Hukum dan Kewajiban Wanita Istihadhah

Laduni.ID, Jakarta – Istihadhah adalah darah yang keluar dari rahim yang paling dekat, pada selain masa haidh dan nifas. ( Ta’liq al-Yaqut an-Nafis halaman 29).

Darah istihadhah disebut juga darah rusak, yaitu darah yang keluar dari rahim yang paling dekat. Hal ini berbeda dengan haidh, karena haidh keluar dari rahim yang paling jauh.

Selain itu, darah istihadhah keluar pada masa selain masa haidh dan nifas. Artinya, darah istihadhah adalah darah selain darah haidh dan nifas. Dengan demikian, semua darah yang tidak dihukumi haidh dan nifas adalah darah istihadhah yang mana darah ini nantinya juga akan menyandang hukum tersendiri sebagaimana keterangan yang akan datang.

Bahwa kita ketahui darah yang keluar dari vagina ada kalanya disebut haidh, nifas atau istihadhah. Selanjutnya, darah istihadhah itu adakalanya keluar setelah haidh atau setelah nifas. Istihadhah yang semacam ini mempunyai beberapa bentuk penggambaran yang akan dibahas pada dua bab yang akan datang. Dan ada kalanya darah istihadhah keluar tidak setelah haidh atau nifas.

Darah ini juga disebut darah istihadhah tetapi di dalam darah ini tidak berlaku beberapa bentuk penggambaran yang akan datang.

Hukum Wanita yang Istihadhah

Jika darah kita hukumi dengan istihadhah, maka sesungguhnya darah istihadhah adalah hadats yang kekal dan dapat membatalkan wudhu, tetapi tidak dapat menghalangi untuk melakukan shalat dan puasa. Karena itulah, wanita yang istihadhah harus membasuh darah, membalut tempatnya darah, melakukan wudhu setiap melakukan shalat fardhu dan tentunya harus shalat, sebagaimana hadits:

Dari Aisyah Ra. yang bercerita bahwa Fathimah binti Abi Hubaisy pernah datang kepada Nabi Saw. untuk bertanya: “Sesungguhnya aku wanita yang mengalami istihadhah, karena itulah aku tidak suci. Apakah aku harus meninggalkan shalat?” Rasulullah Saw. menjawab:
“Tidak, karena itu cuma darah otot, bukan darah haidh. Maka, ketika nanti datang haidh tinggalkanlah shalat, lalu ketika kadar haidh sudah berlalu basuhlah darah haidh darimu dan kerjakanlah shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kewajiban Wanita yang Istihadhah ketika akan Shalat. Seorang wanita yang mengalami istihadhah berkewajiban melakukan beberapa hal di bawah ini:

1. Membasuh vagina sebelum wudhu
2. Menyumbat vagina dengan semisal kapas untuk mencegah najis atau meminimalisirnya. Kewajiban menyumbat vagina ini harus dilakukan ketika telah memenuhi 2 syarat, yaitu: (a.) Tidak merasa sakit akibat sumbatan (dengan sakit yang biasanya tidak bisa ditahan), dan (b.) Tidak dalam keadaan berpuasa. Bila sedang berpuasa maka dilarang untuk menyumbat ketika siang hari (karena dapat membatalkan puasa).
3. Membalut vagina setelah disumbat, apabila darah tidak berhenti dengan disumbat. Apabila dengan disumbat darah sudah berhenti, maka cukup disumbat saja.
4. Melakukan wudhu setelah masuk waktu shalat dan tidak boleh melakukannya sebelum masuk waktu shalat. Hal ini dikarenakan thaharah wanita yang istihadhah adalah thaharah yang sifatnya dharurat. Sedangkan kedharuratan thaharah belum akan ada sebelum masuk waktu shalat.
5. Melakukan semua kewajiban di atas dengan cepat dan muwalah (terus-menerus atau kontinyu). Dengan demikian, harus segera menyumbat vagina setelah dibasuh. Setelah itu segera membalut, wudhu dan shalat.

Wanita yang istihadhah tidak boleh mengakhirkan shalat karena alasan apapun, kecuali karena untuk kemaslahatan shalat seperti: menutupi aurat, menunggu jamaah, menjawabi muadzin, melakukan shalat dan melakukan shalat sunnah Qabliyah. Seandainya ia mengakhirkan shalat bukan karena kemaslahatan shalat, maka ini dapat membahayakan dan ia wajib mengulangi semua kewajiban di atas.

6. Wajib melakukan wudhu untuk setiap shalat fardhu. Begitu juga setiap akan shalat fardhu harus memperbarui lagi membasuh vagina, menyumbat dan membalut, menurut qaul ashah. (Tuhfat al-Muhtaj dan Hasyiyah Abdul Hamid juz 1 halaman 393).

Hukum Wanita Istihadhah Melakukan Shalat Sunnah

Wanita istihadhah boleh melakukan shalat sunnah apa saja, baik di dalam waktu atau setelahnya. Tidak dianggap membahayakan keluarnya darah setelah proses pembalutan, kecuali kalau keluarnya darah disebabkan oleh kecerobohan dalam membalut. (Tuhfat al-Muhtâj juz 1 halaman 395).

Darah Istihadhah Itu Dima’fu

Menurut Ibnu Hajar darah istihadhah itu dima’fu, baik sedikit atau banyak. Tetapi, menurut ar-Ramli, yang dima’fu itu cuma darah yang sedikit. ( Tuhfat al-Muhtâj juz 1 halaman 395).

Hukum Terputusnya Darah Istihadhah

Ketika seorang yang istihadhah telah berwudhu, kemudian darah berhenti setelah wudhu atau ketika wudhu atau ketika shalat, maka terdapat perincian sebagai berikut:

1. Apabila waku terhentinya darah cukup dipakai untuk wudhu dan shalat, maka ia wajib mengulangi shalat serta kewajiban-kewajiban lain bersama shalat. Tetapi, apabila masa terhentinya darah tidak cukup untuk dibuat wudhu dan shalat, maka ia tidak terkena kewajiban apapun.

2. Namun, jika (setelah keluarnya darah) ia mempunyai kebiasaan kembalinya keluarnya darah dalam waktu yang dekat (tidak cukup untuk wudhu dan shalat) atau ada pemberitahuan orang yang bisa dipercaya bahwa darah akan datang lagi pada waktu yang dekat, maka (pada saat berhenti itu) ia juga boleh melakukan shalat.

3. Selanjutnya, apabila ternyata darah tidak juga datang kembali dalam waktu yang dekat (sehingga waktu terputusnya darah cukup untuk digunakan wudhu dan shalat), maka wudhu dan shalat yang telah dilakukannya tadi batal. Artinya, ia wajib mengulangi wudhu dan shalatnya, karena ternyata ia menemukan waktu yang cukup untuk wudhu dan shalat pada saat berhentinya darah.( Tuhfat al-Muhtâj dan Hâsyiyah Abdul Hamîd juz 1 halaman 398).

Referensi: (Ta’liq al-Yaqut an-Nafis halaman 29), (Tuhfat al-Muhtaj dan Hasyiyah Abdul Hamid juz 1 halaman 393), (Tuhfat al-Muhtâj juz 1 halaman 395), (Tuhfat al-Muhtâj dan Hâsyiyah Abdul Hamîd juz 1 halaman 398).


Editor: Nasirudin Latif

https://www.laduni.id/post/read/74145/hukum-dan-kewajiban-wanita-istihadhah.html