarang, banyak tulisan-tulisan Gus Dur yang argumentasinya diambil dari kaidah-kaidah Fiqih yang dipelajari dalam ilmu tersebut.
Dari tulisan-tulisan Gus Dur, perhatian, cita-cita dan cinta beliau terhadap Indonesia dan umat Islam dapat dilihat begitu jelas, dan tentu lebih menarik dari beberapa kontroversi-kontroversi terkenal beliau yang sempat membikin geger publik. Tulisan Gus Dur lebih berdimensi sosial keumatan, tapi beliau tidak melepaskan sepenuhnya nalar fiqih dari objek tulisan itu yang memang punya dimensi sosial.
Kaidah fiqih sendiri merupakan aturan yang bersifat umum, yang dapat diterapkan dalam semua masalah fiqih. Kaidah-kaidah itu didasari dari sumber hukum Islam, yakni Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW.. Kaidah fiqih disusun dalam mengelompokkan permasalahan fiqih yang sebelumnya sudah dihasilkan oleh para ulama’ dalam satu aturan universal. Selain digunakan dalam memecahkan persoalan fiqih, kaidah-kaidah dalam Qowaidul Fiqih juga sering digunakan para Kiai dan para didikan pesantren dalam menalar suatu persoalan, tak terkecuali bagi Gus Dur dalam berbagai tulisanya terkait kehidupan sosial.
Gus Dur sering mengutip kaidah “tasharruf al-imam ala ar-ra’iyyah manuthun bi al-maslahah” (kebijaksanaan dan tindakan Imam/pemimpin harus terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin) dalam berbagai tema tulisanya. Misalnya mengutipnya untuk mendukung pemikiranya tentang perjuangan Islam secara kultural, sebagai kontrawacana terhadap Islam ideologis dan pendekatan politis.
Kaidah ini sebagai bentuk moralitas agama, menurut Gus Dur dalam Islam: Ideologis ataukah Kultural? (4), dapat memberikan sumbangan bagi pembentukan sistem politik yang sehat bagi bangsa. Dimana orientasi terpentingnya, termasuk orientasi ekonominya, adalah al-maslahah, yang dalam bahasa Undang-Undang Dasar disebut “terciptanya masyarakat adil dan makmur”. Dengan demikian, kepentingan rakyat merupakan ukuran bagi baiknya suatu pemerintahan.
Gus Dur bisa menghubungkan kaidah fiqih dalam mencari relevansi antara Islam dan kehidupan sosial. Dalam memberi penjelasan bagaimana peluang peranan Raja adat dengan segenap kewenanganya dalam mewujudkan kerukunan sosial di masyarakatnya, Gus Dur mengutip kaidah “al’adatu muhakkamah” (hukum adat dapat saja digunakan sebagai pedoman agama).
Kaidah ini menunjukkan pertalian antara hukum adat dan Islam, sehingga nilai-nilai Islam tidak perlu dipertentangkan dengan adat. Kaidah ini sendiri didasarkan pada hadits Nabi, “Ma roahu al-muslimun hasanan fahuwa ‘inda Allah hasanan” (Apapun yang dianggap baik oleh kaum muslim, maka hal itu baik pula di sisi Allah ).
Dalam menyoroti Islam dan kaitanya dengan diskursus ideologi, kultural, dan gerakan, Gus Dur tidak lepas dari kaidah fiqih dalam memformulakan pemikiranya. Kaidah “dar’u al-mafasid muqoddamun ala jalbi al-masholih” (menghindarkan kerugian/kerusakan diutamakan atas upaya membawa keuntungan/kebaikan) digunakan Gus Dur untuk menguatkan pendapatnya bahwa orientasi paham keislaman adalah maslahah ammah (kesejahteraan yang bisa dirasakan seluruh umat), sehingga hal-hal yang merugikan umat sebaiknya lebih dahulu diperhatikan untuk dihindari.
Sedangkan kaidah “muhafadzatu ala al-qodim ash-shalih wa al-akhdzu ala al-jadid al-ashlah” (memelihara hal yang relevan dari masa lampau, dan hanya mengambil hal baru yang lebih relevan) dianggap Gus Dur sebagai bekal bagi kaum muslim (khususnya yang selama ini dilakukan NU), untuk memilah hal-hal yang bersifat individual dari hal-hal yang bersifat kolektif, dua jalinan yang diperlihatkan Islam, untuk menyusun skala prioritas dalam menatap masa depan umat Islam.
Sementara itu, untuk memperlihatkan bagaimana Islam memperkenankan perubahan rumusan agama yang nyata-nyata sudah dinash dalam Al-Qur’an, jika memang ada kebutuhan nyata yang mendesak untuk itu, Gus Dur mengutip kaidah “al-hajatu tanzilu manzilata adh-dharurah” (kebutuhan dapat saja dianggap sebagai keadaan darurat). Dari sana, Gus Dur tidak setuju dengan upaya memformalkan ajaran agama, karena bersifat kaku dan tidak mampu menampung perkembangan-perkembangan baru yang terjadi.
Tak sampai di sana, kaidah fiqih bagi Gus Dur juga bisa digunakan dalam menguraikan persoalan Islam keadilan dan hak asasi manusia. Misalnya, kaidah “adh-dhararu tubihu al-mahdzurat” (keadaan tertentu dapat memaksakan sebuah larangan untuk dilaksanakan), digunakan untuk tidak memberlakukan hukuman mati bagi orang yang murtad dalam Islam, karena kalau ketentuan itu dilakukan, ada 25 juta orang yang mati di Indonesia karena pindah agama dari Islam.
Atau kaidah “ma la yutimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib” (sesuatu yang membuat kewajiban agama tidak terwujud tanpa kehadiranya, akan menjadi wajib pula), yang salah satu contoh kasusnya dalam fiqih adalah diwajibkanya wudhu sebelum sholat ini, dikaitkan Gus Dur dengan dialog antar agama. Gus Dur berpendapat, Islam tidak menolak kerjasama antar agama, tapi hal itu tidak akan terjadi tanpa adanya dialog antar agama, karena itu berdasar kaidah tersebut, dialog semacam ini hukumnya wajib.
Selain mengutip kaidah fikih untuk memformulakan pemikiranya, Gus Dur sesekali memberikan catatan yang menarik pada kaidah fikih tertentu di tengah-tengah menjelaskan kaidah tersebut dalam catatan kaki tulisanya. Misalnya dalam tulisan Islam : Pribadi dan Masyarakat, Gus Dur menyoroti bunyi kaidah “al-muhafadzatu ala al-qodim ash-shalih wa al-akhdzu ala al-jadid al-ashlah”.
Menurutnya, kaidah tersebut akan lebih gayeng lagi kalau ada penambahan “al-ijad bil jadid al-ashlah” (menciptakan hal baru yang lebih relevan), karena membuat Islam tidak hanya konsumtif, tetapi juga produktif menciptakan produk yang melahirkan kemaslahatan. Walau Gus Dur menambahkan, kebanyakan komunitas muslim masih terhenti pada “al-muhafadzatu ala al-qodim ash-shalih” tanpa berani melangkah lebih progresif dalam memahami peta nazariyatul makrifah/epistemology.
Cara Gus Dur menggunakan nalar kaidah fiqih dalam merumuskan pemikiranya mengenai berbagai persoalan kehidupan sosial, perlu untuk diteladani dalam memetakan dan mencarikan solusi dari problematika sosial yang terus berdinamika sampai sekarang, khususnya bagi para santri Gus Dur. Entah itu menggunakan rumusan kaidah fiqih dari tulisan Gus Dur, maupun mengembangkan sendiri dalam merelevansikan antara kaidah-kaidah fikih dengan kehidupan sosial kontemporer.
Misalnya mengaitkan kaidah “tasharruf al-imam ala ar-ra’iyyah manuthun bi al-maslahah” dengan bagaimana Pemerintah sekarang menangani pandemi covid-19, apakah kebijakanya menciptakan “al-maslahah” bagi rakyat yang menjadi orientasi baiknya sistem kepemimpinan dalam Islam atau tidak. Hal ini penting dilakukan, karena beriringan dengan nilai spiritualitas Gus Dur yang merupakan salah satu dan peletak utama dari sembilan nilai Gus Dur, yang spiritnya tercermin dalam bagaimana beliau melihat realitas sosial dan berusaha memberikan solusi bagi berbagai problematika sosial.
Karena sebagai santri Gus Dur, sebagaimana bunyi salah satu bait Alfiyah Ibnu Malik “ma yali al-mudhofa ya’ti kholafa # anhu fil I’robi idza ma khudzifa”, kita memiliki kewajiban untuk mengganti fungsi kiai tercinta kita yang sudah dipanggil ke Rahmatullah ini, yang bagi banyak kalangan perjuangan dan perlindunganya masih begitu dirindukan. Wallahu a’lam bish showab.
https://alif.id/read/nnf/gus-dur-dan-nalar-qowaid-fiqih-dalam-kehidupan-sosial-b238776p/