Kalau ada satu kata yang bisa mewakili perasaan kita waktu bersekolah dulu, di kelas melihat foto- foto pahlawan memenuhi dinding kelas, mungkin kata itu adalah: kesakralan. Kita memandang mereka sebagai manusia- manusia terbaik yang kita punya. Maka selayaknya menghormati mereka sebaik- baik penghormatan, begitulah cara kita memperlakukan pahlawan. Namun boleh jadi, membaca buku al- Kamil fi al- Tarikh karya Ibn al- Atsir ((555- 630 H)) akan sedikit mengganggu cara pandang mapan kita ini dalam memperlakukan seorang pahlawan.
Begitulah, salah satu topik yang jarang disentuh oleh para peneliti sejarah Islam adalah aspek relasi kuasa- pengetahuan dalam penulisan sebuah karya. Adalah penting membuka sebuah kemungkinan, bahwa para raksasa intelektual muslim, menulis karyanya bukan semata- mata demi mengungkap atau membela kebenaran, melainkan juga untuk membuat(-buat) kebenaran.
Paling tidak, Itulah yang bisa kita baca dari seorang sejarawan besar muslim pada abad pertengahan, Ibn al- Atsir dengan karya fenomenalnya al- Kamil fi al- Tarikh.
Siapa pun yang membaca sejarah hidup Ibn al- Atsir, tidak dapat memungkiri, kedekatannya dengan keluarga Zanki di Mosul. Ayah beliau adalah pegawai untuk keluarga Zanki, yang diamanahi sebuah konsulat di Jazirah Ibn Umar, sedangkan kakak beliau, selain muhaddis juga merupakan penasehat Izzuddin Mas’ud seorang tokoh di keluarga Zanki, bahkan diceritakan beliaulah yang menuliskan wasiatnya saat sekarat.
Begitu pun dengan adik Ibn al- Atsir yang yang sastrawan, merupakan pegawai di istana Zanki, setelah sebelumnya di keluarga Al- Ayyubi, meski pun ad- Zahabi bercerita, kalau hubungannya dengan adiknya sangatlah tidak akrab.
Dari paparan tadi, dapat kita lihat kedekatan emosional seorang Ibn al- Atsir dengan keluarga Zanki, inilah yang membuat banyak peneliti sejarah menilai menemukan benang merah di balik banyak komentar miring Ibn al- Atsir di bukunya, al- Kamil fi al- Tarikh, terhadap Shalahuddin al- Ayyubi, yang menduduki wilayah- wilayah Zanki di Syam.
Misal tentang perpindahan tahta kerajaan ke anak- anak, Adil yang merupakan sepupunya, alih- alih ke anak- anak Shalahuddin, Ibn al- Atsir secara subjektif bilang itu adalah hukuman dari Allah untuknya. Selain itu beliau juga menuduh Shalahuddin berkonspirasi membunuh sepupunya Nashiruddin Muhammad Sirkuh.
Terkhusus, Perang Salib, tentu kita tahu kepahlawanan seorang Shalahuddin al- Ayyubi.
Namun alih- alih memujinya, lain dari sejarawan yang lain, Ibn al- Atsir malah mengambil kesempatan untuk mengkritik pedas Shalahuddin, menuduhnya kurang cekatan, teledor, bahkan biangkeladi di balik gagalnya kaum muslimin menguasai Kota Tirus, sebab Shalahuddin membiarkan begitu saja sisa tentara Salib pasca perang Hithin pergi ke kota tersebut.
Terlepas kritiknya terhadap Shalahuddin al- Ayyubi, kritiknya tersebut bukan tanpa pembela, adalah Shaib Abdul Hamid penulis Ilm al- Tarikh wa Manahij al- Muarrikhin yang coba membela sikap Ibn al- Atsir.
Menurutnya, pembacaan para pengkritik Ibn al- Atsir dalam membaca karyanya terlalu terbelenggu oleh kaca mata relasi kuasa, padahal tentu Ibn al- Atsir sebagai sejarawan, bukan dari ruang hampa menulis sejarahnya, melainkan dengan bukti- bukti kuat yang sampai padanya. Selain itu, tidakkah penting juga melihat kritik Ibn al- Atsir sebagai upaya memanusiabiasakan tokoh sejarah, alih- alih mengkultuskannya, sebagaimana banyak pengagum Shalahuddin sekarang yang terjebak dalam romantisme sejarah.
Apapun itu, Ibn al- Atsir dengan Kamil fi al- Tarikh-nya merupakan mahakarya di zamannya. Beliau adalah di antara pionir yang menulis sejarah Islam dari awal penciptaan alam sampai dengan masa hidupnya sendiri. Sesuai judulnya “al- Kamil”, bukunya memang yang terlengkap sesudah al- Thabari pendahulunya di bidang sejarah pada masa itu. Selain itu beliau juga pionir dalam menyelesaikan masalah penulisan sejarah berdasarkan kronologi tahun.
Sumbangsih lainnya ada pada perannya memisahkan Ilmu Sejarah yang dulunya sangat identik dengan Ilmu Hadits sebab beliau banyak menggugurkan Isnad dalam penulisannya. Selain itu Kamil fi al- Tarikh juga merupakan sumber primer daripada Perang Salib, sebab Ibn al- Atsir bukan hanya hidup di zaman perang- perang itu, namun juga ikut berperang di banyak kesempatan, dan yang menarik, sebagaimana disampaikan Shaib Abdul Hamid, Ibn al- Atsir berperang di pasukannya Shalahuddin, tokoh yang banyak dikritiknya.
Dan, begitulah, boleh jadi, apapun itu, kita akan sangat mengingat Ibn al- Atsir sebagai sejarawan muslim yang pionir memanusiabiasakan tokoh sejarah, inilah boleh jadi pelajaran terbesar yang ditinggalkannya untuk sejarawan zaman ini.
https://alif.id/read/fi/ibn-al-atsir-belajar-memanusiabiasakan-tokoh-sejarah-b247731p/