Hakikat Ibadah dalam Pandangan Ilmu Tasawuf

LADUNI.ID – Jakarta Syaikh Al-Buthi memulai penjelasan dari ucapan ‘Amr bin Utsman Al-Makki tentang tasawuf. Amr bin Utsman Al-Makky ditanya tentang tasawuf, “Tasawuf adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling baik pada saat itu.”

Syaikh Al-Buthi menjelaskan maksud ucapan itu bahwa seorang muslim seharusnya melakukan perbuatan yang terbaik sesuai dengan waktu, situasi dan kondisi di mana ia berada. Beliau mengutip ungkapan Arab yang berbunyi, “Setiap tempat punya perkataannya dan setiap perkataan punya tempatnya.”

Beliau memberikan contoh seseorang yang baru pulang dari kerja atau aktivitas di luar rumah, lalu sesampai di rumah langsung memegang buku atau membaca Al-Quran dengan alasan ia punya target ibadah yang harus ia capai dalam waktu tertentu, sehingga ia menggunakan waktu yang semestinya ia gunakan untuk keluarga. Padahal, istrinya sudah lama menunggu kepulangannya dan merindukan kehadirannya.

Syaikh Al-Buthi mengkritik perbuatan semacam itu dan mengatakan bahwa orang itu tidak memahami hakikat ibadah. Padahal, bercanda dan bersenda gurau dengan istri juga merupakan salah satu bentuk ibadah jika dilakukan pada tempat dan waktunya.

Tidakkah kita memperhatikan hadis yang berbunyi, “Setiap yang melenakan seorang muslim adalah kebatilan, kecuali tiga hal: melempar panah, melatih kuda dan bercanda dengan keluarga (istri). Ketiga hal itu adalah haq (kebenaran)” (HR. Tirmidzi)

Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda, “Dalam kemaluan istrimu ada sedekah.” Sebagian sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah seseorang di antara kami mendatangi istrinya lalu mendapatkan pahala?” Rasulullah SAW menjawab, “Tidakkah kau lihat seandainya ia meletakkan kemaluannya di tempat yang haram, apakah ia mendapatkan dosa?” Sahabat menjawab, “Ya.” Beliau melanjutkan, “Begitu juga jika ia meletakkannya di tempat yang halal, dia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)

Jadi, seorang muslim seharusnya senantiasa melakukan perbuatan yang terbaik dan sesuai dengan tempat, waktu dan kondisinya. Di setiap tempat ada perbuatan dan di setiap waktu ada haknya masing-masing. Adakalanya sebuah ibadah tidak cocok jika dilakukan tidak pada tempat dan waktunya.

Selanjutnya, Muhammad bin Ali Al-Qashab berkata, “Tasawuf adalah akhlak mulia yang muncul di zaman mulia dari pribadi mulia bersama kaum mulia.”

Syaikh Al-Buthi menjelaskan bahwa yang dimaksud “zaman mulia” adalah zaman Nabi SAW, “pribadi mulia” adalah Nabi SAW itu sendiri, sedangkan “kaum mulia” adalah para sahabat.

Sumnun pernah ditanya tentang tasawuf lalu menjawab, “Kau tidak memiliki sesuatu apapun dan kau tak dimiliki oleh sesuatu apapun.”

Syaikh Al-Buthi menjelaskan maksud kalimat pertama bahwa seorang muslim seharusnya selalu merasa tidak memiliki sesuatu apapun, karena segala sesuatu adalah milik Allah SWT. Bahkan dirinya sendiri pun hamba milik Allah SWT. Sedangkan kalimat kedua maksudnya adalah seorang muslim seharusnya tidak terikat oleh apapun, baik materi maupun non-materi. Ketika ia terikat oleh sesuatu, maka ia bukan lagi hamba yang taat kepada Allah SWT, karena hanya Allah sajalah satu-satunya Tuhan yang berhak untuk ditaati sehingga ia harus terikat pada Allah SWT semata.

Ruwaim pernah ditanya tentang tasawuf lalu menjawab, “Melepaskan jiwa bersama apa yang dikehendaki oleh Allah SWT.”

Syaikh Al-Buthi menjelaskan maksud “dikehendaki” adalah “diridhoi”. Artinya, seorang muslim seharusnya menjadikan hawa nafsunya tunduk kepada apa yang diridhoi Allah saja, meskipun adakalanya tidak sesuai dengan kehendak makhluk.

Al-Junaid pernah ditanya tentang tasawuf lalu menjawab, “Kau bersama Allah tanpa ada ikatan apapun.”

Syaikh Al-Buthi menjelaskan bahwa seorang muslim seharusnya bersama Allah saja tanpa menduakan-Nya dengan sesuatu apapun, itulah yang dimaksud dengan “tanpa ikatan” yaitu tanpa keterikatan dengan selain-Nya.

Ruwaim bin Ahmad Al-Baghdadi berkata, “Tasawuf dibangun di atas tiga hal: komitmen terhadap kefakiran dan ketergantungan kepada Allah, mewujudkan pengorbanan dan pemberian, meninggalkan usaha dan ikhtiar.”

Syaikh Al-Buthi menjelaskan maksud kalimat pertama bahwa seharusnya seorang muslim senantiasa berkomitmen dengan rasa kemiskinan dan ketergantungan hanya kepada Allah SWT. Sedangkan kalimat kedua adalah refleksi dari kalimat pertama, yaitu mewujudkan pengorbanan dan pemberian sebanyak mungkin. Sebaik-baik orang adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Sedangkan kalimat ketiga merupakan puncak dari sebelumnya, yaitu menjauhi segala macam campur tangan dan usaha yang dapat menggeser atau menghilangkan makna kalimat sebelumnya.

Ma’ruf Al-Karkhi berkata, “Tasawuf adalah meraih hakikat kebenaran, dan meninggalkan apa yang ada di tangan makhluk.”

Demikianlah ringkasan pengajian pada pertemuan ketiga Bab Tasawuf yang diadakan di Masjid Jami Al-Buthi, Damaskus, setiap Jumat bakda Ashar oleh Syaikh Prof. Dr. M. Said Ramadhan Al-Buthi hafizhohullah. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.


Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal 10 April 2019 dengan sumber Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan.

______

Editor: Athallah

https://www.laduni.id/post/read/58030/hakikat-ibadah-dalam-pandangan-ilmu-tasawuf.html