Laduni.ID, Jakarta – Kabar terakhir dari Afghanistan, ISIS di sana bersumpah untuk memerangi Taliban. Menurut ISIS, Taliban telah kafir karena berunding dengan Amerika. Perundingan tersebut telah mengeluarkan Taliban dari Islam. Sementara Taliban menilai, ISIS adalah khawarij yang wajib diperangi.
HTI menolak Emirat Islam Afghanistan karena berbentuk nation state, bukan khilafah global. HTI memperkuat penolakannya dengan mengatakan bahwa kemenangan Taliban adalah jebakan dari Amerika, karena Amerika keluar dari pintu depan untuk kembali dari pintu belakang. Taliban “bodoh dan lugu”, menurut HTI.
Masalah berunding dengan negara musuh dan konsep nation state atau khilafah global, adalah masalah strategi dan konsep. Keduanya bukan masalah prinsip layaknya aqidah atau pokok-pokok syariah.
Lebih dari itu, sebenarnya penolakan HTI dan ISIS karena alasan politis. Kita tahu, HTI dan ISIS berambisi menjadi pemimpin tunggal umat Islam, di mana kaum muslimin dituntut untuk memilih, mengangkat dan membai’at Amir dari kedua kelompok menjadi khalifah. Jika tidak diperangi.
Semua penggila khilafah seperti itu pikirannya akibat salah paham hadits yang berbunyi idza buyi’a li khalifataini faqtulu akhiru minhuma. Masing-masing penggila khilafah beranggapan Amir merekalah yang menjadi khalifah awwal, selain itu diyakini akhiru minhuma. Lalu harus di-faqtulu. Faqtulu versus faqtulu sampai hari kiamat.
Penggila khilafah salah paham, yang dimaksud dengan khalifah dalam hadits tersebut bukan khalifah yang berasal dari Amir kelompok mereka. Hadits tersebut menerangkan tentang pemimpin politik di suatu negara. Bahwa di suatu negara harus ada satu pemimpin saja, tidak boleh lebih. Misalnya di Indonesia, harus ada satu presiden, tidak boleh lebih.
Sebab, memang yang namanya pemimpin harus satu, tidak mungkin ada lebih dari satu pemimpin dalam suatu urusan. Yang paling sederhana, tentang tiga orang yang melakukan perjalanan, Nabi Muhammad SAW menyuruh memilih salah seorang untuk jadi pemimpin.
Penggila khilafah tidak paham, di zaman Nabi SAW, pemimpin politik itu banyak. Mereka raja-raja dari negara kerajaan yang bertetangga dengan negara Nabi SAW di Madinah.
Nabi Muhammad SAW mengakui dan menghormati kedaulatan negara-negara tersebut. Hal ini dibuktikan dengan surat-surat diplomatik yang disampaikan Nabi SAW kepada 9 pemimpin negara-negara tersebut.
Surat kepada:
1. Raja Najasy (Kerajaan Habasyah/Etiopia);
2. Raja Kisra (Kerajaan Persia);
3. Raja Heraklius (Kerajaan Romawi);
4. Raja Muqawqis (negara Mesir);
5. Raja al-Harits al-Gasasani (negara Gasasinah, Siria);
6. Raja al-Munzir bin Sawa (negara Bahrain);
7. Raja Jaifar dan Abdu Waqil, dua bersaudara putra al-Julandai (negara Oman);
8. Raja Hauzah al-Hanafi (negara Yamamah, Nejd);
9. Surat untuk Raja al-Harits al-Himyari (negara Yaman).
Kepada semua pemimpin negara tersebut, Nabi SAW mengajak masuk Islam. Nabi SAW tidak meminta negara-negara tersebut bersatu bergabung dengan negara Beliau SAW di Madinah. Nabi SAW tidak mengancam akan menginvasi negara-negara tersebut jika menolak tawarannya.
Raja negara Bahrain dan Yaman memeluk Islam. Nabi SAW membiarkan kedua raja tetap berkuasa. Nabi SAW tidak menggantikannya dengan orang lain. Nabi SAW mengokohkan kedudukan keduanya. Nabi SAW tidak memerintahkan kedua negara muslim tersebut bersatu dengan negara Madinah.
Dari politik luar negeri Nabi SAW tadi, dapat disimpulkan bahwa nation state-nation state dibolehkan dalam islam. Menyatukan nation state-nation state ke dalam satu negara global, tidak pernah dilakukan dan dicontohkan Nabi saw.
Pada akhirnya, patut dipertanyakan, sebenarnya dari mana asal muasal ide satu khalifah untuk seluruh kaum muslimin yang diperjuangkan oleh penggila khilafah?!
Oleh: Ayik Heriansyah
Editor: Daniel Simatupang