Hukum Nafkah dalam Pernikahan Sirri

Laduni.ID, Jakarta – Pernikahan adalah ikatan sakral yang tidak hanya menjadi simbol cinta, tetapi juga membawa tanggung jawab besar bagi kedua belah pihak. Salah satu kewajiban utama dalam pernikahan adalah nafkah, yang menjadi hak istri dan kewajiban suami.

Namun, bagaimana hukum nafkah dalam konteks pernikahan sirri, sebuah pernikahan yang sering kali dilakukan tanpa pencatatan resmi di hadapan negara? Apakah suami tetap berkewajiban memberikan nafkah meskipun pernikahan ini dianggap “tidak tercatat” secara administratif? 

Oleh karena itu pernikahan sirri kerap memunculkan kontroversi di masyarakat awam, baik dalam aspek hukum agama maupun hukum negara.

Di satu sisi, pernikahan ini sah secara agama selama memenuhi rukun dan syarat nikah. Namun di sisi lain, ketiadaan pencatatan resmi sering kali memunculkan berbagai persoalan, termasuk soal keabsahan hak istri atas nafkah.

Pada hakikatnya, dalam sisi akad, nikah sirri tidak berbeda dengan nikah biasa pada umumnya. Adapun yang membedakan hanyalah pernikahan sirri belum diakui atau dicatat oleh pemerintah setempat (KUA). Dengan demikian, nafkahnya sudah dihukumi wajib bila istri telah memasrahkan dirinya pada suami atau sudah mau diajak berhubungan intim (tamkin) dan patuh ketika diajak pindah atau bertempat tinggal bersama. Kalau hanya sekedar akad saja, tapi belum tamkin, maka masih belum wajib memberikan nafkah.

Keterangan tersebut bisa dilihat dalam kitab

https://www.laduni.id/post/read/526347/hukum-nafkah-dalam-pernikahan-sirri.html