RumahBaca.id – Menurut saya (menurut saya, lho!), saya ini orangnya komunikatif, bahkan mungkin over-komunikatif. Misal gini. Setiap ada orang yang saya ‘add’ terus saya di-‘konfirm’, pasti saya ucapkan: “Terima kasih telah konfirm”.
Bahkan sebaliknya, jika ada orang ‘add’ lalu saya ‘konfirm’, kalau tidak ada tindak lanjut percakapan lewat ‘inbox’ semacam ucapan terima kasih seperti yang saya lakukan, saya juga akan punya inisiatif lebih dulu. Misalnya saya ‘inbox’: “Terima kasih ‘add’-nya”. Kalau saya belum kenal orangnya, saya ajukan tanyakan pertanyaan lebih lanjut: “Ini siapa ya? Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Atau sampean yang tahu saya dulu tetapi saya tidak kenal sampean?”
Sejauh itu keingintahuan saya. Kesannya memang saya kok sok terkenal. Terkesan sombong juga mungkin! Tapi jelas maksud saya bukan itu. Saya ingin memastikan bahwa orang berkomunikasi itu ada tujuannya.
Ada kalanya pengguna akun tersebut bercerita bahwa sudah kenal saya atau cerita pernah ketemu saya sebelumnya. Atau pernah dengar cerita tentang saya dari orang lain. Lalu saya tanggapi dengan mengatakan “Oke, terima kasih. Semoga pertemanan kita di FB ini bermanfaat ya!”
Tapi ada kalanya yang menjawab: “Belum kenal, ya ingin menambah pertemanan”. Ada juga yang menjawab: “Belum kenal, Pak. Ijinkanlah saya memperkenalkan diri. Jadi ini, Pak. Saya ingin menawarkan produk pada Bapak.”
Lalu ia mengirimkan serangkaian kata dan kalimat yang agak panjang. Isinya adalah narasi produk, guna produk itu, dan harganya. Saya yakin narasi ini menempel di ruang ‘chat’ dengan cara di-‘copy paste’. Ia telah mengirim kata-kata yang sama pada orang lain juga. Seringnya, saya di-‘add’ untuk tujuan penawaran produk yang berupa obat penguat dan pembesar “anu”.
Biasanya saya jawab: “Mohon maaf, saya masih belum butuh obat-obat seperti itu. Mungkin suatu saat.”
Dalam batin saya setelahnya, saya bermaksud memutuskan pertemanan dengan para penawar produk ini. Awalnya, karena terlanjur mengonfirm dan menjadikan akun tersebut teman, saya ingin meng-unfriend. Tapi, pikir saya, saya tak bisa langsung melakukannya. Meski kepentingan dia terhadap saya adalah hanya untuk berjualan, saya tetap menghargai. Saya juga merasa sungkan untuk bilang: “Maaf, saya ‘unfriend’ karena kepentingan sampean dengan saya hanya menjual produk dan interaksinya sudah terjadi, bukan?!”
Saya sempat berpikir untuk mengatakan itu, tapi keinginan untuk itu kalah menjaga perasaan. Maka yang saya lakukan adalah membiarkannya dia tetap ada dalam daftar teman di FB saya. Dan saya tekankan dalam hati bahwa, jika ingat, saya akan melakukan eksekusi (‘unfriend’) beberapa hari kemudian—dengan pertimbangan dia (pemilik akun) sudah lupa bahwa ia berteman dengan saya. Saya yakin dengan pikiran bahwa toh tujuannya berteman dengan saya jelas-jelas hanya untuk tujuan instan: menawarkan produk. Dan transaksi tawar-menawar itu sudah selesai. Dia gagal mempersuasi saya untuk beli produknya, dan ia segera melupakan saya. Artinya dia tak akan peduli apakah ia masih berteman dengan saya atau tidak.
Adakalanya saya hapus pertemanan karena memang jumlah pertemanan saya hanya 5.000 dan ada kalanya saya meng-‘unfriend’ akun-akun di daftar teman, agar bisa menambah teman lain. Misalnya: Beberapa kali, ada orang yang ingin berteman dengan saya di FB. Dan saya juga tertarik untuk menjadikannya teman. Dan ketika ia ‘ADD’ akun saya, ternyata ada keterangan bahwa ia tidak bisa melakukannya karena pertemanan saya sudah ‘full’. Maka, saya, yang juga merasa penting untuk menjadi teman FB-nya, akan mengurangi pertemanan degan cara meng-‘unfriend’ beberapa akun yang ada di daftar teman.
Akun yang bagaimana yang saya hapus dari daftar teman? Jawaban dari pertanyaan ini, sebagaimana sudah saya lakukan, tergantung pada beberapa hal. Salah satunya, tergantung pada situasi ketika itu. Jika saya sedang nyantai, saya akan meneliti secara mendalam akun-akun yang akan saya hapus. Pertama, saya akan cenderung menghapus akun-akun orang yang sebenarnya saya pun tak kenal, saya cek tempat tinggalnya pun jauh di luar kota atau luar propinsi.
Saya pun merasa bodoh ketika, misalnya saya cek di ruang ‘inbox’, terlihat jejak berupa kalimat yang saya tulis: “Trims konfirmnya, salam kenal!” Dan tidak ada respon atau jawaban. Artinya, saya menyadari kebodohan saya di masa-masa dulu ketika saya melakukan ADD dengan orang yang tidak saya kenal sebelumnya. Dan ketika setelah dikofirm dan saya tanya tidak ada jawaban. Tentu saya ingat bagaimana waktu itu saya melakukan ADD sembarang orang. Tapi saya yakin pasti ada motif waktu itu, misalnya melakukannya karena tertarik dengan orang tersebut, salah satunya karena foto profilnya menarik. Saya menduga kuat, waktu saya berada dalam posisi “jomblo”. Dan saya yakin, saya melakukannya ketika saya baru membuat akun FB, salah satu motifnya lagi adalah menambah daftar teman.
Bukankah hal-hal yang menurut kita bodoh adalah hal-hal yang dilakukan tanpa dipikirkan dalam dan tanpa kesadaran? Hanya mengikuti alam bawah sadar saja? Mengalir saja? Tanpa pertimbangan jangka panjang dan pertimbangan mendalam!
Akun-akun yang padanya saya tidak pernah ada komunikasi setelah jadi teman FB inilah jadi sasaran untuk saya ‘unfriend’. Logikanya simpel: Untuk apa saya berteman dengan orang yang sama sekali tidak tahu saya dan saya pun tidak tahu dirinya. Semakin ke sini, saya merasa bahwa komunikasi itu harus efektif, tak bisa mengalir. Coba kita pikir, untuk apa menjadi teman orang yang tidak kita tahu dan pertemanan pun tak ada efeknya apa-apa. Dan, ketika kita ingin berteman dengan orang yang nyata adanya justru terhambat karena kita dibatasi jumlah pertemanan gara-gara ada orang yang tidak kita tahu itu ada di daftar pertemanan kita yang terbatas.
Melakukan ‘unfriend’ adalah eksekusi mati bagi pertemanan kosong! Kita tidak berdosa jika melakukannya. Tak ada dampak apa pun bagi “teman” itu ketika ia kita eksekusi. Kita pun bisa merasakan manfaatnya ketika memutus pertemanan itu dan bisa membangun pertemanan dengan orang baru yang lebih nyata.
Lucunya lagi, saya juga melakukan hal bodoh lainnya ketika saya tergesa-gesa untuk mencari akun mana yang ingin saya ‘unfriend’. Ada kalanya saya lupa pada orang yang pernah saya kenal meskipun belum pernah bertemu tetapi sudah pernah bercakap-cakap di inbox. Jujur, saya sudah menggunakan FB ini lebih sepuluh tahun. Dulu dari perkenalan lewat FB, beranjak ke tukar nomor HP, bahkan kerjasama bareng untuk urusan tertentu—bahkan yang menghasilkan duit, misalnya. Tapi ada di antara orang-orang yang pernah saya kenal seperti itu tiba-tiba jarang aktif di FB, nomor HP-nya pun sudah hilang.
Saya sudah cek postingan terakhirnya, yang menunjukkan bahwa ia memposting di dinding FB-nya, delapan tahunnya lalu. Saya dengan cepat menyimpulkan bahwa ia tak lagi punya kaitan dengan FB-nya. Maka, akun seperti ini kadang juga jadikan sasaran untuk di-’unfriend’.
Tapi ada kalanya, orang seperti ini tiba-tiba menyapa lewat WA. “Mas, gimana kabar? Aku Suto. Ijik eleng aku kan?”, sapanya.
Dan jiasik, saya pun lupa. Setelah dia menjelaskan dengan beberapa keterangan pengingat, saya pun ingat. Dan celakanya, saya juga jadi ingat, bahwa orang yang baru membangun komunikasi lagi lewat WA ini adalah orang yang seminggu sebelumnya adalah yang akun FB nya saya ‘unfriend’.
“Loh, sampean kok gak aktif lagi di FB, bro? Gek akunmu tak unfriend”, tanya saya.
“Ora, mas. FB-ku ganti, sing iku wes gak iso mlebu aku, lali pasword-e. Aku gawe maneh!”, jawabnya. Ia menceritakan nama FB-nya pakai nama yang tidak sama nama sebenarnya.
“Owalah, pantesan aku gak nemu FB-mu, bro!”, respon saya.
“Nggak opo-opo, mas. Wong ya gak tau tah gawe. Aku luwih aktif neng IG mas saiki”, dia menanggapi.
Itulah yang kemudian membuat saya sadar bahwa saya pun akhirnya harus buat IG. Meskipun terlambat punya IG, gak apa-apa.***
Trenggalek, Subuh hari 06/10/2021