Gus Dur dan Teologi Pembebasan

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah tokoh yang kompleks. Selain sebagai kiai yang menjadi politikus, Gus Dur adalah seorang pemikir dan intelektual, pejuang demokrasi, negarawan, pembela hak-hak minoritas, juga guru bangsa. Pemikirannya tak lekang waktu dan zaman, sekalipun sudah tutup usia hampir 14 tahun silam, tapi nama, perjuangan, dan jejak lakunya masih menjadi bahan inspirasi dan keteladanan.

Konsistensi perjuangan Gus Dur adalah keberaniannya menegakkan kebenaran dengan landasan yang bersih dan benar, serta berbasis pada kesesuaian antara nilai-nilai luhur bangsa dan keislaman. Kiprahnya melalui model inilah yang menjadikannya sebagai sosok teladan sehingga pemikirannya selalu menjadi inspirasi masyarakat dalam menyelesaikan berbagai problem bangsa seperti kemiskinan, ketidakadilan, sentimen antarkelompok, dan permasalahan kebangsaan lainnya.

Dengan mengaji kedalaman pemikiran, Gus Dur sebenarnya memiliki pandangan yang hampir merujuk pada terma teologi pembebasan, walakin tidak secara eksplisit dia menyebutnya sebagai teologi pembebasan. Hanya saja beberapa kali kesempatan Gus Dur memberikan definisi, misalnya orientasi populistik atas fungsi Islam, atau Islam sebagai etika sosial yang diperhadapkan dengan hegemoni kapitalisasi. Praktisnya, Gus Dur mengarahkan gerak bandul agama menuju pembebasan, baik berupa protes terhadap kapitalisme maupun pembelaannya atas ketertindasan kaum miskin lewat basis pesantren.

Memang fakta historisnya, Gus Dur adalah salah satu pelopor lahirnya penyegaran pemikiran Islam, khususnya di NU dan pesantren. Berbagai gagasan semisal pribumisasi Islam, ushul fiqh sebagai manhaj al-fikr, penerimaan Islam atas asas Pancasila, rasionalisasi kitab kuning, hingga toleransi antaragama telah membuka kotak pandora bagi tergeraknya wawasan pemikiran warga Nahdlatul Ulama guna menyongsong perluasan pemikiran ke arah gerakan pembebasan bagi masyarakat desa, salah satunya melalui potensi transformatif dari pesantren.

Gus Dur juga sebagai salah satu di antara penggerak kerangka strategis bagi terealisasinya nilai-nilai substantif Islam demi tegaknya demokrasi bangsa ini. Itu semua bisa dibuktikan dari pilihan demokrasi yang dibelanya bukan model politik masyarakat Barat, melainkan sebuah proses demokratisasi di mana masyarakat memperoleh hak-haknya secara maksimal. Kecenderungan itu semakin mengemuka ketika Gus Dur melakukan pribumisasi (indigenisasi) nilai-nilai itu ke dalam mindset keilmuan Islam yang segar dan kaya. Misalnya, ketika Gus Dur menyamakan konsep humanisme dan hak asasi manusia dengan konsep Islam tentang al-kulliyat al-khams, lima prinsip dasar hukum Islam.

Lewat gagasan pribumisasi Islam ini oleh Gus Dur kemudian dijadikan prasyarat mutlak bagi tergeraknya transformasi sosial, karena tanpa peleraian ketegangan agama dan budaya, sesungguhnya Islam hanya berkutat pada perjuangan simbolis, bukan perjuangan kemanusiaan demi tegaknya keadilan. Bahkan pada level pembaruan pemikiran Islam, yang selalu diidentikkan dengan gerak modernisasi kapitalistik, Gus Dur tetap menjadikan transformasi struktural sebagai tujuan utamanya.

Adapun sikap terbuka Islam terhadap peradaban lain, menurut pandangan Gus Dur tidak serta merta harus merujuk pada penghancuran tradisi Islam, melainkan sebagai prasyarat bagi terwujudnya nilai-nilai universalitas Islam. Sejalan dengan itu, Gus Dur kemudian merujuk pada lima jaminan (al-ushul al-khams) atas hak dasar manusia, yang kesemuanya itu bermuara pada terbangunnya struktur kekuasaan minus penindasan.

Sangat jelas bahwa intelektualisme Gus Dur tergambarkan betapa pemikirannya itu mencerminkan watak transformatif, baik di ranah struktural, kultural maupun sosial, sehingga di mana pun wilayah kajian dan gerakannya Gus Dur selalu mencurahkan perhatiannya bagi perubahan sosial dengan meningkatkan martabat manusia sebagai terminal utamanya.

Sejalan dengan itu, watak intelektualisme Gus Dur difungsikan juga untuk melakukan kritik bagi negara beserta politik pengetahuan yang melingkupinya. Struktur ketidakadilan dari pembangunanisme yang terlegitimasi oleh sistem pengetahuan modern tengah mendapatkan kritik yang mengarah pada perubahan suprastruktur, baik tata politik negara maupun ideologi yang membentenginya. Berbarengan dengan itu, transformasi yang dilakukan Gus Dur digerakkan melalui kritik ideologi atas deideologisasi Islam, serta pemberdayaan masyarakat lewat kerja-kerja partisipatoris pesantren demi tumbangnya penindasan struktural.

Dengan nuansa gagasan yang demikian transformatif itu, maka pemikiran dan intelektualitas Gus Dur dapat dikatakan sebagai adaptasi gagasan yang mengarah pada gerakan teologi pembebasan. Karena kelahiran teologi pembebasan (di Amerika Latin) adalah bentuk gugatan moral-sosial dan perlawanannya atas developmentalisme. Bagi penganutnya (Gustavo Gutierrez, Segundo, dlst), teologi pembebasan ini bukan hanya dipahami sebagai konsep teologi spekulatif yang ditujukan untuk kepuasan iman semata, melainkan juga paradigma perjuangan yang diilhami suatu iman untuk menggerakkan dan mengorganisir diri mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang lebih adil dan manusiawi.

Berangkat dari sini, tidaklah berlebihan ketika menyebut Gus Dur dengan sebutan pembebas (liberasi), yang menjadikan liberasi ini sebagai basis keyakinan maupun gerakannya. Karena Gus Dur sebagai penafsir Islam yang mampu menggerakkan bandul agama ke arah pembebasan kaum yang terpinggirkan, dengan menjadikan Islam sebagai media pergerakan yang melembaga sekaligus merefleksi menjadi aksi.

Adapun liberasi dalam Islam, Gus Dur mendasarkan pada postulat tradisi ketundukan muslim terhadap perilaku Nabi yang menempatkan muslim di antara dua titik tegang: titik nol penyerahan diri (Islam) guna menghamba kepada Allah, hingga titik keseratus tugas kekhalifahan di muka bumi sebagai wakil-Nya yang wajib mengusahakan kesejahteraan bagi semua umat (rahmatan lil ‘alamin). Dari sini, dasar pembebasan dalam Islam bisa digali, yaitu batas moral etis agama yang harus dijalankan oleh setiap muslim.

Sedangkan pembebasan dalam Islam, menurut Gus Dur merujuk pada satu tujuan politik yang tidak mengandaikan adanya struktur politik tandingan dari tatanan yang ingin diubah. Karena jika ada tandingan, maka watak gerakan agama menurut Gus Dur sudah bersifat ideologis. Selama agama tidak mampu membebaskan dirinya dari ideologisasi, selama itu pula ia tidak akan mampu menciptakan pembebasan masyarakat, bahkan sebaliknya. Oleh sebab itu, moral etis agama oleh Gus Dur lebih diposisikan pada fungsi transformatif, yakni sebagai kritik atas hegemoni penindasan, sembari melakukan kerja-kerja praksis untuk menebar “obat” bagi “kesakitan struktural” akibat orientasi dan strategi pembangunan yang menindas.

Jadi, gagasan Gus Dur tentang teologi pembebasan lebih dilihatnya pada moral etis agama yang difungsikan sebagai kritik struktural, dan bukan dijadikan sebagai struktur politik tandingan guna menciptakan struktur baru, sebab fungsi agama yang paling penting adalah melakukan kerja-kerja konkret guna merealisasikan nilai-nilai dan agenda perjuangan manusia, yang secara eksplisit termaktub dalam program struktural yang telah ada.

Sedangkan gerak pembebasan dari agama, dalam pandangan Gus Dur tidak harus dilihat dari satu perspektif tertentu, apakah berparadigma revolusi atau anti-revolusi, karena agama memiliki watak pembebasan sendiri yang berlangsung lambat dan jauh jangkauannya, sehingga agama bukan sebagai pembentuk dan penentu perubahan sosial, karena dunia berubah sesuai mekanismenya sendiri. Peran agama menurut Gus Dur hanya berfungsi suplementer, yakni menyediakan sarana dan motif bagi terciptanya perubahan sosial.

Jika agama melampaui fungsi itu, maka agama menurut Gus Dur sudah bersifat duniawi, yang karena sifat itu kemudian agama membutuhkan represivitas kekuasaan untuk mempertahankan eksistensinya. Pembebasan agama oleh Gus Dur lebih dimaknai dalam perspektif yang lebih revolusioner, yakni pembebasan tanpa dasar dan landasan apapun, kecuali manusia itu sendiri. Jadi sangat eksistensialis.

 

Rujukan:

Arif, Syaiful. (2009). Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif. Depok: Koekoesan.

Löwy, Michael. (2013). Marxisme et Thèologie de la Libèration, terj. Topatimasang, Roem, Teologi Pembebasan; Kritik Marxisme & Marxisme Kritis. Yogyakarta: INSISTPress.

Wahid, Abdurrahman. (2011). Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: LKiS.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/mzn/gus-dur-dan-teologi-pembebasan-b248602p/