Imajinasi anak-anak di dalam pembelajaran sains kealaman penuh dilema. Dalam proses yang dilalui terkadang mereka tak mendapat pengisahan para ilmuwan, apalagi yang berlatar belakang perempuan. Fakta tersebut mendudukkan perkara pelik bagaimana sains dengan relasi jender. Di dalam media pemberitaan, sains dan jender tak banyak yang memberi perhatian penuh. Penjelasan demi penjelasan terkadang sifatnya musiman dan klise.
Kita ingat saja saat momentum saat kalender menunjukkan 22 Desember. Konon, orang-orang menyebutnya dengan “Hari Ibu”. Di Harian Kompas edisi tanggal 23 Desember 2022 menampilkan liputan dengan judul “Kesetaraan Jender Belum Terwujud” garapan Hidayat Salam. Liputan terkesan normatif sebagaimana persebaran isu sains dan jender di Indonesia. Minimnya keberadaan perempuan yang menjadi seorang peneliti maupun saintis.
Di liputan menampilkan seorang peneliti perempuan di Pusat Riset Teknologi Deteksi Radiasi dan Analisis Nuklir Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Muhayatun Santosa sebagai narasumber. Pengalaman tersampaikan bagaimana ia sebagai seorang perempuan merasakan betapa sulitnya memilih karier di ranah ilmu dan pengetahuan, terlebih di bidang nuklir—notabene istilah yang memiliki makna beragam di dalam realitas publik.
Penjelasan penting di liputan sengaja kita kutip: “Muhayatun berpendapat, banyak perempuan peneliti juga mampu menyeimbangkan karier dan urusan keluarga. Perempuan peneliti harus membagi peran, terutama bagi mereka yang menyandang sebagai ibu.” Keterangan ingin menjelaskan babak demi babak yang dilalui oleh ibu dalam sekian dimensi. Ibu itu rumah dan peradaban ilmu. Ada wacana yang terbangun bahwa pilihan seorang perempuan dalam dunia sains tak menjadi soal.
Penjelasan itu agaknya membawa pada keisengan membaca sebuah buku yang ditujukan anak-anak berjudul Ibuku Seorang Saintis, garapan Shini Somara dan Nadja Sarrel. Buku itu mulanya terbit dalam bahasa Inggris pada 2021, diterjemahkan oleh Daniel Santosa ke bahasa Indonesia dan diterbitkan pertama kali Penerbit Kiddo pada Desember 2022. Buku tipis menyajikan dialog seorang anak laki-laki bernama Ruben dengan ibunya yang merupakan seorang saintis.
Kita dengan sabar menyimak sejak halaman pertama. Halaman dibuka dengan upaya Ruben yang membawa sebuah vas untuk kado ulang tahun ibunya. Namun, saat ia menuruni tangga, vas tersebut pecah. Peristiwa itu mengisahkan babak penting dalam gerak tubuh, psikologi, dan percakapan yang mengalir. Perjalanan demi perjalanan dilakukan oleh kedua orang tersebut. Ibu menjadi rumah bagi anak dengan penceritaan hal-hal sekitar berhubungan dengan sains.
Di bawah terik sinar matahari, Ruben mengutarakan tanya alasan bunga Matahari tumbuh tinggi. Ia terpikir apakah dengan semakin tingginya tanaman membutuhkan makanan lebih banyak. Jawaban ibu tertulis: “Tidak juga. Bunga ini melakukan fotosintesis. Tumbuhan akan menyerap energi dari air, Matahari, dan gas yang disebut karbon dioksida. Tumbuhan akan mengolah semuanya jadi gula, yang merupakan energi bagi tumbuhan.”
Percakapan terus berjalan dan berlalu. Di tiap perjalanan menuju pantai untuk tujuan mencari kado pengganti yang akan diberikan kepada ibunya, Ruben dibuat terpana dengan kisah demi kisah yang diceritakan ibu. Ruben diceritakan beberapa nama sosok ilmuwan dengan gagasan keilmuaannya hingga membahas beberapa peristiwa yang dialami dalam konteks ilmu dan pengetahuan. Di sana ibu menjadi sosok sentral salam memberikan imajinasi sains.
Sekilas menelaah, tentu kita melihat bagaimana keberadaan buku adalah sebuah petunjuk mendasar bagaimana mengisahkan sains dalam dimensi keterlibatan perempuan. Imajinasi seorang anak bertaut dengan apa yang menjadi jalan seorang ibu sebagai saintis. Pada konteks yang lebih luas lagi, tentunya buku itu ingin memberikan makna bahwa sains yang kerap kali berkembang melahirkan konstruk milik laki-laki. Buku itu ingin membongkar dengan memberi pemahaman di masa kanak-kanak.
Pada konteks Indonesia, pembaca kalangan dewasa perlu berurusan dengan Jurnal Perempuan bila berbicara isu perempuan, ilmu dan pengetahuan, serta teknologi. Di edisi No. 4 November 2018, mereka menerbitkan jurnal dengan topik “Status Perempuan dalam STEM (Sains, Teknologi, Engineering, Matematika)”. Di bagian pengantar, Dewi Candraningrum memberikan uraian pembuka. Salah satu penjelasan yang diungkap:
“Setidaknya di ASEAN, kurang dari 23% perempuan masuk jurusan teknik. Salah satu sebab yang membuat remaja perempuan enggan masuk jurusan ini, karena adanya bias materi, kurikulum dan kuatnya stereotip dalam masyarakat bahwa anak perempuan tidak cocok dengan STEM. Cara-cara inspiratif dan konfirmatif perlu dilakukan untuk meningkatkan hasrat anak perempuan belajar dan berkarier dalam STEM. Di samping itu, kurangnya role models dan tokoh perempuan dalam STEM banyak membuat anak perempuan enggan menekuninya.” Keterangan bernada tanya dan menyiratkan jawaban demi jawaban.
Kita malah teringat analisis yang pernah ditulis oleh Mary Astuti lewat tulisan “Pendidikan Berperspektif Gender” di Majalah Basis edisi Juli-Agustus 2000. Di sana ia memberi penekanan akan keterlibatan rumah dan sekolah dalam mengisahkan komitmen yang merujuk pada adil jender. Bila kita mengingat keberadaan buku tadi, mungkin tepat, bagaimana imajinasi ibu sebagai saintis yang membangun relasi dengan anaknya. Penekanan pentingnya jender sejak anak mungkin saja solusi, jika dibandingkan seorang anak itu baru memahaminya ketika di usia dewasa.[]
https://alif.id/read/joko-priyono/ibu-dan-imajinasi-sains-b247165p/