Ibu Kota Negara dan Ilmu Pengetahuan

Satu hal jarang terbahas dalam gegap gempita perkembangan pemindahan ibu kota negara adalah menelisik sejarah Kalimantan. Catatan demi catatan menunjukkan bagaimana selain keberadaan kekayaan sumber daya alam baik flora, fauna, hingga beragam gas bumi, keberadaannya sejak lama menjadi perhatian para ilmuwan dalam keperluan ilmu pengetahuan. Fakta ini mesti dijunjung dengan penuh bahwa semangat menjaga keseimbangan perlu, tak melulu hanya hasrat penguasaan untuk bersifat sementara.

Terbaca sebuah liputan dalam Harian Kompas (05/01/2022) berjudul Awal yang Baru Sungai. Kisah kelam dari bencana banjir memberikan ancaman serius bagi sebagian masyarakat Dayak yang notabene meyakini sungai sebagai peradaban dalam kehidupan. Di liputan itu tersebutkan: “Ada istilah danum kaharingan yang berarti air kehidupan. Tonggak peradaban pun dimulai dari sungai. Ratusan tahun lalu rumah suku Dayak dibuat tak jauh dari sungai.”

Aspek keseimbangan dalam membangun ekosistem dan habitus di sana tetap terjadi. Itu membawa pada sebuah kesadaran bersama untuk senantiasa mengupayakan pemerataan dan menghindari adanya kesenjangan. Catatan penting dalam meneroka Kalimantan misalkan pernah disusun oleh Victor T. King dalam sebuah buku berjudul Kalimantan Tempo Doeloe (Komunitas Bambu, 2013). Buku hasil terjemahan karya aslinya, The Best of Borneo Travel (1996).

Kita diajak menyimak pengakuan demi pengakuan sejumlah tokoh yang pernah berkelana, berpetualang, dan berkunjung ke Kalimantan. Dalam tulisannya, Patrick M. Synge, Keindahan Alam Hutan Hujan mencatat: “Kalimantan didominasi oleh tumbuh-tumbuhan. Seluruh naluri dan kehidupan masyarakat mencerminkan hal ini. Untuk memahami kehidupan orang Kalimantan, kita harus lebih dahulu merasakan keagungan hutan, bentuk dedaunan dan lengkungan liana yang saling berpilin.”

Baca juga:  Anti-semitisme di Indonesia, Mengapa Meningkat? (Bagian 1)

Penjelasan mengesahkan bahwa kebudayaan menjadi tulang punggung peradaban dan terwariskan antar generasi di sana. Itu harusnya menjadi refleksi bagaimana memandang Kalimantan ke depan, terkhusus setelah ditetapkan ibu kota baru berada di sana dengan nama “Nusantara”. Kita tak bisa menampik, kota acapkali termaknai sebatas riuh keramaian dengan kegemerlapan kemajuan demi kemajuan termunculkan. Harus diakui, tak sedikit pula mengancam dan menggempur keberadaan budaya.

Tata kota membuka peluang cara pandang dalam tataran sosial dan budaya. Selain bagaimana kepentingan dari negara sebagai pemangku kebijakan dalam mengatur infrastruktur, persinggungan antar sesama manusia memungkinkan ada proses penukaran hal-hal mengenai kehidupan. Relasi tersebut kemudian menjadi ikatan akan tiap diri manusia menyadari dirinya dalam tanggung jawab akan menjaga dimensi hubungan, baik sang pencipta, sesama manusia, dan alam semesta.

Fuad Hassan (1998: 178) menyebutkan saat makin meningkat terjadinya pertemuan antar-masyarakat makin banyak pula terjadi pertukaran gagasan dan peralatan sehingga terjadi proses saling memperkaya antara masyarakat yang saling bertemu. Dengan gagasan yang dimaksudkan segala informasi yang merupakan tambahan pengetahuan (knowledge) dan peralatan berarti semua sarana yang dapat sebagai teknik (technos=alat) dengan fungsi yang praksis.

Beberapa tahun ke depan, Kalimantan adalah pertaruhan. Ia menjadi sentral akan keberadaan kekuasaan bagi negara. Kosmologi telah terbentang lama menjadikannya penting diperhatikan. Saat dimana kita bisa saja menaruh sebuah kecurigaan: kota bertumbuh dengan persaingan atas berbagai kepentingan. Dimana acapkali mudah mengesahkan diperbolehkannya tindakan keji seperti eksploitasi alam, muncul permasalahan lingkungan, dan dinamika konflik pada akar rumput.

Baca juga:  Tuan Guru Lombok; Figur Agamis dan Sosialis

Negara perlu membangun kesadaran bahwa infrastruktur bukanlah segalanya. Di luar itu, ada hal mesti digagas. Bagaimana memikirkan sesuatu abstraksi pikiran sebagai kuasi imajinasi dalam memahami kosmologi yang ada. Ia berkaitan dengan kesejarahan, asal-usul, dan nilai dalam akumulasi kehidupan berbangsa. Itu pula mesti terkait dengan nasib yang baru saja menimpa bangsa ini terkait silang-sengkarut persoalan visi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pada tahun 2013, di ceramah ilmiah dalam Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Karlina Supelli menyampaikan kegelisahannya saat ia menyinggung lanskap Kalimantan. Pengakuan itu tersampaikan: “Dia bagai mimpi buruk yang menghantui generasi berikutnya. Masalahnya, kita tahu bahwa kita bukan sedang berada di ruang akademis untuk mempertaruhkan gagasan tentang siapa pemenang dalam evolusi kebudayaan. Kita berhadapan dengan persekongkolan untuk memperebutkan apa saja yang bisa dijarah dari negeri ini.”

Senada dengan itu, Mohammad Hatta (1954: 87) pernah mengingatkan tentang manusia dan adab terhadap kebudayaan. Ia menuliskan: “Manusia jang adab merombak alam, dia adalah pembangun kultur. Kultur timbul karena perdjuangan buat hidup dan untuk mentjapai penghidupan jang lebih sempurna. Dan oleh karena itu, kewadjiban peradaban ialah memperbaiki bumi ini sebagai tempat kediaman manusia dan meninggalkannja dalam keadaan jang lebih baik bagi angkatan jang akan datang.”

Baca juga:  Haji Naik Kapal Laut, Bisa Khatam Alquran

Proyeksi ibu kota negara menjadikan hal syarat perjanjian akan komitmen dan kesadaran bersama. Bahwa negara harus hadir dalam melindungi dan melestarikan kekayaan sumber daya yang ada baik itu manusia maupun alam. Jangan sampai sejarah telah tergores kemudian hilang dan menjadi sebuah artefak dan kenangan semata. Kebudayaan lah menjadi faktor mendasar dalam melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kalimantan terus bergema. Dalam hilir-mudik, ketiganya terus terikat dan menjadi kekuatan dalam perjalanan peradaban.

https://alif.id/read/joko-priyono/ibu-kota-negara-dan-ilmu-pengetahuan-b242027p/