Hukum Jual Beli Sepatu dari Kulit Babi

Assalamu’alaikum wr. wb, izin bertanya, apa hukumnya jual beli sepatu dari bahan kulit babi? Terima kasih (@nadiaalvita_r)

 

Jawaban

 

Wa’alaikumussalam wr. wb. Terima kasih kami sampaikan atas pertanyaannya, semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah swt. Amin.

 

Berkaitan dengan pertanyaan yang telah disampaikan, secara garis besar, menurut mayoritas ulama, termasuk Syafi’iyah, hukum jual beli sepatu dari bahan kulit babi adalah tidak sah, karena di antara syarat sahnya jual beli adalah barang yang dijual harus suci, sedangkan kulit babi dihukumi najis dan tidak dapat disucikan dengan cara apapun. 

 

Dalam kajian fiqih, akad jual beli memiliki beberapa ketentuan agar dapat dihukumi sah, di antaranya adalah barang yang diperjualbelikan harus suci, bukan berupa benda najis. Hukum jual beli benda najis adalah tidak sah meskipun memungkinkan untuk disucikan, seperti halnya khamr dan kulit bangkai.

 

وَلَا يَصِحُّ بَيْعُ عَيْنٍ نَجِسَةٍ ) سَوَاءٌ أَمْكَنَ تَطْهِيرُهَا بِالِاسْتِحَالَةِ كَجِلْدِ الْمَيْتَةِ أَمْ لَا كَالسِّرْجِينِ وَالْكَلْبِ وَلَوْ مُعَلَّمًا وَالْخَمْرِ وَلَوْ مُحْتَرَمَةً

 

Artinya “(Tidak boleh menjual barang najis) baik itu memungkinkan untuk disucikan dengan istihalah (merubah sifatnya), seperti kulit bangkai, atau tidak, seperti kotoran, anjing, meskipun terlatih, dan arak, meskipun dimuliakan (dengan tujuan dibuat cuka).” (Muhammad Khathib Asy-Syarbini, Al-Iqna’ [Yordania: Muassasah Al-warraq, 1860] juz I, halaman 366)

 

Agar sah untuk diperjualbelikan, kulit binatang yang dijadikan bahan sepatu atau asesoris lainnya harus dalam keadaan suci, yaitu berupa kulit binatang halal yang telah disembelih secara syar’i, atau kulit bangkai binatang yang telah disamak selain anjing dan babi.  

 

Imam Syafi’i dalam qaul jadid-nya menyatakan bahwa kulit binatang yang telah disamak boleh untuk diperjualbelikan. Pendapat ini juga didukung oleh Imam Abu Hanifah dengan alasan karena kulit tersebut telah menjadi suci sehingga boleh untuk diperjual-belikan sebagaimana benda-benda suci lainnya. 

 

Dalam kitab Al-Hawi disebutkan:

 

فَأَمَّا بَعْدَ الدِّبَاغَةِ فَفِي جَوَازِ بَيْعِهِ وَرَهْنِهِ قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا : وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْقَدِيمِ لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ ، وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ : إِنَّ بَيْعَهُ جَائِزٌ لِأَنَّهُ جِلْدٌ طَاهِرٌ فَجَازَ بَيْعُهُ 

 

Artinya: “Adapun setelah penyamakan, ada dua pendapat mengenai kebolehan menjual dan menggadaikannya: pendapat pertama yaitu qaul qadim, mengatakan tidak boleh menjualnya. Pendapat kedua yaitu qaul jadid dan menjadi pendapat dari Abu Hanifah: Dibolehkan menjualnya karena itu kulit yang suci, maka diperbolehkan menjualnya”. (Abul Hasan Ali Al-Mawardi, Al-Hawil Kabir [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiah, 2017] juz II, halaman 65)

 

Kulit babi memungkinkan untuk disucikan?

Dalam madzhab Syafi’iyah sudah jelas bahwa kulit babi tidak mungkin untuk disucikan, termasuk dengan cara disamak, yaitu dengan cara menghilangkan penyebab bau bacin pada kulit bangkai seperti darah, dengan menggunakan barang yang kesat seperti kayu trengguli dan kotoran burung dara, kemudian dibasuh. Cara ini dapat menyucikan kulit bangkai selain anjing dan babi. 

 

Namun, secara luas, dalam permasalahan kulit babi ini terdapat perbedaan pendapat diantara ulama. Diantaranya, ada yang mengatakan hukumnya suci. Dalam kitab Syarah An-Nawawi ‘ala Muslim (Kairo: Mathba’ah Al-Mishriyah, 1929) juz IV, halaman 54, Imam An-Nawawi menjelaskan secara Panjang terkait perselisihan ulama dalam kesucian kulit binatang yang disamak, sebagai berikut:

 

Para ulama berbeda pendapat mengenai penyamakan kulit bangkai dan kesuciannya melalui penyamakan, berdasarkan tujuh mazhab:

 

Mazhab pertama adalah mazhab Syafi’i, bahwa semua kulit hewan mati dapat disucikan melalui penyamakan, kecuali anjing, babi, dan anak yang lahir dari salah satu anjing dan babi bersama hewan yang lain. Kulit luar dan dalam dapat disucikan dengan cara penyamakan, dan diperbolehkan menggunakannya pada benda cair dan kering. Dalam mazhab ini tidak ada perbedaan antara hewan yang halal dimakan dengan yang tidak halal (semuanya dapat disamak). Mazhab ini diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud ra. 

 

Mazhab kedua menyatakan bahwa tidak ada satupun kulit hewan yang bisa disucikan dengan penyamakan, pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Khattab, putranya Abdullah, dan Aisyah ra. Ini adalah riwayat yang lebih masyhur dari dua riwayat imam Ahmad bin Hanbal, dan salah satu dari dua riwayat imam Malik.

 

Mazhab ketiga menyatakan bahwa kulit hewan yang dapat disucikan dengan disamak hanya kulit hewan yang halal dimakan, selain itu tidak dapat disucikan. Ini adalah pendapat dari Al-Awza’i, Ibnu Mubarak, Abi Tsaur, dan Ishaq bin Rahawayh. 

 

Mazhab keempat menyatakan bahwa semua kulit hewan mati dapat disucikan kecuali babi, dan ini adalah pendapat dari Abu Hanifah.

 

Mazhab kelima menyatakan bahwa semua kulit hewan mati dapat disucikan tanpa terkecuali. Hanya saja kesucian itu pada bagian luarnya saja, tidak bagian dalamnya, dan hanya dapat digunakan pada hal-hal yang kering, bukan pada hal-hal yang basah. Boleh shalat di atasnya, tidak boleh di dalamnya (seperti dijadikan pakaian). Ini adalah pendapat imam Malik yang masyhur yang dikisahkan dari para murid-muridnya. 

 

Mazhab keenam menyatakan semuanya dapat menjadi suci, termasuk kulit anjing dan babi, baik bagian luar maupun bagian dalamnya. Ini adalah pendapat Dawud dan pengikut Mazhab Dzahiri, dan juga diriwayatkan oleh Abu Yusuf. 

 

Mazhab ketujuh menyatakan bahwa kulit hewan yang mati, semuanya dapat dimanfaatkan tanpa harus disamak, dan boleh digunakan dalam hal-hal yang basah maupun yang kering. Ini adalah pendapat Az-Zuhri, dan ini merupakan pendapat syadz (bertentangan dengan kaidah Islam) dari sebagian murid Syafi’iyah, pendapat ini tidak dapat dikembangkan dan tidak dianggap.

 

Dari tujuh pendapat di atas, jelas bahwa mayoritas ulama menyatakan bahwa kulit babi tidak mungkin untuk disucikan dengan cara apapun, termasuk dengan disamak, sehingga jual belinya dihukumi tidak sah. 

 

Oleh karena itu, sudah sepatutnya bagi seorang muslim untuk tidak memperjual-belikan barang-barang yang terbuat dari bahan kulit babi seperti yang ditanyakan. Apalagi menggunakan sepatu dari kulit babi juga berisiko besar karena hukum najis mughalladhah-nya. 

 

Meski demikian, jika barang-barang najis tersebut benar-benar diperlukan dan dianggap bermanfaat, maka dapat dilakukan pemindahan kekuasaan atau kepemilikan (naqlul yad) tanpa diakadi jual beli. Seperti pernyataan “aku lepaskan hakku pada barang ini dengan dibayar sekian…” kemudian yang lain menjawab “aku terima”.  

 

Dalam kitab Al-Bajuri disebutkan:

 

وَيَجُوْزُ نَقْلُ الْيَدِ عَنِ النَّجَسِ بِالدَّرَاهِمِ كَمَا فِي النُّزُوْلِ عَنِ الْوَظَائِفِ وَطَرِيْقُهُ أَنْ يَقُوْلَ الْمُسْتَحِقُّ لَهُ أَسْقَطْتُ حَقِّي مِنْ هَذَا بِكَذَا فَيَقُوْلُ الْآخَرُ قَبِلْتُ

 

Artinya: “Boleh memindahkan kekuasaan dari benda yang najis dengan imbalan dirham, sebagaimana halnya dalam hal pemindahan hak bekerja. Caranya yaitu orang yang berhak mengatakan, ‘Saya melepaskan hak saya dari benda ini dengan bayaran sekian..’, kemudian yang lainnya berkata, ‘Saya menerima’.” (Ibrahim Al-Bajuri, Hasyiah Ibrahim Al-Bajuri [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiah, 2017] juz I, halaman 657)

 

Dari kajian di atas, menurut mayoritas ulama termasuk madzhab Syafi’iyah bahwa hukum jual beli sepatu dari bahan kulit babi adalah tidak sah, karena dihukumi najis. Oleh karena itu, bagi seorang muslim sebaiknya tidak membeli dan menggunakan sepatu tersebut. Terlebih hal ini akan berdampak terhadap keabsahan ibadah serta kesucian barang-barang yang bersentuhan dengannya. Wallahu a’lam.

 

Ustadz Muhammad Zainul Millah, Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar

https://islam.nu.or.id/bahtsul-masail/hukum-jual-beli-sepatu-dari-kulit-babi-0xbz4