Sudah jelas, banyak cendikiawan, khususnya yang lahir dari kalangan aktivis gender, yang menyangkal penafsiran ganjil ihwal nash yang mengindikasikan pemarjinalan perempuan. Sangkakalan itu menggunakan pendekatan beberapa aspek dan pertimbangan. Yang tentu, tidak lepas dari ilmu syariah. Baik yang tercantum dalam nash, maupun ibrah dari Nabi Muhammad Saw. KH. Husein Muhammad misalnya, seorang ulama, aktivis gender yang sangat getol menggelorakan pemahaman tentang kesetaraan gender. Ia sangat produktif dalam berbagai bidang.
Beberapa organisasi atau LSM perempuan yang dibuat adalah Puan Amal Hayati Cirebon di PP. Dar at-Tauhid Arjawinangun, Fahmina Institute Cirebon, WCC Balqis Cirebon, dan KPPI Cirebona. Dalam bidang literasi, beberapa judul bukunya tentang gender, diterbitkan di berbagai penerbit. Buku-buku itu menjadi salah satu rujukan otoritatif bagi aktivis gender lainnya.
Jejak keaktifan Kiai Husain, rupanya diikuti oleh santrinya, Faqihuddin Abdul Kodir. Persis seperti gurunya, Kang Faqih juga terlibat aktif di berbagai gerakan feminisme. Tulisannya betebaran kemana-mana. Beberapa telah dibukukan. Yang khas dari direktur Kupipedia.id ini adalah pemikirannya tentang teori mubadalah. Begitupun dalam buku terbarunya ini. Ia mengurai hadits-hadits, khususnya pernikahan (munakahat) dan pengasuhan dengan metode mubadalah. Secara tegas, ia hendak menyatakan bahwa perempuan bukan makhluk domestik, yang berkutat di dapur, sumur, dan kasur saja.
Melalui teori mubadalahnya, teks hadis dalam isu-isu yang berdimensi relasi sosial, bisa dimaknai secara seimbang. Khususnya teks yang berisi mengenai relasi dua pihak, terutama laki-laki dan perempuan, yang dipandang sebagai subjek penting dan bermartabat (martabah), di antara keduanya: yang memiliki kapasitas dituntut memberdayakan yang tidak (kurang) memiliki kapasitas sebagai tanggung jawab keadilan (‘adalah), keduanya juga berkewajiban melakukan, sekaligus berhak atas, kebaikan (mashlahah) sesuai kemampuan dan kebutuhanmasing-masing.
Dalam sebuah hadits yang ditulis oleh Imam Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitabnya, Bulugh al-Maram, — hadits yang cukup populer dan sering kali disyiarkan dalam berbagai dakwah dan acara-acara pernikahan, teks hadits pertama yang ditulis adalah
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباء فليتزوج و من لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian sudah mampu menikah, menikahlah, karena menikah itu bisa menundukkan mata dan melindungi syahwat. Barang siapa yang tidak mampu, berpuasalah, karena berpuasa itu bisa mengendalikannya.” (Shahih al-Bukhari, no. 5130).
Jika ditinjau menggunakan perspektif mubadalah, langkah awal yang harus dilakukan adalah memahami makna dasar yang tersirat di dalamnya. Selanjutnya, makna dasar itu dipastikan menyapa laki-laki dan perempuan, sebagai subjek yang sama-sama penting dan bermartabat (martabah), demi memperoleh kebaikan dasar mashlahah, dengan mempertimbangkan prinsip keadilan (‘adalah) dengan menuntut yang paling berdaya bertanggungjawab dengan yang kurang berdaya.
Kang Faqih menerangkan lebih jauh bahwa, dalam teks hadits di atas, kemampuan menikah tidak hanya merujuk kepada laki-laki sebagai calon suami, melainkan harus mempertimbangkan kondisi perempuan sebagai calon istri. Artinya, perempuan tetap menjadi subjek utuh dalam pernikahan; dipandang sebagai pribadi yang bermartabat (martabah), sehingga tidak bisa “dilangkahi” begitu saja; tidak dilihat kemampuannya, tidak dipertimbangkan kemauannya, dan tidak diperhitungkan kerelaannya. Begitu pun, mengenai dampak manfaat dari pernikahan. Tidak hanya laki-laki yang merasakan, perempuan juga harus merasakan yang sama. Kenikmatan seksual misalnya, dan aktivitas-aktivitas lainnya.
Dalam konteks lain, pada halaman 13, Kang Faqih mengurai tentang kriteria wanita yang hendak dipinang oleh seorang laki-laki. Ada empat hal yang biasanya dituju oleh laki-laki, sebagaimana sabda Nabi yang tercatat dalam kitab-kitab Hadits. Keempat hal itu adalah: kecantikan fisik, keberlimpahan harta, kedudukan sosial, dan perilaku spiritual atau agama. (Shahih Bukhari, no. 3708 dan Shahih Muslim, no. 5146).
Namun, di antara empat kriteria yang direkomendasikan oleh Nabi, satu yang harus diprioritaskan, yakni perilaku spiritual atau agama. Mengapa demikian? Mari kita simak dulu hadits berikut:
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلي الله علبه و سلم قال: تنكح المرأة لأربع: لمالها، لحسبها، لجمالها، و لدينها، فاظفر بذات الدين ترتبت يداك
Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi Saw, bersabda, “Seorang perempuan itu dinikahi karena empat hal: hartanya, status sosialnya, kecantikannya, dan agamanya. Pilihlah perempuan yang memiliki agama, agar kehidupan (rumah tanggamu) lebih terpuji dan lestari.” (Shahih al-Bukhari, no. 3708 dan Shahih Muslim, no. 5146).
Agama yang dimaksud dari hadits tersebut adalah prinsip-prinsip dasar yang diajarkan oleh agama Islam sebagai fondasi moral dalam berumah tangga. Komitmen kuat atas agama, akan menggunakan seluruh modal dan potensi yang dimilikinya untuk mendatangkan kebaikan dalam rumah tangganya, memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, melindunginya dari segala keburukkan, dan melanggengkan ikatan penuh kebahagiaan satu sama lain. Sebagaimana yang dianjurkan al-Qur’an (QS. al-Rum [30]: 21).
Adapun konteks dan hadits ini, berlaku juga secara mubadalah. Artinya, yang diharapkan memiliki prinsip-prinsip agama tidak hanya perempuan, namun juga laki-laki. Jika tidak demikian, maka tidak akan terjadi kehidupan rumah tangga yang saling membahagiakan. Keharmonisan dalam rumah tangga tercipta manakala keduanya memiliki kondisi yang sama.
Prinsip-prinsip agama ini menyasar pada laki-laki dan perempuan dengan penggunaan kata kesalingan dan kerjasama dalam semua aspek. Mulai dari memandang pernikahan sebagai ikatan kokoh yang harus dijaga bersama, karakteristik pernikahan sebagai kemitraan, kesalingan dalam berbuat baik, dalam bermusyawarah dan memenuhi kerelaan masing-masing.
Sekali lagi, dalam konsep mubadalah, perempuan harus mendapat porsi yang sama. Dalam buku ini, pembaca disuguhkan banyak hadits yang khusus membahas tentang kehidupan rumah tangga. Dengan menggunakan perspektif mubadalah, kehidupan berumah tangga bisa sama-sama dinikmati oleh kedua belah pihak, dan tidak ada intervensi dari salah satunya. Sehingga akan tercipta visi rahmat lil al-‘alamin dan akhlak karimah dalam Islam. Konsep mubadalah, bisa dinikmati lebih detail dalam magnum opusnya Kang Faqih, Qira’ah Mubadalah.
Judul Buku: Perempuan (Bukan) Makhluk Domestik
Penulis: Faqihuddin Abdul Kodir
Penerbit: Afkaruna
Tebal: xx + 178 halaman
Cetakan : 1, Desember 2022/ Jumadil Awal 1444
https://alif.id/read/ahw/hadits-hadits-pernikahan-perspektif-mubadalah-b246588p/