Hukum Beribadah dengan Harta Hasil Judi Online
Dalam melaksanakan ibadah, seorang muslim harus memperhatikan segala ketentuan yang yang ada, termasuk sarana dan fasilitas yang digunakan. Hal ini bertujuan agar ibadahnya bisa diterima Allah dan bernilai pahala. Lalu bagaimana dengan harta hasil judi online yang digunakan untuk beribadah?
Judi dengan segala variannya, termasuk judi online hukumnya haram dan secara otomatis harta yang diperoleh darinya menjadi haram. Adapun beribadah dengan sarana harta haram hukumnya tidak diperbolehkan. Dalam hadits sahih riwayat Imam Muslim dari Abi Hurairah dengan nomor hadits 1015, Rasulullah bersabda:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا، إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ} [المؤمنون: 51] وَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} [البقرة: 172
ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ، يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah Swt telah memerintahkan kepada kaum mukminin dengan sesuatu yang Allah perintahkan pula kepada para rasul. Maka Allah Swt berfirman: “Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih.” Dan Allah Berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah kalian dari rezeki yang baik-baik yang telah Kami berikan kepada kalian.”
“Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seseorang yang melakukan perjalanan panjang dalam keadaan dirinya kusut dan kotor, dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa: “Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku,” namun makanannya haram, minumannya haram dan pakaiannya haram dan kenyang dengan sesuatu yang haram, lalu bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?.” (HR. Muslim).
Imam Nawawi dalam Syarah hadits di atas mengatakan:
وَهَذَا الْحَدِيثُ أَحَدُ الْأَحَادِيثِ الَّتِي هِيَ قَوَاعِدُ الْإِسْلَامِ وَمَبَانِي الْأَحْكَامِ وَقَدْ جَمَعْتُ مِنْهَا أَرْبَعِينَ حَدِيثًا فِي جُزْءٍ وَفِيهِ الْحَثُّ عَلَى الْإِنْفَاقِ مِنَ الْحَلَالِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْإِنْفَاقِ مِنْ غَيْرِهِ وَفِيهِ أَنَّ الْمَشْرُوبَ وَالْمَأْكُولَ وَالْمَلْبُوسَ وَنَحْوَ ذَلِكَ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ حَلَالًا خَالِصًا لَا شُبْهَةَ فِيهِ وَأَنَّ مَنْ أَرَادَ الدُّعَاءَ كَانَ أَوْلَى بِالِاعْتِنَاءِ بِذَلِكَ مِنْ غَيْرِهِ
Artinya, “Hadits ini adalah salah satu hadits yang merupakan kaidah-kaidah Islam dan fondasi hukum-hukumnya. Saya telah mengumpulkan dari hadits-hadits tersebut empat puluh hadits dalam satu bagian, dan di dalamnya menganjurkan untuk berinfak dari harta yang halal dan larangan untuk berinfak dari selainnya. Didalamnya juga terdapat penjelasan bahwa minuman, makanan, pakaian, dan sejenisnya seyogyanya berasal dari yang murni halal dan tidak ada syubhat di dalamnya. Dan barangsiapa yang ingin berdoa, maka dia lebih utama untuk memperhatikan hal tersebut dibanding yang lainnya.” (Muhyiddin Yahya bin Syarof An-Nawawi, Syarhun Nawawi ala Muslim, [Beirut, Ihya’ Turots: 1392 H] juz VIII, halaman 100).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa syarat utama diterimanya ibadah adalah dengan harta yang murni halal dan tidak bercampur dengan harta syubhat. Dengan demikian seorang muslim harus lebih berhati-hati agar ibadahnya tidak sia-sia.
Namun demikian, secara hukum fiqih, menurut mayoritas ulama kecuali mazhab Imam Ahmad, ibadah yang dikerjakan dengan sarana atau fasilitas harta haram tetaplah dinilai sah selama memenuhi tuntutan dalam ibadah tersebut yakni, memenuhi syarat, rukun dan kewajiban-kewajibannya.
Adapun harta haram untuk ibadah itu dilarang dari segi izin syariat dan ini bersifat berdekatan (mujawir), tidak termasuk dalam hakikat perkara yang diperintahkan. Sehingga hukumnya sah namun haram dikerjakan.
Ulama Mazhab Maliki, al-Qarafi dalam kitab yang bergenre ushul fiqh muqaran menjelaskan terkait beribadah dengan sarana atau fasilitas haram sebagai berikut:
الْمَسْأَلَةُ الثَّالِثَةُ: الَّذِي يُصَلِّي فِي ثَوْبٍ مَغْصُوبٍ أَوْ يَتَوَضَّأُ بِمَاءٍ مَغْصُوبٍ أَوْ يَحُجُّ بِمَالٍ حَرَامٍ كُلُّ هَذِهِ الْمَسَائِلِ عِنْدَنَا سَوَاءٌ فِي الصِّحَّةِ خِلَافًا لِأَحْمَدَ وَالْعِلَّةُ وَمَا تَقَدَّمَ أَنَّ حَقِيقَةَ الْمَأْمُورِ بِهِ مِنْ الْحَجِّ وَالسُّتْرَةِ وَصُورَةِ التَّطَهُّرِ قَدْ وُجِدَتْ مِنْ حَيْثُ الْمَصْلَحَةُ لَا مِنْ حَيْثُ الْإِذْنُ الشَّرْعِيُّ وَإِذَا حَصَلَتْ حَقِيقَةُ الْمَأْمُورِ بِهِ مِنْ حَيْثُ الْمَصْلَحَةُ كَانَ النَّهْيُ مُجَاوِرًا وَهِيَ الْجِنَايَةُ عَلَى الْغَيْرِ كَمَا فِي الدَّارِ الْمَغْصُوبَةِ فَإِنْ قُلْتَ لَا نُسَلِّمُ وُجُودَ حَقِيقَةِ الْمَأْمُورِ بِهِ؛ لِأَنَّ الْمَعْدُومَ شَرْعًا كَالْمَعْدُومِ حِسًّا فَتَكُونُ السُّتْرَةُ مَعْدُومَةً حِسًّا مَعَ الْعَمْدِ وَذَلِكَ مُبْطِلٌ لِلصَّلَاةِ وَكَذَلِكَ الْوُضُوءُ بِعَيْنِ هَذَا التَّقْرِيرِ وَلَا يُمْكِنُنِي أَنْ أَقُولَ ذَلِكَ فِي الْحَجِّ فَإِنَّ النَّفَقَةَ لَا تَعَلُّقَ لَهَا بِالْحَجِّ؛ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ رُكْنًا وَلَا صُرِفَتْ فِي رُكْنٍ بَلْ نَفَقَةُ
Artinya: “Masalah ketiga: Orang yang shalat dengan pakaian ghasab, berwudhu dengan air ghasab, atau berhaji dengan harta haram, masalah-masalah ini menurut kami sama dalam hal keabsahannya, berbeda dengan pendapat Ahmad. Alasannya adalah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa hakikat perkara yang diperintahkan dari haji, menutup aurat, dan wujudnya bersuci telah terpenuhi dari segi maslahatnya, bukan dari segi izin syari.
Jika hakikat perintah tersebut telah terpenuhi dari segi maslahatnya, maka larangan itu bersifat bersebelahan atau bertetangga yakni terkait dengan pelanggaran terhadap hak orang lain, seperti halnya dalam masalah rumah ghasab.
“Jika kamu berkata bahwa kita tidak menerima hakikat perintah itu telah terpenuhi karena sesuatu yang dianggap tidak ada secara syar’i adalah seperti sesuatu yang tidak ada secara indrawi (hissi), maka penutup aurat dianggap tidak ada secara indera dengan sengaja, dan itu membatalkan shalat. Demikian juga wudhu, dan aku tidak bisa mengatakan hal itu dalam haji karena nafkah tidak terkait dengan haji; karena nafkah bukanlah rukun dan tidak dibelanjakan dalam rukun, melainkan nafkah itu sendiri.” (Abul Abbas Syihabuddin Ahmad bin Idris al-Qarafi, Anwarul Buruq fi Anwai al-Furuq [Beirut, ‘Alimul Kutub: t. t], juz II halaman 85).
Walhasil, dari paparan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa seorang yang hendak beribadah harus memperhatikan dan memastikan bahwa sarana dan fasilitas beribadah adalah murni halal dan terbebas dari syubhat, karena hal itu sangat berpotensi diterimanya sebuah ibadah.
Namun demikian, menurut hukum fiqih, ibadah yang dikerjakan dengan sarana atau fasilitas haram, termasuk harta haram hasil judi online, asalkan memenuhi segala tuntutannya, yakni memenuhi syarat, rukun, dan kewajiban-kewajibannya, dinyatakan sah menurut mayoritas ulama, kecuali mazhab Imam Ahmad bin Hanbal.
Adapun sarana dan fasilitas haram, sekalipun dilarang menurut syariat, tetapi di luar hakikat yang diperintahkan dan tidak mempengaruhi keabsahan suatu ibadah, sehingga hukum beribadahnya sah namun haram dikerjakan, dan tentunya tidak mendapatkan pahala dari ibadah yang ia kerjakan. Wallahu a’lam.
Ustadz Muhamad Hanif Rahman, khadim Ma’had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo.
https://islam.nu.or.id/syariah/hukum-beribadah-dengan-harta-hasil-judi-online-cCXB1