Hukum Jual Beli dengan Uang Muka atau DP
Dalam keseharian, seringkali terjadi pembayaran sebagian uang muka atau DP (down payment) pada saat transaksi jual beli, sementara sisanya dibayarkan kemudian. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah transaksi tersebut tetap sah apabila sebagian uang muka belum dibayarkan pada saat akad dilakukan?
Pembahasan akan mengulas pandangan berbagai mazhab mengenai masalah tersebut
.Jika kita melihat kasus tersebut dalam kacamata fiqih, transaksi jual beli dengan uang muka bisa masuk dalam kategori akad salam dan akad bai’. Tiap akad tersebut memiliki konsekuensi hukum, serta peta perbedaan pendapatnya sendiri-sendiri.
Hukum Melalui Akad Salam
Dalil yang digunakan ulama dalam membahas hukum transaksi salam yang hanya membayar sebagian uang muka adalah hadits Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim:
مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ، فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ، وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ، إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Artinya, “Barang siapa yang melakukan salam (pemesanan) kurma, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang jelas, atau timbangan yang jelas, pada waktu yang telah ditentukan.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Kata “Islaf” dalam hadits ditafsirkan sebagai “mendahulukan” (Najib Al-Muthi’i, Takmilatul Majmu’, juz XIII, halaman 144).
Ini menandakan bahwa pembayaran penuh pada saat akad sangat penting untuk menghindari penundaan yang merugikan salah satu pihak (ziyadatul gharar) dan praktik jual beli al-kali’ bil-kali’ atau jual beli utang dengan dibayar utang.
Pandangan mengenai hal ini bervariasi antara mazhab-mazhab fiqih. Dalam mazhab Syafi’i, transaksi salam dianggap batal jika sebagian dari uang muka belum dibayarkan pada saat akad, karena akad salam mensyaratkan agar seluruh uang muka dibayar sekaligus, agar akad dapat dihukumi sah. Imam An-Nawawi menjelaskan:
وَلَوْ تَفَرَّقَا فِي السَّلَمِ وَبَعْضُ رَأْسِ الْمَالِ غَيْرُ مَقْبُوضٍ، أَوْ فِي الصَّرْفِ وَبَعْضُ الْعِوَضِ غَيْرُ مَقْبُوضٍ انْفَسَخَ الْعَقْدُ فِي غَيْرِ الْمَقْبُوضِ. وَفِي الْبَاقِي الطَّرِيقَانِ
Artinya, “Apabila dalam transaksi salam terdapat pemisahan pembayaran dan sebagian dari modal belum diterima, atau dalam transaksi tukar-menukar uang (sarf) terdapat pemisahan dan sebagian dari barang yang dipertukarkan belum diterima, maka akad tersebut batal pada bagian yang belum diterima. Adapun untuk bagian lainnya, terdapat dua pandangan.” (Raudhatut Thalibin, [Beirut, Al-Maktabah Al-Islamiyah: 1991], juz III, halaman 423).
Dalam mazhab Hanbali, pandangannya juga serupa, yaitu jika sebagian uang muka dalam transaksi salam tidak dibayar di saat akad, maka akad dianggap batal pada bagian barang yang belum dibayar. Namun, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa seluruh akad menjadi batal.
Ibnun Najar Al-Futuhi menjelaskan:
وَإِنْ تَأَخَّرَ) ٱلتَّقَابُضُ فِي ٱلصَّرْفِ (فِي بَعْضٍ) مِّنْهُ، أَوْ تَأَخَّرَ قَبْضُ بَعْضِ رَأْسِ مَالِ سَلَمٍ عَنْ مَجْلِسِ عَقْدٍ: (بَطَلَ) أَيِ ٱلصَّرْفُ وَٱلسَّلَمُ (فِيهِ) أَيِ ٱلْبَعْضِ ٱلْمُتَأَخِّرِ (فَقَطْ)؛ لِفَوَاتِ شَرْطِهِ. وَصَحَّ فِيمَا قُبِضَ. بِنَاءً عَلَىٰ تَفْرِيقِ ٱلصَّفْقَةِ. وَفِيهِ وَجْهٌ: يَبْطُلُ فِي ٱلْكُلِّ
Artinya, “(Jika terjadi penundaan) dalam pelaksanaan pembayaran pada transaksi tukar-menukar (sarf) atau penundaan penerimaan sebagian uang muka pada transaksi salam yang dilakukan pada saat akad: (Maka batal) transaksi tersebut pada bagian yang belum diterima. Namun transaksi yang telah diterima tetap sah. Berdasarkan pembagian transaksi. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa seluruh akad menjadi batal.” (Ma’unah Ulin Nuha Syarhul Muntaha, [Makkah, Maktabah Al-Asadi: 2008], juz V, halaman 158).
Mazhab Maliki
Senada dengan mazhab-mazhab sebelumnya, dalam Mazhab Maliki, jika sebagian uang muka tidak dibayar dalam batas waktu tertentu, maka akad salam menjadi batal seluruhnya, sesuai penjelasan Al-Muwaqqi’ Al-Maliki:
قَوْلِهِ: وَتَأْخِيرُ رَأْسِ مَالِ السَّلَمِ، نَصُّ الْمُدَوَّنَةِ إنْ تَأَخَّرَ بَعْضُهُ انْفَسَخَ السَّلَمُ كُلُّه
Artinya, “Ungkapan penulis: ‘Dan menunda modal salam’. Nash kitab Al-Mudawwanah menyatakan: ‘Bila pemesan menunda sebagian modal salam, maka akad salam menjadi menjadi seluruhnya.” (At-Taj wal Iklil li Mukhtasar Khalil, [Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 1994, juz VI, halaman 476).
Namun mazhab Maliki memiliki pandangan berbeda, yaitu memberi batas pembayaran selama tiga hari. Artinya jika uang muka dilunasi dalam waktu tiga hari maka akad salam tersebut hukumnya sah.
يُشْتَرَطُ فِي رَأْسِ مَالِ السَّلَمِ أَنْ يُقْبَضَ بِالْفِعْلِ، فَإِنْ لَمْ يُقْبَضْ بِالْفِعْلِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَأَخَّرَ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ، فَيَجُوزُ تَأْخِيرُهُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ
Artinya, “Disyaratkan pada modal akad salam bahwa ia harus diterima secara langsung. Jika tidak diterima secara langsung, maka tidak boleh ditunda lebih dari tiga hari, sehingga boleh menundanya selama tiga hari.” (Muhammad bin Salim Al-Majlisi, Lawami’ul Durar fi Hatki Asraril Mukhtashar, juz IX, halaman 88).
Konsep Bai’ ‘Urbun Mazhab Hanbali
Bai’ ‘urbun adalah akad jual beli yang mana orang membeli suatu barang, lalu ia memberikan kepada penjual sebagian dari pembayaran barang tersebut. Misalnya satu dirham atau yang lainnya, dengan kesepakatan jika transaksi jual beli dilaksanakan di antara keduanya, maka uang yang telah dibayarkan akan dihitung sebagai bagian dari pembayaran. Namun jika transaksi tidak jadi dilaksanakan, maka uang tersebut dianggap sebagai hadiah dari pembeli untuk penjual.
Menurut tiga mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i, bai’ ‘urbun tidak sah. Namun, dalam mazhab Hanbali sah, sehingga jual beli dengan pembayaran DP yang tidak dikembalikan dapat dianggap sah dengan memasukkan transaksi seperti ini pada bai’ ‘urbun
.Mazhab Hanbali menganggap transaksi seperti ini sah, dan uang yang dibayarkan dianggap sebagai bagian dari harga barang. Al-Mardawi menjelaskan:
الصَّحِيحُ مِنَ المَذْهَبِ، أَنَّ بَيْعَ العُرْبُونِ صَحِيحٌ، وَعَلَيْهِ أَكْثَرُ الأَصْحَابِ، وَنَصَّ عَلَيْهِ
Artinya, “Pendapat yang shahih dalam mazhab Hanbali adalah bahwa jual beli dengan ‘urbun’ (uang muka) sah. Ini adalah pendapat sebagian besar ulama kami. Imam Ahmad menyebutkannya secara terangg-terangan.” (Al-Inshaf fi Ma’rifatir Rajih minal Khilaf, [Kairo, Hajr Press: 1415 H], juz XI, halaman 251).
Menerima pandangan mazhab ini menjadi sangat relevan pada masa sekarang, karena metode transaksi dengan uang muka sudah lazim dilakukan di tengah masyarakat. Salah satunya dijelaskan oleh Syaikh Musthafa Az-Zarqa:
وَمِنَ ٱلْمَعْلُومِ أَنَّ طَرِيقَةَ ٱلْعُرْبُونِ هِيَ وَثِيقَةُ ٱلِٱرْتِبَاطِ ٱلْعَامَّةُ فِي ٱلتَّعَامُلِ ٱلتِّجَارِيِّ فِي ٱلْعُصُورِ ٱلْحَدِيثَةِ، وَتَعْتَمِدُهَا قَوَانِينُ ٱلتِّجَارَةِ وَعُرْفُهَا، وَهِيَ أَسَاسٌ لِطَرِيقَةِ ٱلتَّعَهُّدِ بِتَعْوِيضِ ضَرَرِ ٱلْغَيْرِ عَنِ ٱلتَّعَطُّلِ وَٱلِٱنْتِظَارِ
Artinya, “Telah diketahui bahwa metode ‘urbun adalah ikatan umum dalam interaksi perdagangan di era modern, yang diterapkan dalam undang-undang perdagangan serta adatnya. Metode ini juga menjadi dasar dalam mekanisme penjaminan untuk mengompensasi pihak lain atas kerugian yang diakibatkan oleh penundaan dan waktu tunggu.” (Syaikh Mustafa az-Zarqa, Al-Madkhal al-Fiqhi al-‘Aam, Jilid I, halaman 495).
Kesimpulannya, jual beli dengan uang muka atau DP, dapat dilihat dalam dua sudut pandang:akad salam dan akad bai’ ‘urbun.
- Dalam konsep akad salam, ulama Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa jika sebagian uang muka belum diterima saat akad, maka akad tersebut batal pada bagian yang belum dibayar. Di sisi lain, mazhab Maliki memberikan kelonggaran dengan mengizinkan pembayaran dalam waktu tiga hari agar akad tetap sah.
- Dalam konsep akad bai’ ‘urbun, yang mirip dengan pembayaran DP di zaman modern, mayoritas mazhab membatalkan praktik ini, sementara mazhab Hanbali memperbolehkan. Metode ‘urbun ini, dalam interaksi perdagangan modern, dinilai sebagai bentuk ikatan dalam transaksi, yang juga memberikan jaminan kepada salah satu pihak atas kerugian waktu dan penundaan. Wallahu a’lam.
Ustadz Ahmad Maimun Nafis, Pengajar di Pondok Pesantren Darul Istiqamah Batuan, Sumenep.
https://islam.nu.or.id/syariah/hukum-jual-beli-dengan-uang-muka-atau-dp-FpSoY