Hikmah: Persaudaraan dalam Tarekat

لا تَصْحَبْ مَنْ لا يُنْهِضُكَ حالُهُ وَلا يَدُلُّكَ عَلَى اللهِ مَقالُهُ

“Janganlah engkau bersahabat dengan orang yang keadaannya tidak membangkitkan semangatmu, dan pembicaraannya tidak membimbing ke jalan Allah.”

TGH Muhammad Sarni (pengarang Futuhul ‘Arifin) menjelaskan, hendaklah kawan itu orang yang membangkitkan semangat untuk menuju kepada Allah, melalui perbuatan dan perkataannya. Bukan karena kepentingan sesaat yang dangkal, dengan asumsi dasar tak yang memberi manfaat dan menolak mudarat kecuali Allah.

Dalam keadaan suluknya, seorang salik mesti menjauhi pergaulan yang tak bermanfaat, menjauhi orang yang meski tampak alim dan berbuat ibadah tapi pandangannya masih sebatas dunia saja dan ia sebenarnya berkepentingan kepada kita untuk kedudukannya.

Suhbah atau pergaulan itu mestinya karena Allah dan untuk Allah. Inilah pergaulan atau persaudaraan yang dimaksud dalam firman-Nya (Q.S. al-Hujurat: 10): “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara, maka perbaikilah persaudaraan di antara kalian dan bertakwalah kepada Allah agar kalian mendapat rahmat.”

Persaudaraan dalam tarekat adalah mengikatkan diri atas nama Tuhan. Seorang guru atau syekh (mursyid) berkomitmen membimbing murid sampai kepada Allah, dan seorang murid berkomitmen untuk mengikuti perintah dan anjuran gurunya karena ingin menuju Allah. Bukan karena kepentingan lainnya. Begitupula sesama murid atau ikhwan saling membantu dan memotivasi karena Allah. Hubungan semacam ini menjadi dasar penting semua tradisi tasawuf.

Dalam tradisi tarekat Turki lazim dikenal istilah Sohbet, dari kata Arab “shuhbah” (suhbah). Ungkapan sohbet dalam tradisi tarekat Khalwati Jerrahi, misalnya, mengacu pada obrolan tentang spiritualitas. Seorang mursyid mengadakan sohbet sebagai latihan untuk para darwis (murid, salik), berupa bimbingan dan inspirasi melalui kisah-kisah. Bagi para darwis pemula terkadang sohbet (berbagi kisah) lebih diutamakan daripada zikir, karena ia dianggap media untuk membersihkan hati murid sebelum ia pantas berzikir dengan benar. Dalam sohbet para murid sibuk dengan mursyid, sedangkan dalam zikir mereka sibuk dengan Allah; langkah pertama bertujuan mengantar pada langkah yang kedua.

Syekh Abdul Qadir Jailani dalam Gunyah menyebutkan, kewajiban pertama yang harus dijalani setiap pemula dalam tarekat adalah memegang akidah yang benar, berdasarkan Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya, menjalankannya secara utuh dan menjadikan keduanya sebagai sayap untuk terbang menuju Allah. Selanjutnya ia mesti tulus berjanji atas nama Allah, tidak akan mengangkat dan menjejakkan kakinya di jalan-Nya kecuali dengan-Nya. Dengan demikian, ia tidak akan lari dari tujuannya hanya karena mendapat kecaman atau hasutan. Orang yang benar tidak akan mengurungkan langkahnya, juga tidak menyerah dengan rintangan-rintangan yang dihadapinya.

Kewajiban guru yang pertama, kata al-Jailani, adalah menerima murid karena Allah, bukan untuk kepentingannya sendiri. Ia memberi nasehat kebaikan kepada murid, memperlakukannya secara lembut ketika ia kesusahan dalam mujahadah atau riyadhah-nya. Mengasuh dan mendidik murid layaknya seorang ibu terhadap bayinya, serta penyayang dan bijak layaknya ayah terhadap anaknya yang masih kecil.

Seorang Arif yang pantas menjadi mursyid itu dermawan kepada siapa saja. Tak pilih kasih kecuali demi kepentingan murid-muridnya, agar mereka termotivasi. Perkataan dan perbuatannya satu dalam tujuan, mengantarkan orang kepada Allah, dan keadaannya lebih-lebih dapat menjadi teladan yang paling baik bagi yang mencontohnya, seperti teladan Rasulullah bagi para sahabatnya.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/hajriansyah/hikmah-persaudaraan-dalam-tarekat-b249048p/