Hukum Gugat Cerai Suami karena Nafkah Batin

Tidak semua wanita beruntung. Ada yang mengalami kesepian karena suami tidak memenuhi nafkah batin, sehingga kadang gugat cerai dilakukan sebagai langkah terakhirnya. Bagaimana menurut fiqih?
 

Jawaban dari pertanyaan ini dirinci menjadi dua bagian.
 

Pertama, gugat cerai yang dilakukan istri dibolehkan, yaitu jika suami tidak memenuhi nafkah batin disebabkan faktor-faktor tertentu yang membolehkan gugat cerai.
 

Faktor-faktor tersebut sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Al-Ghazali berikut ini:
 

ومهما وقع اليأس عن الوطئ بجب أو عنة أو مرض مزمن ثبت لها الخيار
 

Artinya, “Ketika tidak mampu menjima’ karena alat kelamin terputus, impoten atau sakit kronis, maka ada ketetapan khiyar (memilih menggugat cerai) bagi wanita.” (Al-Wajiz fi Fiqhi Madzhabis Syafi’i, halaman 291).
 

Alat kelamin yang laki-laki terpotong menjadi faktor bolehnya istri menggugat cerai jika memang betul-betul menyebabkan tidak bisa memenuhi hasrat istri. Jika masih bisa, seperti masih ada sisa potongan alat kelamin yang bisa digunakan untuk memenuhi nafkah batin istri, maka gugat cerai itu tidak dibolehkan.
 

Ukuran penis tidak harus utuh dan besar. Kecil pun dari sisa yang terpotong sudah memenuhi syarat untuk tidak boleh dituntut cerai oleh istri, meskipun tidak cukup menjawab hasrat dan keinginan istrinya.
 

Begitu juga sakit, tidak semua bentuk sakit menjadi faktor bolehnya istri melakukan tuntutan cerai. Ada kriteria-kriteria mengikat, yaitu kronis, tidak bisa diharap kesembuhannya, dan berimplikasi tidak bisa melayani hasrat istri.
 

Imam An-Nawawi mengemukakan:
 

فالتعنين مثبت للخيار وكذا الجب إن لم يبق ما يمكن الجماع به – وفي معناه المرض المزمن الذي لا يتوقع زواله ولا يمكن الجماع معه
 

Artinya, “Maka, impoten menetapkan khiyar. Begitu juga kelamin terputus jika tidak ada sisa yang memungkinkan melakukan jima’. Searti dengan itu adalah sakit kronis yang tidak bisa diharap sembuhnya dan tidak bisa melakukan jima’.” (Raudhatut Thalibin, juz V, halaman 528).

 

Selain itu, faktor yang membolehkan istri menggugat cerai adalah jika tidak memenuhi nafkah batin sampai 4 bulan karena suami bersumpah ila’:
 

وإذا حلف ألا يطأ زوجته مطلقا أو مدة تزيد على أربعة أشهر فهو مول. ويؤجل له إن سألت ذلك أربعة أشهر ثم يخير بين الفيئة والتفكير والطلاق فإن امتنع طلق عليه الحاكم
 

Artinya, “Apabila seorang suami bersumpah tidak akan menjima’ istrinya secara mutlak atau dalam waktu lebih dari empat bulan, maka ia suami yang bersumpah ila’. Suami dikasih waktu hingga empat bulan bila istri memintanya dalam waktu tersebut. Kemudian suami disuruh memilih antara bersetubuh, bayar kafarat, dan cerai. Bila suami menolak, maka hakim menceraikannya”. (Abu Syuja’, Fathul Qarib Al-Mujib, halaman 128-129).
 

Kedua, gugat cerai tidak dibolehkan, yaitu jika tidak karena faktor-faktor di atas, seperti karena memang enggan melakukan jima’ sementara suami dalam kapasitas mampu atau bisa melakukan.
 

Imam An-Nawawi menegaskan:
 

إذا اعترفت بقدرته على الوطء وقالت إنه يمتنع منه فلا خيار لها
 

Artinya, ”Jika wanita tahu suaminya mampu melakukan jima’ tapi istri mengatakan suami enggan melakukannya, maka tidak ada hak khiyar bagi istri”. (An-Nawawi, juz V/300).
 

Pendapat yang sama juga dijelaskan dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin. Bahkan dalam kitab ini ditegaskan bahwa itu merupakan konsensus dari ulama fiqih. Bahkan tetap tidak boleh menggugat cerai sekalipun dikhawatirkan terjadi zina.
 

أما الفسخ بتضررها بطول الغيبة وشهوة الوقاع فلا يجوز اتفاقاً وإن خافت الزنا
 

Artinya, “Adapun mengajukan fasakh karena wanita dirugikan dengan ketiadaan suami dalam waktu lama dan ketiadaan jima’, maka ulama sepakat itu tidak boleh, sekalipun khawatir terjadi zina.” (Abdurrahman bin Muhammad Al-Hadhrami, halaman 300).
 

Karena itu, ketika suami enggan melakukan jima’, istri perlu melakukan pendekatan persuasif agar siap melayani. Ajak dengan baik agar hasrat batinnya tersalurkan dengan baik pula, karena hanya cara itulah yang diperkenankan.
 

Imam Ar-Rafi’i mengatakan:
 

ولو امتنع مع القدرة فلا خيار ولكن لها المطالبة بوطأة واحدة على أحد الوجهين لتقرير المهر وتحصيل التحصين 
 

Artinya, ”Jika suami enggan melakukan jima’ sedangkan dia mampu, maka tidak ada khiyar bagi istri. Tapi ia boleh meminta untuk melakukan jima’ satu kali menurut salah satu pendapat untuk menetapkan mas kawin dan menjaga diri istri”. (As-Syarhul Kabir, juz VIII, halaman 162).
 

Ketentuan ini berdasarkan mazhab Syafi’i.
 

Adapun mazhab Maliki dan Hanbali menyebutkan boleh istri menggugat cerai jika suami tidak memenuhi nafkah batin.
 

Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan:
 

واختلف العلماء فيمن كف عن جماع زوجته فقال مالك إن كان بغير ضرورة ألزم به أو يفرق بينهما ونحوه عن أحمد
 

Artinya, ”Ulama beda pendapat tentang orang yang enggan menjima’ istrinya. Menurut Imam Malik jika tanpa darurat, maka ia haruskan menjima’nya atau keduanya ceraikan. Begitu juga menurut Imam Ahmad”. (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, [Riyadh, Dar Thibah: 2005], juz XI, halaman 634).
 

Dalam Kompilasi Hukum Islam dijabarkan bahwa penceraian dapat terjadi karena alasan tertentu, antara lain:

  1. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
  3. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang merugikan pihak lain;
  5. salah satu pihak menderita cacat fisik atau sakit yang mengakibatkan tidak dapat menunaikan kewajibannya sebagai suami atau istri;
  6. antara suami dan istri selalu terjadi perbedaan pendapat dan pertengkaran serta tidak ada lagi harapan untuk hidup rukun kembali dalam rumah tangga;
  7. suami melanggar taklik talak;
  8. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. (Kementerian Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, [2018], halaman 57-58).

 

Dengan demikian dapat disimpulkan, istri diperkenankan menggugat cerai suami jika suami tidak memenuhi nafkah batin disebabkan alat kelamin terputus, impoten atau sakit kronis.
 

Begitu juga jika tidak memenuhinya sampai empat bulan karena suami bersumpah ila’. Berbeda jika ia tidak memenuhinya karena enggan melakukan dalam kapasitas dirinya mampu atau bisa melakukannya, maka gugat cerai tidak boleh dilakukan. Wallahu a’lam.

Ustadz Muqoffi, Guru Pondok Pesantren Gedangan dan Dosen IAI NATA Sampang Madura.

https://islam.nu.or.id/nikah-keluarga/hukum-gugat-cerai-suami-karena-nafkah-batin-rbiXI