Harapan Semu Moderasi Beragama

Seno Segit, seorang mahasiswa Pascasarjana UI, menulis keresahannya tentang pengagungan terhadap moderasi beragama di Indonesia. Dia berhasil melihat sisi diskriminatif secara berbeda dari konsep kesataraan (equality) itu; imperatif etik dengan kenihilan nilai kualifikatif.

Dalam artikel “Sisi Diskriminatif Gerakan Moderasi Beragama” yang tayang di Kompas (14/08/2022), Seno menemukan diskriminasi normatif terhadap pemaknaan (semiotika-epistemik) konsep moderasi beragama. Hal itu karena didorong oleh penyempitan makna yang otoritatif dengan teks hukum berupa Peraturan Presiden (PNPS) Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Dalam PNPS itu, menurut Seno, pijakan epistimologi terhadap pemaknaan agama terbatas pada agama yang enam saja. Hitung-hitungan “mayoritas-minoritas” pun tak dapat dihindari karena memang berangkat dari perspektif yang dominan. Di luar dari pada agama itu, kendati memiliki sesembahan Yang Maha Esa, eyang guru, ajaran, ritual, aliran kepercayaan, dan tempat peribadatan hanya diinterpretasi secara kultural sebagai produk kebudayaan.

Misalnya, adalah Komunitas Penghayat Spritual yang dialienasi secara ironis disatupadukan dalam satu rumpun bersama unit Eselon I Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru. Di sinilah kita melihat bagaimana transformasi diskriminatif konsep beragama; dari diskriminasi paradigmatik, menjadi diskrimanisi epistemik, hingga menjadi wajah semu budaya kolektif.

Hal itu mendapat justifikasi pembenaran—meski secara tidak langsung—dari orang penting yang saat ini memotori gerakan moderasi beragama. Menag Yaqut Cholil Qoumas dalam rentang hari dari tulisan Seno, juga mencurhat moderasi agama di Indonesia sebagai kesadaran yang prematur dan cenderung sensasional dalam praktiknya. Di Kompas (22/08/2022), Gus Yaqut menulis “Merdeka dan Dewasa Beragama” sebagai komentarnya terhadap cara beragama kita dewasa ini.

Baca juga:  Menjelajahi Kasepuhan Islam Ciptagelar

Gus Yaqut menulis, “Kita sudah terlalu lama bersikap kekanak-kanakan dalam beragama. Kita juga sering berpura-pura rukun padahal menyimpan dendam dan permusuhan,”. Sebenarnya, tidak ada tawaran yang konkrit yang dapat ditemukan dari tulisan itu. Gus Yaqut hanya sebatas mencurhat, dengan tawaran solusi terbatas pada pendewasaan yang sudah lama mencuat. Tidak ada kebaruan jalan keluar kendati banyak harapan-harapan.

Alasan ini seolah jalin berkelindan. Moderasi beragama hanya menjadi harapan semu dan hampa. Kerancuan epsitimologi beragama yang dimonopoli dengan teks-teks hukum mengakibatkan kealpaan konsensus rasional sebagai kontrak bernegara antara pemerintah dan rakyatnya. Jurgen Habernas (2011) menyebut jalan keluarnya dengan membentuk kesepahaman dalam diskursus bernegara.

Maka langkah pertama yang perlu dilakukan adalah merestrukturisasi kualifikasi normatif terhadap pemaknaan agama. Harus terdapat konsesus bersama sebagai acuan dalam beragama. Namun, generalisasi makna agama di satu sisi akan mengakibatkan potensi munculnya agama baru di Indonesia. Tentu hal ini akan memantik perbincangan ulang tentang hak konstitusional dan ruang-ruang spritualitas agama di masa lalu.

Pengakuan terhadap eksistensi Komunitas Penghayat Spritual seperti tesis yang diajukan oleh Seno bukan berarti mendirikan tubuh agama baru. Di sini kelemahan Seno dalam menganalisis kebuntuan beragama dengan kerancuan epistimologi agama. Seno menuntut restorasi makna agama dengan memberikan ruang liberatif pada munculnya agama-agama baru di Indonesia. pada gilirannya tuntutan Seno akan ahistory dengan peradaban bangsa. Transaksi spiritual akan berlangsung di dalamnya.

Baca juga:  Ketika Santri Memperbincangkan Dikotomi Islam vs Barat

Dengan demikian, yang dimaksud sisi diskriminatif dari moderasi agama yang disebut oleh Seno adalah penggunaan kualifikasi hukum yang terbatas sebagai objek proyek kesetaraan. Memaknai agama secara terbuka hanya akan menyempitkan ruang gerak dari moderasi beragama itu sendiri. Karena nalarnya hanya terkungkung pada objek normatif dan terkatung dengan teks formalis.

Maka jalan keluar yang sebenarnya adalah melepas belenggu normatif dari konsep moderasi beragama. Moderasi agama (Islam Wasathiyah) hanya sebagai konsep, ada rajutan kehendak/harapan (das sollen) di balik teks-teks pengaturan, yakni menghilangkan identifikasi/akuisisi agama sebagai identitas kepentingan. Menag sebagai promotor konsep kesetaraan harus membuka objek gerakan yang lebih luas lagi. Pengertian/definisi/epistimologi agama tidak menjadi objektifikasi tunggal dari entitas gerakan moderasi beragama.

Di satu sisi, kita menyambut baik sisi lain dari moderasi agama—yang dihadirkan oleh Seno—sebagai ruang gerak yang lebih terbuka. Namun, di satu sisi yang lain, tawaran pada perombakan definisi agama juga akan menimbulkan kesemrawutan yang lebih berkepanjangan lagi. Selain karena relativisme kultural dalam menemukan kesepakatan yang sintesis-komprehensif, ada banyak sekali produk kebudayaan yang serupa model pemujaan agama di Indonesia. Dengan demikian, tidak ada kesepakatan final terhadap makna agama.

Jalan keluar dari kehampaan dan harapan semu moderasi agama di Indonesia adalah membentuk kualifikasi hukum baru yang lebih progresif dalam memandang dinamika sosial-spritual. Aturan ini yang menjadi acuan pelaksanaan konsep moderasi agama di Indonesia. Ruang geraknya lebih terbuka, tidak terbatas pada agama yang enam saja. Epistimologi agama biarkan sudah sebagai petanda agama di Indonesia, tapi pengarusutamaan moderasi beragama harus lebih masif lagi melampaui agama-agama yang ada, termasuk para Penghayat Spiritual yang ada di Indonesia.

Baca juga:  Kangen Zainuddin MZ

https://alif.id/read/afz/harapan-semu-moderasi-beragama-b245224p/