LADUNI.ID, Jakarta – Islam sebagai agama tidak hanya melulu mengajarkan berbagai hal yang bersifat keTuhanan (hablum minallah)
yang menggambarkan relasi antara Allah sebagai Khaliq dan Manusia sebagai Makhluq. Tetapi juga masalah social (hablum minan nas),
yang erat hubungannya dengan haqqul adami. Termasuk di dalamnya adalah tata cara merawat dan menggunakan tanah kuburan milik umum yang luasnya sangat terbatas sekali.
Hal ini sering kali di salah fahami oleh sebagian masyarakat. Mereka menganggap bahwa tanah kuburan milik umum yang di dalamnya terpendam jasad keluarganya,
seringkali disalah artikan sebagai tanah milik keluarga. Entah karena merasa membayar ketika mengkuburkan atau karena tradisi yang berlaku di lingkungan masyarakat atau karena alasan lain.
Oleh karena itu, seringkali ditemukan usaha untuk merenovasi (memperbaiki) batu nisan dan kijingnya ketika dianggap telah rusak atau usang. Seolah mereka lupa bahwa tanah kuburan itu adalah milik umum.
Dan renovasi itu sebenarnya dapat menghalangi orang lain untuk menyemayamkan mayat di kuburan tersebut.
Minimal mengurangi kesempatan orang lain memanfaatkan luas kuburan umum yang terbatas itu.
Dengan kata lain, perwujudan batu nisan dan kijing yang permanen itu terlalu banyak memanfaatkan fasilitas umum.
Mengenai hal ini, Syaikh Syihabuddin Ar-Ramli dalam Nihayatul Muhtaj dan juga Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari dalam Fathul Wahab menerangkan bahwa, segala upaya yang dianggap menghalangi pemanfaatan fasilitas umum di larang oleh agama. Dalam hal ini, haram hukumnya memperbarui ataupun membuat perangkat kuburan yang permanen, karena dapat menghalangi orang lain mengkuburkan jenazah.
Dengan catatan mayat yang ada dalam kubur itu telah rusak. Para ahli berpendapat bahwa sebuah mayat dapat bertahan hingga 15 tahun hingga 25 tahun.
Ada pula yang bertahan hingga 70 tahun, perbedaan ini berdasarkan pada perbedaan iklim suatu daerah tertentu.
Adapun keterangan dalam Kitab Nihyatul Muhtaj adalah sebagai berikut:
أَمَّا بَعْدَ الْبَلاَءِ عِنْدَ مَنْ مَرَّأَي مِنْ أَهْلِ الْخِبْرَةِ فَلاَ يَحْرُمُ النَّبْشُ بَلْ تَحْرُمُ أَمَارَتُهُ وَ تَسْوِيَةُ تُرَابٍ عَلَيْهِ إِذَا كَانَ فِي مَقْبَرَةٍ مُسَبَّلَةٍ لإِمْتِنَاعِ النَّاسِ مِنَ الدَّفْنِ فِيْهِ لِظَنِّهِم بِهِ عَدَمَ الْبَلِى.
“Adapun jenazah yang sudah hancur sesuai dengan perkiraan para ahli yang sudah berpengalaman tidak diharamkan untuk digali kembali, bahkan diharamkan membangun bangunan dan meratakan (mengecor) tanah di atasnya jika berada di kuburan yang landai, karena itu bisa menghalangi orang lain untuk menguburkan (jenazah lain), karena mereka menyangka (jenazah yang pertama) belum hancur”. (Syaikh Syihabuddin Ar-Ramli, Kitab Nihayatul Muhtaj).
Adapun ibaroh dalam Kitab Fathul Wahhab adalah sebagai berikut:
أَمَّا بَعْدَ الْبَلِى فَلاَ يَحْرُمُ نَبْشُهُ أَي الْمَيِّتِ بَلْ تَحْرُمُ عِمَارَتُهُ وَ تَسْوِيَةُ التُّرَابِ عَلَيْهِ لِئَلاَّ يَمْتَنِعَ النَّاسُ مِنَ الدَّفْنِ فِيْهِ لِظَنِّهِمْ عَدَمَ الْبَلِيِّ.
“Sedangkan jenazah yang telah hancur maka tidak haram digali, bahkan yang diharamkan adalah membangun, meratakan (mengecor) tanah di atasnya agar tidak menghalangi orang lain menguburkan (jenazah lain)
karena menyangka (jenazah yang semula) belum hancur” (Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari, Kitab Fathul Wahhab,Juz I,h.118.)
Kuburan tidak boleh dibangun, baik dengan semen (cor) ataupun yang lainnya, demikian juga tidak boleh menulisinya. Karena ada hadist yang shahih dari Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam yang melarang membangun kuburan dan menulisinya.
Dari Sahabat Umair bin Sa’ad bahwa Sa’ad bin Abu Waqqash radliyallahu ‘anhu berkata ketika beliau sakit menjelang ajalnya,
أَلْحِدُوا لِيْ لَحْدًا, وَانْصِبُوا عَلَيَّ اللبِنَ نَصْبًا, كَمَا صُنِعَ بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّم.
“Galilah lahad untuk kuburku dan dirikan atau tancapkan batu bata dia atas kuburku sebagaimana yang diberlakukan pada kubur Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Imam Muslim).
Sahabat Jabir bin Abdullah berkata :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ، وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya”. (Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 970, Imam Abu Dawud no. 3225, Imam At-Tirmidzi no. 1052, Imam An-Nasa’I dan yang lainnya).
Larangan membangun kubur ini kemudian diteruskan oleh para ulama madzhab.
Madzhab Syaafi’iyyah, maka Muhammad bin Idriis Asy-Syafi’i rahimahullah berkata :
وأحب أن لا يبنى ولا يجصص فإن ذلك يشبه الزينة والخيلاء وليس الموت موضع واحد منهما ولم أر قبور المهاجرين والانصار مجصصة …… وقد رأيت من الولاة من يهدم بمكة ما يبنى فيها فلم أر الفقهاء يعيبون ذلك
“Dan aku senang jika kubur tidak dibangun dan tidak dikapur/disemen, karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan. Orang yang mati bukanlah tempat untuk salah satu di antara keduanya. Dan aku pun tidak pernah melihat kubur orang-orang Muhaajiriin dan Anshaar dikapur….. Dan aku telah melihat sebagian penguasa meruntuhkan bangunan yang dibangunan di atas kubur di Makkah, dan aku tidak melihat para fuqahaa’ mencela perbuatan tersebut” [Kitab Al-Umm, 1/316].
Adapun madzhab Hanafiyyah, berikut perkataan Muhammad bin Al-Hasan rahimahullah :
أَخْبَرَنَا أَبُو حَنِيفَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا شَيْخٌ لَنَا يَرْفَعُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنْ تَرْبِيعِ الْقُبُورِ، وَتَجْصِيصِهَا “. قَالَ مُحَمَّدٌ: وَبِهِ نَأْخُذُ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Hanifah, beliau berkata : Telah menceritakan kepada kami seorang syaikh kami yang memarfu’kan riwayat sampai pada Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bahwasannya beliau melarang untuk membangun dan mengapur atau menyemen kubur. Muhammad bin Al-Hasan rahimahullah berkata : Dengannya kami berpendapat, dan ia juga merupakan pendapat Abu Haniifah” [Al-Aatsaar no. 257].
Ibnu ‘Aabidiin Al-Hanafiy rahimahullah berkata :
وَأَمَّا الْبِنَاءُ عَلَيْهِ فَلَمْ أَرَ مَنْ اخْتَارَ جَوَازَهُ…. وَعَنْ أَبِي حَنِيفَةَ : يُكْرَهُ أَنْ يَبْنِيَ عَلَيْهِ بِنَاءً مِنْ بَيْتٍ أَوْ قُبَّةٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ
“Adapun membangun di atas kubur, maka aku tidak melihat ada ulama yang memilih pendapat membolehkannya….. Dan dari Abu Haniifah : Dibenci membangun bangunan di atas kubur, baik berupa rumah, kubah, atau yang lainnya” [Raddul-Mukhtaar, 6/380].
Madzhab Malikiyyah, maka Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata :
أَكْرَهُ تَجْصِيصَ الْقُبُورِ وَالْبِنَاءَ عَلَيْهَا
“Aku membenci mengapur atau menyemen kubur dan bangunan yang ada di atasnya” [Al-Mudawwanah, 1/189].
Al-Qurthubiy rahimahullah berkata :
فاتخاذ المساجد على القبور والصلاة فيها والبناء عليها، إلى غير ذلك مما تضمنته السنة من النهي عنه ممنوع لا يجوز
“Membangun masjid-masjid di atas kubur, shalat di atasnya, membangun bangunan di atasnya, dan yang lainnya termasuk larangan dari sunnah, tidak diperbolehkan” [Tafsir Al-Qurthubiy, 10-379].
Madzhab Hanabilah, maka Ibnu Qudamah rahimahullah berkata :
ويكره البناء على القبر وتجصيصه والكتابة عليه لما روى مسلم في صحيحه قال : [ نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم أن يجصص القبر وأن يبنى عليه وأن يقعد عليه ] – زاد الترمذي – [ وأن يكتب عليه ] وقال : هذا حديث حسن صحيح ولأن ذلك من زينة الدنيا فلا حاجة بالميت إليه
“Dan dibenci bangunan yang ada di atas kubur, mengkapurnya, dan menulis tulisan di atasnya, berdasarkan riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya : ‘Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya’.
Imam At-Tirmidzi menambahkan : ‘Dan menulis di atasnya’, dan beliau berkata : ‘Hadis hasan shahih’. Karena itu semua merupakan perhiasan dunia yang tidak diperlukan oleh si mayit” [Kitab Al-Mughniy].
Al-Bahutiy Al-Hanbaliy rahimahullah berkata :
ويحرم اتخاذ المسجد عليها أي: القبور وبينها لحديث أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لعن الله اليهود اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد. متفق عليه
“Dan diharamkan menjadikan masjid di atas kubur, dan membangunnya berdasarkan hadis Sahabat Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : ‘Allah melaknat orang Yahudi yang telah menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid-masjid’. Muttafaqun ‘alaih” [Kasysyaful-Qinaa’, 3/774].
Imam Al-Mawardi rahimahullah berkata :
وَأَمَّا الْبِنَاءُ عَلَيْهِ : فَمَكْرُوهٌ ، عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ ، سَوَاءٌ لَاصَقَ الْبِنَاءُ الْأَرْضَ أَمْ لَا ، وَعَلَيْهِ أَكْثَرُ الْأَصْحَابِ قَالَ فِي الْفُرُوعِ : أَطْلَقَهُ أَحْمَدُ ، وَالْأَصْحَابُ
“Adapun bangunan di atas kubur, hukumnya makruh berdasarkan pendapat yang shahih dari madzhab (Hanabilah), sama saja, apakah bangunan itu menempel tanah ataukah tidak.
Pendapat itulah yang dipegang kebanyakan shahabat Imam Ahmad.
Dalam kitab Al-Furuu’dinyatakan : Imam Ahmad dan shahabat-shahabatnya memutlakkan (kemakruhan)-nya” [Al-Inshaaf, 2/549].
Madzhab Dhaahiriyyah, maka Ibnu Hazm rahimahullah berkata :
مَسْأَلَةٌ: وَلاَ يَحِلُّ أَنْ يُبْنَى الْقَبْرُ, وَلاَ أَنْ يُجَصَّصَ, وَلاَ أَنْ يُزَادَ عَلَى تُرَابِهِ شَيْءٌ, وَيُهْدَمُ كُلُّ ذَلِكَ
“Permasalahan : Dan tidak dihalalkan kubur untuk dibangun, dikapur/disemen, dan ditambahi sesuatu pada tanahnya. Dan semuanya itu (bangunan, semenan, dan tanah tambahan) mesti dirobohkan” [Al-Muhallaa, 5/133].
Dengan demikian, yang diajarkan oleh Islam tentang kuburan, adalah meninggikannya sekitar satu jengkal dan meletakkan batu nisan sebagai tanda bahwa di tempat itu ada kuburan,
hingga tidak terjadi penghinaan kepada kuburan seperti diinjak, diduduki, dijadikan tempat untuk membuang kotoran dan sebagainya.
Adapun menembok dan mendirikan bangunan di atasnya adalah hal yang dilarang.
Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
” Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam melarang menyemen kubur, duduk di atasnya dan membangunnya.” (HR. Imam Muslim)
Kalau kita perhatikan, memang kebanyakan makam para tokoh memang ditembok tinggi seperti maqam Al-Imam Asy-Syafi’i di Mesir, demikian juga Kuburan Imam Al-Bukhari pun ditinggikan,
As-Subki menyatakan: “Adapun tentang tanah (kuburan), mereka telah meninggikan tanah kuburannya sehingga nampak menonjol.
Kuburan Imam Ahmad bin Hanbal (wafat tahun 241 H) juga dibuat menonjol dan masyhur menjadi tujuan ziarah para penziarah.
Dan demikian juga tokoh-tokoh islam lainnya, kubur mereka rata-rata dditinggikan dan diberi tulisan pengenal.
Demikian juga kubur Sahabat Abu Ayyub Al-Anshari, bahkan kubur Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam dan dua sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar.
Sebenarnya, tidaklah bijak kita terlalu meributkan masalah ini. Lagian, kan cuma makam, sama sekali tidak ada nilai ibadah ritualnya. Kalau pun ada nilainya,
lebih kepada nilai sejarah dari perjuangan para ulama’ yang telah dimakamkan tersebut. Jika memang kita menemui adanya praktik yang menyimpang dari ziarah kubur, praktik tersebutlah yang harus kita benahi.
Meskipun kita lebih cendrung memilih pendapat yang membolehkan memberikan tanda kubur dengan adanya gundukan dan tulisan, tetapi kalau kita kembalikan kepada bentuk idealnya, mungkin yang paling ideal adalah seperti kubur para shahabat Nabi di Makkah atau di Madinah. Semua makam jadi satu, tanpa nisan, tanpa tanda apapun. Yang ada cuma gundukan pasir dan tanah saja.
Itu yang paling ideal, sebagai bentuk implementasi dari hadis-hadis yang tidak membolehkan adanya bangunan di atas kuburan. Wallahua’lam
Sumber : Kitab Nihyatul Muhtaj, (Karya Syaikh Syihabuddin Ar-Ramli), Kitab Fathul Wahhab (Karya Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari)
KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-1 Di Surabaya Pada Tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H. / 21 Oktober 1926 M.
___________
Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada Sabtu, 9 Juni 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan.
Editor : Sandipo
Senin Legi, 15 Mei 2023
Senin : 4
Legi : 5
https://www.laduni.id/post/read/27452/hukum-memperbaharui-nisan-dalam-kuburan-umum.html