Hukum Tasyakuran Haji (Walimah Safar)

LADUNI.ID, Jakarta – Sebelum berangkat haji, para calon jamaah haji biasanya melakukan walimahan, tasyakuran atau selamatan. Tradisi ini kelihatannya sudah membumi di Indonesia. Hampir di semua daerah ditemukan tradisi ini, meskipun dengan nama yang berbeda-beda. Secara umum mereka menyebutnya walimah safar.

Walimah pada dasarnya hanyalah walimah nikah saja. Lalu para ulama memahami makna syukur itu sangatlah luas dan banyak sekali. Sehingga terkait walimah sebenarnya yang wajib hadir ketika diundang hanyalah walimah nikah saja, selebihnya adalah Sunnah. Semakin kesini walimah itu digunakan sebagai ungkapan syukur kepada Allah. Ada Walimah Safar, walimah khitan, dan seterusnya. Senada dengan apa yang disampaikan dalam Al Quran Surat Ibrahim ayat 7,

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ (٧)

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nimat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.

Sehingga dengan adanya kabar gembira, kita sebagai muslim tidak hanya diam, tetapi juga mewujudkan rasa syukur dengan berbagi kebahagiaan. Hal ini diperbolehkan. Tetapi hal seperti ini perlu digaris bawahi dengan tidak memaksa keadaan dan kemampuan. Di dalam kultur budaya ketika ada yang memberatkan atau tidak sesuai dengan kemampuan maka patutnya menyesuaikan dengan kemampuan, tidak memaksakan.

Istilah tasyakuran haji memang jarang ditemukan dalam litaratur fikih. Tapi sebenarnya ada istilah yang hampir mirip, yaitu naqi’ah. Hanya saja, istilah naqi’ah secara spesifik digunakan untuk menyambut kedatangan musafir, terutama yang balik dari perjalanan jauh semisal haji. Masyarakat menyambutnya dengan mengadakan walimah atau acara selamatan makan-makan. Naqi’ah ini bisa diadakan oleh musafir itu sendiri atau masyarakat yang menyambutnya.

Al-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab berpendapat:

يستحب النقيعة وهي طعام يعمل لقدوم المسافر ويطلق على ما يعمله المسافر القادم وعلى ما يعمله غيره له

Artinya, “Disunahkan melangsungkan naqi’ah, yaitu makanan yang dihidangkan karena kedatangan musafir, baik disiapkan oleh musafir itu sendiri, atau orang lain untuk menyambut kedatangan musafir.”

Pendapat ini didukung oleh hadis riwayat Jabir bahwa Nabi Muhammad SAW ketika sampai di Madinah selepas pulang dari perjalanan, Beliau menyembelih unta atau sapi (HR. Al-Bukhari). Dalil ini memperkuat kesunahan mengadakan selamatan setelah pulang dari perjalanan jauh. Selamatan sebagai bentuk rasa syukur atas diselamatkannya musafir dari bahaya perjalanan.

Demikian pula dengan selamatan sebelum haji. Hukumnya dapat disamakan dengan naqi’ah. Terlebih lagi, substansi acaranya tidak melenceng sedikit pun dari syariat Islam. Di dalamnya terdapat unsur silaturahmi, sedekah, do’a, baca Al-Qur’an, dan lain-lain. Kendati istilah walimah safar jarang ditemukan dalam literatur hadits maupun fikih, bukan berarti mengadakannya dianggap haram atau bid’ah tercela.

Al-ibraru bil musamma, la bil ismi, yang diperhatikan ialah substansi yang dinamai, bukan soal nama itu sendiri. Berdasarkan prinsip ini, yang menjadi acuan dalam menghukumi sebuah perbuatan ialah isi dan substansinya. Selama isi dan substansinya tidak bertentangan dengan syariat Islam, ia diperbolehkan sekalipun istilah atau penamaannya tidak ditemukan di masa Rasulullah SAW.

Terlebih lagi, dalam Madzhab Syafi’i, istilah walimah tidak hanya dikhususkan untuk pesta pernikahan. Istilah walimah mencakup semua perayaan yang diselenggarakan lantaran mendapat rezeki yang tidak terduga atau kebahagian tertentu. Maka dari itu, menurut Madzhab Syafi’i kesunahan mengadakan walimah tidak dibatasi hanya untuk nikah, tapi juga disunahkan pada saat bangun rumah, khitan, pulang dari perjalanan, dan lain-lain.

Pendapat ini sebagaimana dikutip Al-Jaziri dalam Al-Fiqhu ‘ala Madzahibil Arba’ah:

الشافعية قالوا: يسن صنع الطعام والدعوة إليه عند كل حادث سرور، سواء كان للعرس أوللختان أوللقدوم من السفر إلى غير ذلك مما ذكر

Artinya, “Madzhab Syafi’i mengatakan disunahkan menghidangkan makanan dan mengundang orang untuk memakannya pada setiap kejadian yang membahagiakan, baik saat pernikahan, nikah, kedatangan orang dari perjalanan, dan lain-lain.”

Merujuk pada pendapat di atas, tradisi walimah safar yang dilakukan masyarakat di Indonesia sangat baik dilakukan. Pada saat itulah momen berbagi kepada sesama masyarakat atas kesempatan dan nikmat yang diberikan Allah SWT. 

Selain ajang silaturahmi dan sedekah, walimah safar merupakan bentuk rasa syukur atas peluang yang diberikan Allah SWT dan ajang meminta do’a kepada sanak-saudara supaya diselamatkan selama menjalani ibadah haji. 

Wallahu a’lam.


Sumber: Beberapa Kitab, Hadits, Quran dan Ceramah Buya Yahya tentang Walimattussafar

Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 2 Juli 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

________________

Penulis: Sidaq

Editor: Athallah  

https://www.laduni.id/post/read/62718/hukum-tasyakuran-haji-walimah-safar.html