LADUNI.ID, Jakarta – Suami dan istri adalah dua insan yang berbeda, namun berkat ikatan suci berupa pernikahan mereka bersatu. Ikatan suci berupa pernikahan yang dilandasi oleh niat luhur menjaga kehormatan diri, dan menjalankan sunnatullah, menjadikan dua insan yang berbeda bisa menyatu. Besarnya tingkat kenyamanan i’tikad, dan cita-cita mereka menutupi segala batasan pribadi di antara mereka.
Namun demikian, bukan berarti, segala bentuk batasan pribadi antara mereka telah sirna. Karena itu, syari’at Islam memberikan batasan-batasan yang membedakan antara suami dan istri, terutama dalam hal hak dan tanggung jawab. Suami berkewajiban menafkahi istrinya, dan sebagai ketidakseimbangannya istri berkewajiban mentaati suaminya.
Allah SWT berfiman .” (QS. An-Nisa 4:34).
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا (٣٤)
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri [289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) [290]. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya [291], maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya [292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Keterangan : [289] Maksudnya : Tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya. [290] Maksudnya : Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik. [291] Nusyuz : yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. [292] Maksudnya : untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya. .” (QS. An-Nisa 4:34).
Imam Ibnu Jarir menjelaskan bahwa kata “menafkahkan sebagian harta” pada ayat ini mencakup mas kawin pada saat akad nikah dan nafkah sandang, pangan,papan dan lainnya.
(Tafsir Ibnu Jarir At Thabari 8292)
Para ahli fiqih juga menjelaskan bahwa istri berhak penuh untuk menggunakan nafkah yang diperoleh dari suaminya, selama tidak berdampak buruk pada kesehatannya. Karena bila berdampak buruk pada kesehatannya, maka pada akhirnya akan merugikan suaminya.
Demikian dijelaskan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al Mughni (11/359).
Asma’ binti Abi Bakar mengisahkan,
Suatu hari beliau bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau bertanya, Wahai Nabi Allah, aku memiliki harta apapun kecuali yang diberikan oleh Az-Zubair (suamiku), apakah aku berdosa bila menyedekahkan sebagiannya? Nabi menjawab:
ارْضَخِي ا ا لَا اللهُ لَيْكِ
Bersedekahlah semampumu, dan janganlah engkau kikir, akibatnya Allah menahan rizqimu.” (Muttafaqun ‘alaih).
Bila Suami tidak Menafkahi Istrinya
Dalam beberapa kondisi, terkadang ada suami yang dengan sengaja melalaikan nafkah istrinya. Untuk mengungkap permasalahan rumah tangga ini, maka islam memberikan beberapa opsi kepada istri:
1. harta kekayaan suaminya walau tanpa harta kekayaan darinya, atau melalui jalur hukum di pengadilan, sebagaimana yang dilakukan oleh Hindun bin Utbah istri Abu Sufyan radhiallahu anhuma.
2. Bersabar, dan nafkah yang dihentikan oleh bin dianggap sebagai piutang yang wajib digunakan oleh suaminya di kemudian hari, demikian ditegaskan oleh para ahli fiqih dari mazhab Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad Hambal (Al-Bayan As-Syafii 11/ 224 & Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 11/366).
Imam Al-Umrany As-Syafi’i menegaskan: “Nafkah seorang istri tidak serta menjadi gugur hanya karena berlalunya waktu. Dengan demikian, bila istri memilih untuk hidup dan melayani suaminya walaupun suami tidak memberinya nafkah, maka ia tetap berhak untuk mendapatkan nafkah untuk kehidupan tersebut kemudian hari.” (Al-Bayan oleh Al-Umrani, 11/226)
Para ahli fiqih juga menyebutkan bahwa bila suami memiliki harta atas istrinya, maka bila memungkinkan – karena istrinya kaya – dapat melakukan tukar guling antara nafkah dan piutang tersebut. (Al-Bayan oleh Al-Umrani As Syafii, 227/11 & Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 11/365)
Dikisahkan bahwa ada seorang lelaki menyampaikan rencana untuk tinggal di Baitul Maqdis selama sebulun kepada sahabat Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash. Sahabat Abdullah bin Amer bertanya kepadanya: apakah engkau telah meninggalkan nafkah yang cukup selama satu bulan untuk keluarganya?
Lelaki itu menjawab: Tidak.
Sahabat Abdullah bin Amer berkata: Segera kembali kepada keluargamu, dan tinggalkan untuk nafkah mereka yang cukup, karena aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewatkan:
“Cukuplah sebagai dosa yang dapat membinasakan seseorang bila ia telah menikmati nafkah keluarganya.” (HR.Ahmad dan lainnya).
3. Bila opsi kedua di atas tidak dapat dilakukan, maka istri berhak untuk mengajukan gugatan hak fasakh ke pengadilan agama, agar akad nikahnya dibatalkan. (Al-Bayan oleh Al-Umrani As-Syafii, 11/224 & Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 11/364)
Istri Terlilit Hutang
Diantara bukti-bukti yang menunjukkan konsekwensi dari pemisahan harta suami dari istri masing-masing dari keduanya merupakan kewajiban utangnya secara terpisah. Utang suami adalah tanggung jawab suami, demikian juga halnya dengan utang istri. Masing-masing dari mereka tidak berkewajiban untuk membayar pasangannya.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa secara menjembatani hukum, tidak ada dalil baik dari Al-Qur’an atau As-Sunnah yang melarang suami atau istri untuk membayarkan zakatnya kepada pasangannya masing-masing. Asalkan mereka memenuhi kriteria sebagai penerima zakat, maka zakat dapat disalurkan kepada mereka.
Menurutnya, Ketentuan ini berlaku selama pemilik zakat tidak menjadikan zakatnya sebagai cara untuk menggugurkan suatu kewajiban lainnya atas dirinya.
Masih menurut penjelasan beliau, andai seorang suami menyalurkan zakatnya untuk melunasi utang istrinya yang tidak kuasa dilunasi oleh istrinya, maka itu diperbolehkan. Karena itu, karena seorang istri yang terlilit hutang secara hukum syari’at juga disebut sebagai al-gharimin yang merupakan salah satu kriteria penerima zakat. Kemudian lagi ketentuan hukum ini berlaku selama hutang istri tersebut terjadi karena keperluan pribadi istri yang tidak ada kaitannya dengan tertundanya nafkah suaminya.
Penjelasan tentang hak-hak istri di atas, berlaku bila istri menuntut. Adapun bila istri merelakan haknya, sehingga ia tidak mempermasalahkan nafkahnya yang tertunda atau bahkan ia berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, maka itu adalah suatu hal yang baik. Namun konsekwensinya, bila ia telah merelakan haknya, maka di kemudian hari sang istri tidak berhak untuk menuntut ganti rugi terhadap segala sesuatu yang telah ia relakan, meskipun hubungan pernikahannya berakhir dengan perceraian.
Etika Hubungan Suami & Istri
Berbicara tentang hak dan kewajiban tentu berbeda dengan berbicara tentang etika. Sering kali masalah etika jauh di atas sekedar hak atau kewajiban. Karena itu pula dalam urusan ini, walaupun secara hukum asal istri bebas membelanjakan hartanya, namun secara etika rumah tangga, ia disunnahkan untuk meminta izin atau restu dari suaminya.
“Tidak boleh bagi seorang wanita untuk memberikan sebagian dari hartanya kecuali seizin suaminya.” (HR.Abu Dawud).
Menurut kebanyakan ulama hadits ini bukanlah larangan yang bersifat tegas, namun sebatas anjuran dalam rangka mewujudkan hubungan yang harmonis antara suami dan istri. (Subulussalam 3/58)
Semoga paparan singkat ini menambah wawasan kita semua tentang hak-hak suami dan istri secara syari’at Islam.
________________
Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal 28 Maret 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan
Editor : Lisandipo
Sumber : Kajian Aswaja NU
https://www.laduni.id/post/read/57162/hak-suami-dan-istri-secara-syariat-islam.html