Hujan dan Kewaspadaan

Saya teringat seorang sesepuh yang menyukai hujan. Selain bunyinya yang gemeretak pada genteng ataupun dedaunan, bau basah tanah karena hujan ternyata juga menjadi hal yang khas baginya. Telah lama hujan menjadi metafora bagi kesenduan. “I can see clearly now the rain is gone/ I can see all obstacles in my way/ Gone are the dark clouds that had me blind/ It’s gonna be bright (bright)/ Bright (bright) sunshiny day,” demikianlah salah satu penggalan lagu Jimmy Cliff yang mencoba menyinggung hujan.

Apalagi di tangan seorang maestro kesenduan dalam ekspresi sastra, Sapardi Djoko Damono. Hujan itu terasa sangat muram, apalagi ketika ia sajikan di bulan Juni dimana di Jawa lazimnya bertepatan dengan musim kemarau. “DukaMu abadi,” catat Sapardi dalam salah satu sajaknya yang mendahului kumpulan sajaknya yang serasa menikmati drama-drama Korea, Hujan Bulan Juni.

Saya pribadi tak begitu doyan puisi-puisi suasana hati yang kerap mengeksploitasi kemuraman yang sangat jauh dari kepribadian saya yang urakan. Di samping Goenawan Mohamad, barangkali Sapardi adalah salah satu orang yang terkesan melas dalam ekspresi puitiknya. Tapi kali ini sepertinya berbagai puisinya dalam Hujan Bulan Juni cukup mewakili suasana zaman yang kebetulan bertepatan dengan duka atas wabah corona, bulan Juni, dan hujan di berbagai belahan.

Iklan – Lanjutkan Membaca Di Bawah Ini

Wabah corona yang kali ini kembali menjadi sehela jeda rupanya cukup membuat kekhawatiran para pemangku kebijakan dan masyarakat luas. Bahkan kini cukup banyak pula orang-orang yang mendadak meninggal dunia tanpa gejala sama sekali yang kini seolah sejenak membuat orang untuk lebih mentaati berbagai protokol kesehatan terkait dengan wabah corona. Pilihan kebijakan penerapan lockdown sempat pula mencuat karena banyaknya korban yang berjatuhan dan ternyata urung dilaksanakan oleh para pemangku kebijakan karena masalah anggaran. Belum lagi berbagai pengamatan suram para pakar ekonomi yang setahun yang lalu membuat saya meracik sebentuk kawruh ekonomi beja (“Kawruh Ekonomi Beja di Tengah Pagebluk,” Heru Harjo Hutomo, dlm. Kepercayaan dan Pandemi: Antologi Esai Penghayat Kepercayaan dalam Menghadapi Covid-19, IRCiSoD, Yogyakarta, 2020).

Baca juga:  Ronggawarsita dan Secarik Catatan Tentang Susu yang Menyembul Keluar

Sejenis Ronggawarsita-kah Sapardi Djoko Damono dalam hal ini, terkait dengan duka yang abadi, hujan, dan bulan Juni? Konon para penyair memang dilengkapi dengan kepekaan khusus dalam mencecap suasana zaman yang membuat mereka seakan sang pujangga pamungkas Jawa, Ronggawarsita, yang sepertinya dapat melipat waktu.

Di pedesaan memang terasa bahwa corona bukanlah sebentuk ganjalan yang berarti, tapi kabar-kabar kematian begitu murah untuk diperdengarkan. Apalagi ketika di saat kemarau yang justru berlimpah hujan dengan sesekali kicauan burung Emprit Ganthil mengiringi gerimis ketika menjelang ataupun seusai hujan, cukup membuat suasana sedikit mencekam. Konon, Emprit Ganthil merupakan seekor burung yang tak lazim untuk dijadikan burung piaraan. Kicauannya serupa dengan bunyi peluit saat di masa lalu kereta hendak berangkat.

Tapi tak selamanya hujan itu lekat dengan citra kesenduan. Dari berbagai kisah para wali konon menjadikan hujan sebagai segurat isyarat penghargaan alam akan keluhuran seorang wali yang mangkat. Dan memang, berdasarkan catatan Hakim al-Tirmidzi, eksistensi para wali itu tak dapat dilepaskan dari tatanan kosmos. Mereka kerap diyakini sebagai para penjaga Bumi. Karena itulah, dari berbagai kisah mereka, terdapat jenjang kepangkatan yang memiliki konotasi dengan kosmos: qutub, autad, dst.

Meskipun tak ada suluk pedalangan—baik lagon maupun sendhon dan ada-ada—yang menjumput hujan, pagelaran wayang purwa menyisipkan salah satu fenomena alam itu dalam pocapan menjelang adegan Gara-Gara. Hujan dalam pocapan itu diungkapkan dengan istilah “udan salah mangsa,” seperti judul kumpulan puisi Sapardi yang telah melegenda ataupun suasana saat ini di tengah wabah corona. Adegan Gara-Gara dalam pagelaran wayang purwa memang identik dengan sebuah goncangan, baik goncangan kebudayaan maupun goncangan kosmologis yang menuntut perubahan sebuah tatanan yang kadang sudah berusia ratusan tahun.

Baca juga:  Gula Kelapa Nuswantara

Tatanan baru itu, konon, akan ditegakkan oleh seorang ksatria yang meditatif dimana dalam wanda wayang digambarkan berhidung mancung, kepala luruh, dan mata yang liyep atau mengantuk. Sebelum ksatria ini sadar dari meditasinya, keadaan dikuasai oleh para panakawan yang melambangkan kawula yang memang khusus ditugaskan untuk memomong sang ksatria: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong.

Struktur zaman dalam jangka tanah Jawa memang selalu sama. Sebab, dalam kebudayaan Jawa, waktu itu tak dipahami secara linear, melainkan sirkular (“Zaman Kalabendu” Ronggawarsita, Heru Harjo Hutomo, https://www.berdikarionline.com). Selain kisah para ksatria utama trah witaradya yang bertugas untuk menegakkan tatanan dalam wayang purwa, kebudayaan Jawa juga mengenal legenda Aji Saka ataupun Syekh Subakir yang bertugas untuk menegakkan tatanan yang dianggap sudah menyimpang dari jalannya. Dengan demikian, adegan Gara-Gara dalam pagelaran wayang purwa serupa dengan suasana interregnum dalam tilikan seorang komunis jenius, Antonio Gramsci, dimana suasana itu ia gambarkan sebagai “The old is dying and the new cannot be born.” Tak jauh berbeda, Ronggawarsita pun pernah pula menubuahkan sepotong suasana yang sepadan dengan interregnum, yang ia istilahkan sebagai zaman yang penuh dengan keraguan atau kalatidha.

Apakah wabah corona yang sudah berjalan hampir dua tahun dan cukup memakan banyak korban serta menuntut pengubahan tatanan ini adalah titik kulminasi interregnum ataupun kalatidha bukanlah kapasitas saya untuk menjawabnya. Yang jelas, hujan memang bukanlah sekedar sesesap suasana yang sendu dan berbau duka. Barangkali, ia justru adalah sebentuk pertolongan atas wabah yang seolah sanggup memaksa siapa pun untuk tak berkerumun, menjaga jarak, dan mengurangi mobilitas.      

https://alif.id/read/hs/hujan-dan-kewaspadaan-b238590p/