Hukum Menyatukan Niat Kurban dengan Aqiqah Menurut Imam Hajar Al-Haitami

Laduni.ID, Jakarta – Untuk mengatur keuangan, ada kalanya orang yang akan berkurban berpikiran terhadap hewan kurban yang sudah dibeli, untuk digabungkan saja niatnya dengan niat aqiqah, karena kebetulan salah satu anaknya ada yang belum diaqiqahkan sewaktu bayi. Namun pertanyaannya, apakah itu diperbolehkan?

Ibn Hajar al-Haitami, salah seorang ulama mazhab Syafii pernah membahas persoalan ini. Dalam kitab kumpulan fatwanya, al-Fataawa al-Fiqhiyyah al-Kubra ia menyatakan:

وَسُئِلَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى عن ذَبْحِ شَاةٍ أَيَّامَ الْأُضْحِيَّةِ بِنِيَّتِهَا وَنِيَّةِ الْعَقِيقَةِ فَهَلْ يَحْصُلَانِ أو لَا اُبْسُطُوا الْجَوَابَ فَأَجَابَ نَفَعَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِعُلُومِهِ بِقَوْلِهِ الذي دَلَّ عليه كَلَامُ الْأَصْحَابِ وَجَرَيْنَا عليه مُنْذُ سِنِينَ أَنَّهُ لَا تَدَاخُلَ في ذلك لِأَنَّ كُلًّا من الْأُضْحِيَّةِ وَالْعَقِيقَةِ سُنَّةٌ مَقْصُودَةٌ لِذَاتِهَا وَلَهَا سَبَبٌ يُخَالِفُ سَبَبَ الْأُخْرَى وَالْمَقْصُودُ منها غَيْرُ الْمَقْصُودِ من الْأُخْرَى إذْ الْأُضْحِيَّةُ فِدَاءٌ عن النَّفْسِ وَالْعَقِيقَةُ فِدَاءٌ عن الْوَلَدِ إذْ بها نُمُوُّهُ وَصَلَاحُهُ وَرَجَاءُ بِرِّهِ وَشَفَاعَتِهِ

“(Al-Imam Ibn Hajar al-Haitami) pernah ditanya tentang hukum menyembelih kambing pada hari-hari berkurban, dengan menggabungkan niat qurban dan aqiqah. Apakah keduanya menjadi sah atau tidak (dengan satu ekor kambing saja). Beliau semoga Allah SWT mencurahkan manfaat dengan ilmu-ilmunya menyatakan bahwa yang dimaksud oleh para Ashhaab al-Syafi’i (ulama-ulama mazhab Syafi’i) dan yang kami lakukan sejak bertahun-tahun adalah keduanya tidak bisa digabungkan.

Karena, kurban dan aqiqah itu masing-masing adalah kesunahan yang niat dan penyebab dilakukannya masing-masing berbeda. Kurban tujuannya adalah penebusan untuk jiwa, sementara aqiqah itu “penebusan” untuk anak. Karena dengan tebusan untuk anak ini, diharapkan ia dapat tumbuh dengan baik serta mendapatkan kebaikan dan syafaat.” (al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra: 4/256 dan Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj)

Berdasarkan fatwa diatas, kurban dan aqiqah tidak bisa disatukan niatnya, karena tidak bisanya disatukan antara niat kurban dengan niat akikah. Perdebatan lahir dari perbedaan tentang bolehkah melakukan satu ibadah untuk dua tujuan (Tashriiku al-Niyyah fi al-‘Ibaadah).

Masih menurut Ibn Hajar al-Haitami dikarenakan satu ekor kambing hanya mewakili satu orang, dan tidak bisa melakukan dua ibadah sekaligus. Berbeda jika kita memotong satu ekor sapi, yang memang bisa mewakili 7 orang. 7 orang ini disebut sebagai tujuh niat, sehingga jika ada orang yang memotong seekor sapi dengan niat berkurban, aqiqah anak perempuan, dan 5 kafarat maka kurban dan aqiqah ini menjadi sah hukumnya.

Jika kondisi ekonomi memang menjadi alasan untuk melakukan kurban dan aqiqah secara bersamaan, maka sebaiknya orang tua mendahulukan aqiqah terlebih dahulu. Karena meskipun keduanya adalah ibadah sunah yang bertujuan mensyukuri karunia Allah, namun Islam tidak membebani penganutnya untuk melakukan hal yang diluar kemampuannya.

Menarik mencermati fatwa dalam Mazhab Hanabilah yang menyatakan kalau seorang anak telah mencapai usia 7 hari pada hari raya idul adha, maka orangtua boleh memilih antara aqiqah dan berkurban. Jika aqiqah yang dipilih, ia tidak perlu berkurban lagi, begitupun sebaliknya. Ini dianalogikan dengan orang yang niat mandi sunnah di hari yang bertepatan antara shalat Jumat dan salat ied. (Kasshafu al-Qinaa’: 3/29).

Tujuan aqiqah adalah agar seorang anak didoakan agar tumbuh menjadi seorang anak yang sholeh. Dan orangtua mensyukuri kelahirannya, dengan “menggadai” anaknya ini lewat berbagi rezeki dengan menyembelih hewan aqiqah. Sementara kurban bisa ditujukan tidak hanya untuk anak, namun juga bagi orang dewasa. Jika anak sudah diaqiqahkan, ia tidak lagi punya “hutang” akikah di usia dewasanya, tapi cukup berqurban jika mampu.


Referensi: Al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra: 4/256 dan Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj)

https://www.laduni.id/post/read/80782/hukum-menyatukan-niat-kurban-dengan-aqiqah-menurut-imam-hajar-al-haitami.html