Hikmah Rukun Haji (3): Thawaf, Tradisi Kuno Tentang Mengingat

Suatu hari, istri tua Ibrahim, Sarah, terbakar api cemburu lantaran istri muda Ibrahim, Hajar, hamil. Sarah meminta agar Ibrahim mengusir Hajar sehingga Sarah tak melihatnya lagi. Ibrahim pun mengantarkan Hajar pergi ke selatan menjauhi bumi Kan’an (kini Syam/Levant), sebuah daerah di mana Ibrahim dan Sarah tinggal.

Singkat cerita bisikan ilahi menuntun agar Ibrahim membawa Hajar ke sebuah lembah kosong tak berpenghuni dan tandus (al-Hajj: 27). Bakkah, demikian orang Arab menyebut lembah itu (Ali ‘Imran: 96). Di lembah tandus itu, Hajar melahirkan anaknya yang berkulit merah muda. Ismail, demikian anak itu disebut dalam dialek Arab. Tradisi profetik menceritakan bahwa Jibril membantu Ismail yang masih bayi itu untuk lepas dari kehausan dengan cara menggali sumur fenomenal; Zamzam.

Dengan sumur inilah semuanya bermula. Dengan sumur ini, peradaban Arab yang nomaden mulai menetap dengan bentuk primitifnya. Ketika sumur Zamzam memuntahkan air asinnya, dari kejauhan sekelompok burung gagak mengamati hal ini. Rombongan gagak itu pun datang berkelompok dari selatan. Sementara dari tempat yang lebih jauh, sekelompok suku Arab yang bengis, Suku Jurhum, mengamati rombongan gagak tersebut. Orang-orang Jurhum dengan insting padang pasirnya yang kuat menyadari bahwa sekelompok gagak itu telah melihat semburan air. Mereka pun pergi mengikuti gagak tersebut.

Baca juga:  Ajip Rosidi, Rancage, dan Menghadiahi Buku

Ketika sampai di lembah Bakkah yang terkenal tandus itu, orang-orang Jurhum pun terkejut ketika menemukan di dekat mata air itu ada dua orang insan yang kelaparan; Hajar dan putranya, Ismail. Maka sebagai tanda terima kasih kepada Ismail karena telah menemukan sumur tersebut, orang Jurhum menjodohkan gadis cantik mereka untuk dinikahi Ismail. Perkawinan Ismail dengan gadis Jurhum ini melahirkan banyak suku yang dikelompokkan dengan nama al-Musta’ribah, Arab blasteran, lawan kata dari suku-suku sekitar, al-‘Aribah, Arab murni.

Dengan demikian, kota Bakkah menjadi pusat peradaban baru. Kota ini menjadi pemberhentian para musafir yang hendak menuju Laut Mediterania. Bakkah–lambat laun dikenal dengan nama Makkah–pun menjadi kota makmur karena terletak di jalur yang disebut dengan incense-route, jalur dupa, yakni jalur di mana para pedagang membawa dupa dari Asia Tengara menuju Eropa dan Afrika Utara.

Di dekat sumur tersebut, terdapat sebuah batu meteorit yang unik. Unik karena batu ini berwarna hitam, sementara batu lain di sekitarnya tidak. Batu ini hampir-kotak bentuknya. Oleh karena itu ia dinamakan Ka’bah. Beberapa referensi menyebutkan bahwa batu ini dulu pernah dipuja oleh orang Arab sebelum Ismail datang. “Barangkali pemujaan itu masih sebatas menutupi batu tersebut dengan tenda,” demikian Prof. Hitti menulis dalam Capital Cities of Islam. Namun, barangkali karena pemujaan yang kurang sesuai dengan tauhid, Allah menjaga Ka’bah dari kekotoran semacam itu.

Baca juga:  Edisi Ramadan, Kolom Gus Dur di Majalah Sarinah

Atas dasar wahyu Tuhan, Ibrahim membuat sebuah bayt (ma’bad; kuil) bersama Ismail dengan batu ini sebagai pusatnya. “Agar engkau tidak menyekutukan-Ku, dan agar engkau menyucikan rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, rukuk, dan sujud,” demikian firman Allah dalam al-Qur’an tentang pembuatan Ka’bah. Dengan firman ini, Ibrahim adalah orang pertama yang menghidupkan lagi tradisi thawaf–setelah sebelumnya tradisi ini mati pasca banjir bandang di zaman Nuh. Bahkan riwayat mistis mengatakan bahwa malaikat telah thawaf di Ka’bah selama tujuh ribu tahun sebelum Adam diturunkan ke bumi.

Ada dua istiadat besar Ibrahim yang diadopsi oleh Islam: pertama adalah thawaf, yang kedua adalah khitan (sunat). Dua ajaran ini yang kemudian diperintahkan untuk diikuti oleh Nabi Saw (Al-Nahl: 123). Orang-orang pra Islam yang bertauhid, berkhitan, dan thawaf disebut oleh al-Quran dengan nama hunafa’, bentuk plural dari kata hanif. Tradisi berputar dalam rangka penghormatan ini kita temukan beberapa ratus tahun pasca Nabi Saw wafat ketika Jalaluddin dari Konya berkabung atas kewafatan gurunya. Maka untuk mengenang gurunya, ia berputar-putar sambil menari dan menyanyikan elegi sufistik. Tradisi mengingat ini pula yang ditangkap sebagai esensi thawaf oleh Nabi Saw dalam beberapa sabdanya. (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad).

Baca juga:  Apakah Sastra Kita Berpijak di Bumi? 

Sebagaimana ibadah lain, thawaf memiliki tata cara khusus. Dalam Fath al-Qarib, Ibnu Qasim menjelaskan bahwa thawaf dilakukan dengan cara meletakkan Ka’bah di sebelah kirinya dan berjalan membalik jarum jam. Tata cara ini bukan sesuatu yang bisa dinalar, melainkan ia adalah sesuatu yang bersifat ta’abbud (pengabdian), ketentuan dari Tuhan memang demikian. Nilai ta’abbud inilah yang membuat ibadah haji semakin terasa memiliki daya magisnya sendiri.

https://alif.id/read/kholili-kholil/hikmah-rukun-haji-3-thawaf-tradisi-kuno-tentang-mengingat-b244411p/