“Di antara tanda-tanda matinya hati ialah tiadanya kesedihan atas keluputanmu dari ketaatan, dan tiada penyesalan atas kesalahan yang engkau lakukan.”
مِنْ عَلامَاتِ مَوْتِ القَلْبِ عَدَمْ الحُزنِ عَلىَ مافاتَكَ مِن المُوَافقَاتِ، وَتَرْكُ النَدمِ عَلى مافَعَلتَهُ مِن وُجُودِ الزَّلاَّتِ
Hati orang yang beriman hidup dengan kebaikan atau ketaatan kepada Allah. Ketika melakukan sesuatu yang salah, meskipun tak ada orang lain mengetahuinya, ia akan merasa sedih dan menyesal. Sebaliknya, jika tak ada lagi sedih dan rasa sesal ketika melakukan sesuatu yang salah maka hati itu bisa dikatakan telah mati. Iman berkurang atau bisa jadi telah hilang. Nabi Saw bersabda:
“Siapa yang senang hatinya dengan kebaikan dan sedih atas keburukannya maka ia seorang mukmin.” (H.R. Ahmad & Turmudzi)
Ketaatan itu sendiri, kata Muallim Sarni, adalah nikmat yang Allah berikan kepada hambanya. Hendaknya ia menyukurinya. Karena pada hakikatnya, tidak mudah melakukan ketaatan dengan kesadaran dan lapang dada, penuh integritas dan totalitas dalam kebaikan, terutama secara konsisten. Maka para arifin sepakat, bahwa konsisten dalam kebaikan itu, lazim disebut istiqamah, adalah suatu karamah. Bahkan dikatakan, istiqamah adalah lebih baik daripara seribu keramat. Dalam sebuah riwayat diterangkan, ketika seorang sahabat, Sufyan bin Abdullah, bertanya pada Rasul tentang suatu kebaikan yang tinggi beliau Saw bersabda, “Katakanlah aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamah-lah!” (H.R. Muslim)
Bilamana di hati kita tak ada rasa sedih ketika luput dari ketaatan, dan tiada sesal melakukan perbuatan buruk atau jahat, segeralah rasakan dan kenali, jangan-jangan atau sememangnya hati kita telah mati. Maka perhatikan dan rasakan kebalikannya yang mungkin berguna, tanda hidupnya hati–sebagaimana kata Syekh as-Syarqawi–yaitu terbitnya cahaya Ilahiah, kendatipun kita tak melihatnya karena tebalnya hijab atau penghalang yang mendindingnya. Cahaya yang perlahan demi perlahan membuka dinding selubung hati, menyingkap kebenaran yang sebelumnya tak tampak. Singkapan demi singkapan itu rasakanlah, hai salik, di dalam hatimu.
Mukmin yang sempurna, tutur Syekh Arsyad dalam Fathur Rahman, memandang dengan cahaya Allah kepada ketaatannya–yang merupakan anugerah dan karunia-Nya. Maka ketika itu, terbukalah hatinya memandang substansi segala sesuatu. Allah Swt berfirman, “Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri ia cahaya, yang membuatnya dapat dapat berjalan di tengah-tengah manusia banyak, sama seperti orang yang berada dalam kegelapan dan ia tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. Al-An’am: 122)
Hendaknya, kata pengarang Futuhul ‘Arifin, ketika mengerjakan amal kebaikan kita memerhatikan agar segala syarat-rukunnya dapat terpelihara, dan saat menunaikannya disertai permohonan kepada pertolongan Allah. Dan setelah menunaikannya, perhatikan kembali, bahwa terlaksananya amal itu semata-mata perbuatan Tuhan yang berlaku atas diri kita. Itu adalah anugerah yang mesti disyukuri. Hal ini dapat menepis ujub (bangga diri) yang merupakan penyakit hati, yang dapat menggerogoti kebaikan itu sendiri.
Dan bila mengerjakan keburukan, perhatikan pula, hendaklah diakui bahwa kesalahan itu milik kita dan sesalilah serta segera memohon ampunan-Nya. Dengan begitu, keburukan atau kejahatan itu tidak akan sempat menempel lama dan berakar di dalam hati kita, anggota tubuh–mata, telinga, tangan, kaki, dsb.–pun, akan terbiasa menjauhinya.
Karena terbiasa dengan keburukan, seringkali hati menjadi kebal, pikiran menjadi tumpul, dan terjadi penyerupaan (talbis) yang membuat kebaikan dan kejahatan itu menjadi samar. Segalanya menjadi terbolak-balik, tumpang tindih, seakan sama saja semuanya itu. Standar/timbangan menjadi tak ada. Apa saja dapat dilakukan untuk kepentingan diri sendiri, dan apa saja dalilnya dapat dijadikan pembenaran atas apa yang dianggap kebaikan itu. Hati nurani mati. Padahal, ia-lah alat kita menimbang yang paling jernih selamanya, tempat di mana Tuhan meletakkan rahasia-rahasiaNya.
Rasul Saw bersabda, “Sungguh dalam tubuh terdapat segumpal daging, bila ia baik baiklah seluruh tubuh dan bila ia rusak rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah ia adalah hati” (H.R. Muslim). Dalam konteks ini al-Ghazali menyebut bahwa hati terdiri atas hati fisik (berbentuk cemara hitam terbalik, terletak di dada sebelah kiri, disebut hati sanubari) dan hati ruhani tempat makrifah Ketuhanan. Dalam konteks kejiwaan, hati adalah medan perebutan nafs, antara nafsu yang rendah dan akal, sekaligus gerbang ruh.
Nafsu tirani (nafs al-‘ammarah) mendorong pada kelalaian, lupa dan dosa. Bersama partnernya, Syetan yang membisikinya, ia makin berani melakukan maksiat yang lebih tampak dan besar. Jika tak segera muncul penyesalan, dengan nafs al-lawwamah, ia akan selamanya dalam penjara kejahatan dan memandang semua perbuatannya baik. Dengan penuh sesal nafs akan kembali perlahan-lahan kepada Tuhan, melalui pintu demi pintu: dari nafs al-mulhamah (yang diberi ilham ketakwaan), kemudian nafs al-muthmainnah (yang tenang), lalu nafs ar-radhiyah dan al-mardhiyah (yang ridha dan diridhai), dan terakhir nafs yang suci. Di sinilah, di dalam ruh, cinta bersemi.
Syekh Ragip mengutip seorang Guru yang menulis kepada muridnya, “Kau boleh saja mencoba ratusan kali, tapi hanya akan ada cinta yang membebaskanmu dari dirimu sendiri”. Guru yang lain mengatakan pada muridnya:
“Sahabatku, makanan ngengat didapatnya melalui cinta pada nyala api. Tanpanya ngengat menjadi putus asa… Ketika ngengat melemparkan dirinya ke dalam pijar api, ia terbakar dan sepenuhnya menjadi (bagian) api. Terkait nafs (diri), kepekaan macam apakah yang mampu kau miliki?”
Baca Juga
https://alif.id/read/hajriansyah/hikmah-matinya-hati-b249159p/