Oleh Ahmad Rusdiana*)
Peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang jatuh setiap tanggal 20 Mei awalnya ditetapkan dalam momentum bebangkitan nasionalisme, persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia sebagai sebuah bangsa, yang tadinya masih bersifat kedaerahan dalam melawan penjajah.
Presiden Soekarno memilih tanggal tersebut karena merupakan tanggal berdirinya organisasi Budi Utomo yang merupakan simbol tepat untuk menggambarkan bagaimana bangsa Indonesia mulai bangkit untuk melawan penjajahan.
Makna kebangkitan ini bisa jadi lebih luas. Bila dulu yang dimaksud “bangkit” adalah bangkit melawan penjajah, kini harus bisa bangkit melawan hal-hal yang menghambat kemajuan kita. Salah satunya Literasi sosial Kemanusiaan dan Kebangsaan. Bangkit dalam hal kemanusiaan dan kebangsaan salah satunya.
Kenapa kita harus bangkit? Karena kemanusiaan dan kebangsaan adalah hal penting yang hampir selalu ada dalam aspek kehidupan kita. Untuk itu kita, khususnya bagi generasi muda Indonesia, harus bisa bangkit meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sosial atau yang disebut literasi nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan.
Literasi dalam nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan kemudian akan menjelma menjadi Civics Literacy (Literasi Warga Negara), di mana menurut Pusat Pengujian dan Pengembangan (PUSJIBANG) Kemendikbud dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) (dalam Winarno, 2013: 110), bahwa seorang warga negara dituntut memiliki pengetahuan mengenai; (1) Manusia sebagai zoon politicon; (2) Nilai, Norma dan Nilai; (3) Norma-norma dalam Masyarakat; (4) Bangsa dan Negara; (5) Konstitusi; (6) Lembaga-Lembaga Politik; (7) Kewarganegaraan; (8) Sistem Politik Demokrasi; 9) Negara Hukum dan Penegakkannya; (10) Hak Asasi Manusia; (11) Peran Indonesia dalam hubungan Internasional; dan (12) Identitas Nasional. Literasi tersebut harus diarahkan untuk membentuk karakter yang baik.
Lickona (dalam Dikdasmen Kemendikbud RI, 2016: 7) menggambarkan bahwa karakter baik itu memiliki tiga komponen yaitu; (1) pengetahuan tentang moral (moral knowing), (2) perasaan tentang moral (moral feeling), dan (3) perbuatan bermoral (moral action). Kesemua komponen tersebut diperlukan dalam rangka memahami, merasakan dan mengaplikasi nilai-nilai kebajikan.
Lantas [ertanyaannya, siapa yang paling berperan untuk membangkitkan dan membangun literasi nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan itu?
Teori dan pinsip andragogi bagi calon guru dalam berbagai literatur dan hasil penelitian digambarkan kegiatan pembelajaran masih bersifat konvensional masih menggunakan teacher centered oriented (berpusat pada guru sebagai satu-satunya narasumber belajar), sehingga dapat dikatakan guru memiliki posisi sentral dan menentukan dalam kesuksesan pencapaian tujuan pembelajaran.
Menurut Ahmad (dalam Winarno, 2013: 54-55) seorang guru (digambarkan untuk guru Pendidikan Kewarganegaraan) dalam pembinaan karakter dan budi pekerti adalah sebagai berikut:
Pertama: Guru memiliki peranan dalam membina iman dan taqwa siswa melalui pengarahan beribadah, pembinaan sikap tole- ransi, internalisasi nilai-nilai ajaran agama, dan pembinaan akhlak;
Kedua: Guru berperan untuk membina sopan santun dengan cara; mengarahkan dalam berbicara secara sopan dan beretika, berlaku dengan sopan dan beretika, saling menghormati dan menghargai, berani bertanggung jawab dan sebagainya;
Ketiga: Guru memiliki peranan untuk menjaga kedisiplinan siswa dengan cara memastikan siswa untuk datang ke sekolah tepat waktu, mengumpulkan tugas tepat waktu;
Keempat: Guru turut serta membina kesehatan siswa dengan mengarahkan siswa untuk menjaga kebersihan lingkungan, membiasakan hidup sehat, membiasakan menjaga kesehatan badan.
Namun apa yang terjadi dalam pembelajaran, Suwarma (dalam Winarno, 2013: 55) mengungkapkan berdasarkan beberapa penelitian secara umum terdapat beberapa kelemahan guru (digambarkan guru Pendidikan Kewarganegaraan) dalam proses belajar antara lain; (1) Guru belum bertindak sebagai fasilitator, tetapi hanya bertindak sebagai narasumber, (2) Guru tidak menjadi pembelajar, tapi hanya sebatas pengajar; (3) Pengelolaan kelas yang dilaksanakan Guru belum optimal; (4) pembelajaran belum terencana dengan baik; (5) Guru belum dapat menjadi panutan; (6) Guru belum mampu bertindak sebagai motivator.
Pada prinsipnya Literasi kemanusiaan dan kebangsaan, tidak tersekat sempit pada perkara pengabaian HAM saja. Ketika manusia tidak mampu membaca dan memahami teks kehidupan baik bersifat vertikal maupun horizontal, kemudian ia tidak dapat mengambil perilaku dan tindakan yang tepat dalam menghadapi permasalahannya atau lebih buruk lagi dengan melakukan penyalahgunaan atau penyelewengan potensinya sebagai manusia untuk digunakan dalam upaya tujuan hawa nafsunya yang bersifat desktruktif, maka senyatanya manusia tersebut telah masuk ke dalam zona darurat literasi kemanusiaan. Zona di mana manusia ada namun tidak berharga, bahkan ada namun tiada.
Dalam Alquran, ayat pertama diwahyukan menyebutkan iqra! (bacalah!), perintah membaca diturunkan pertama kali sebelum yang lain, merupakan pondasi awal demi terbangunnya literasi diri manusia yang utuh dan tercapainya menara literasi utamanya yaitu kompetensi pemahaman tentang diri di hadapan Allah, pemahaman diri beserta fungsinya di tengah alam semesta dan dalam panjangan dimensi waktu yang telah digariskan. Disanalah manusia telah mencapai perannya sebagai makhluk literat tingkat tinggi. Semoga! Wallahu A’lam Bishowab.
*) Ahmad Rusdiana, Guru Besar bidang Manajemen Pendidikan UIN Sunan Gunung Djati Bandung