LADUNI.ID, Jakarta – Menuntut ilmu wajib hukumnya bagi setiap muslim dan muslimah sejak dari ayunan hingga liang lahat.
Demikian pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Anas bin Malik.
Dalam hadis lain diterangkan yang artinya “Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah SWT memudahkan baginya jalan menuju surga.”
Keutamaan penuntut ilmu (tholabul ‘ilm) ini juga mendapat ganjaran mulia dari Allah SWT. “Sesungguhnya para Malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi pencari ilmu karena senang dengan apa yang dilakukannya.”
Pertanyaannya, bagaimana jika menuntut ilmu tanpa guru? di zaman daring (dalam jaringan) saat ini banyak kita temui orang-orang berlajar sendiri tanpa guru. Bahkan, baru sedikit membaca buku dan belajar lewat Youtube, sudah berani berbicara di depan publik menjelaskan tentang hukum yang sesuai pemahamannya. Bukan dari pemahaman ilmu yang dipelajari dari guru-gurunya (sanad).
Habib Quraisy Baharun (Ulama lulusan Hadhramaut Yaman), dalam tausiyahnya mengingatkan kita agar ilmu agama dipelajari dengan berguru, agar tidak salah paham atau pemahamannya salah. “Sering kita dengar ungkapan, barangsiapa yang belajar tanpa guru, maka setan adalah gurunya. Kalimat ini banyak ditemukan dalam kitab-kitab tasawuf dan tarekat. Ini disebabkan karena Ilmu Syari’at seperti ilmu Fiqih, Tauhid, ilmu tasawuf dan tarekat adalah ilmu yang mengajarkan cara-cara dan kaidah-kaidah seorang hamba berhubungan dengan Allah SWT.”
Kalimat ini diungkapkan oleh ulama tasawuf Imam Abu Yazid Al-Busthami (wafat 874 M):
مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ أُسْتَاذٌ فَإِمَامُهُ الشَّيْطَانُ
“Barang siapa yang tidak mempunyai guru, maka imamnya adalah setan.”
Sementara redaksi lain ditemukan dalam Tafsir Ruh Al-Bayan, karya Isma’il Haqqi Al-Hanafi (wafat 1715 M):
مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ الشَّيْطَانُ
“Barang siapa yang tidak mempunyai guru, maka gurunya adalah setan.”
Dengan demikian, seseorang tidak bisa mengamalkan ajaran-ajaran tasawuf atau tarekat bila tanpa bimbingan guru atau mursyid. Jika tidak, maka ia akan tersesat dan kehilangan arah. Ulama Tarekat Syadziliyah Syaikh Ali bin Wafa (wafat 1405 M) mengatakan bahwa siapa pun yang menginginkan kesempurnaan tanpa melalui guru dan pembimbing, maka ia telah salah menempuh jalan.
Ulama hadis Syaikh Abdurrahman bin Yazid bin Jabir (wafat 770 M) berkata:
لَا يُؤْخَذُ الْعِلْمُ إلَّا عَمَّنْ شُهِدَ لَهُ بِطَلَبِ الْعِلْمِ
“Ilmu tidak diambil kecuali dari orang yang disaksikan bahwa ia mencari ilmu (bukan dari orang-orang yang tidak diketahui pernah mencari ilmu).”
Seseorang yang ingin mempelajari ilmu dunia, maka kebutuhan untuk belajar dengan seorang guru hukumnya relatif, tergantung pada subjek pengetahuan yang dipelajari.
Ilmu-ilmu non-syariat, misalnya, pendidikan modern hari ini telah menyusun sistem pendidikannya dengan tujuan peserta didik memiliki kompetensi pengetahuan, kompetensi sikap, dan kompetensi keterampilan. Karena itu, mereka diharuskan untuk bersekolah atau mengikuti pelatihan yang di dalamnya terdapat guru dan pelatih hingga ia dinyatakan lulus dan kompeten.
Jika tidak, maka keilmuannya dalam konteks ini akan diragukan dan dipertanyakan. Meski demikian, terkait ilmu-ilmu non-syariat (ilmu-ilmu duniawi) seseorang boleh mempelajarinya tanpa guru selama ilmu itu bukanlah ilmu yang membutuhkan keahlian khusus, tidak berdampak langsung pada keselamatan jiwa manusia, dan mengharuskan adanya guru atau pembimbing.
Misalnya, memasak, bertani, programming, dan sebagainya. Ilmu-ilmu di bidang ini jika dipelajari secara otodidak, hal itu tidaklah bermasalah. Namun, jika ilmu-ilmu duniawi itu membutuhkan keahlian khusus dan mengharuskan bimbingan guru ahlinya, karena terkait langsung dengan kemaslahatan umat manusia, maka ilmu ini tidak boleh dipelajari secara otodidak. Misalnya, kedokteran, farmasi, kebidanan, perawat, nuklir, dirgantara. Ilmu-ilmu ini jika dipelajari tanpa bimbingan dan pengawasan ahlinya, maka akan dapat berbahaya bagi keselamatan manusia.
Kesimpulannya, ilmu syariat tidak bisa dipelajari secara otodidak atau dengan guru yang salah, sebab jika hal itu terjadi maka ia akan terjebak pada penyimpangan tentang makna dan tujuan agama. Namun, jika seseorang pernah belajar ilmu agama (ulumul qur’an, nahwu, sharaf, fikih, dan lainnya) secara mendalam dengan seorang guru kompeten, kemudian ia ingin mengulangi untuk mempelajarinya, maka ia boleh mempelajarinya sendiri dengan maksud mendalaminya. Wallahu A’lam
_____________
Sumber : Tausyah Habib Quraisy Baharun (Ulama lulusan Hadhramaut Yaman)
https://www.laduni.id/post/read/517162/hati-hati-belajar-tanpa-guru.html