Idul Fitri, Islam, dan Sains (4): Andi Hakim Nasoetion: Ihwal Sains dan Kritik “Beragama” di Kampus

Kultur keilmuan yang ada di perguruan tinggi menjadi satu hal menarik untuk diperhatikan. Ia menyaratkan adanya sebuah tradisi keilmuan, pertarungan diskursus (wacana), hingga perebutan pengaruh pada ruang publik yang ada. Kenyataan tersebut meninggalkan sebuah pembahasan mendalam dari sosok bernama Andi Hakim Nasoetion, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) pada kurun 1978 – 1987. Ia juga lah yang menjadi salah satu perintis berdirnya Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB. Selain itu, pada masanya, Andi Hakim Nasoetion kerap mewarnai sederet media cetak terkait gagasan intelektualnya yang khas tulisan sains populer.

Pada tahun 2001, ia menulis artikel cukup panjang untuk Harian Bandung Raya dengan berjudulkan Ketekunan yang Langka. Tulisan itu memuat pandangannya akan banyak hal terkait dinamika dan kultur keilmuan yang berkembang di banyak kampus di Indonesia. Tulisan itu juga syarat kritik keras akan kejumudan yang kerap muncul dalam tradisi keilmuan kampus, terjauhkan dari aktivitas maupun diskusi berkaitan denggan keilmuan di tiap fakultas. Lebih menohok lagi adalah saat keheranannya terhadap minat kajian keagamaan di kampus lebih kuat, ketimbang pembahasan dalam isu maupun diskursus ilmu dan pengetahuan.

Kenyataan itu dalam kacamata Andi dapat dilhat melalui parameter berupa selebaran poster maupun pamflet yang tersebar di dinding fakultas—kontekstualisasi saat ini mungkin dalam wajah media sosial yang ada di kalangan sivitas akademik. Berkaitan hal tersebut, kita menemukan salah satu pernyataannya yang berupa: “Sayang sekali, pengumuman yang memenuhi dinding kampus bukan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kemajuan ilmu yang ditekuninya, melainkan mengenai siraman rohani, bedah buku tentang solidaritas Palestina dan berbagai diskusi mengenai berbagai kebobrokan yang terjadi di tanah air”.

Baca juga:  Dualisme Sains

Pada konteks tersebut, sama sekali Andi tidak ingin menyangkal akan penguatan yang terkait dengan kebutuhan dalam beragama. Namun, menjadi garis bawah adalah saat sejatinya keberadaan kampus sebagai ruang kebebasan berpikir, sarana menguji keilmiahan, dan ruang untuk berlatih menalar ternodai dengan habitus “beragama” yang cenderung dogmatik. Tidak mengherankan ketika kemudian ia juga menyampaikan: “Tidak ada gagasan-gagasan ilmiah dalam bidang ilmu tertentu yang diperbincangkan. Tentu saja kita harus peduli mengenai pemeliharaan iman, solidaritas keimanan hingga aplikasi keimanan dalam kehidupan sehari-hari”.

Secara menyeluruh, tulisan Andi tersebut mengajak kembali untuk merenungi keberadaan dan keberjalanan kampus dengan kultur yang ada. Setidaknya, semenjak awal Reformasi kita mafhum menjumpai situasi kultur kampus sebagaimana digambarkan oleh Andi tersebut. Narasi keberagamaan yang muncul terkesan kaku, tekstual, dan cenderung dogmatis. Dalam arti lain, ada kekeliruan dalam memahami keberadaan Islam yang sejatinya memiliki hakikat ntuk mendorong dalam perkembangan ilmu pengetahuan apa pun dalam perkembangan peradaban, tak terkecuali di bidang sains dan teknologi.

Kekhawatiran demi kekhawatiran akan keberjalanan pengembangan ilmu pengetahuan dan masa depan peradaban di masyarakat secara luas tentunya terbesit dalam benak diri kita masing-masing. Katakanlah terkait dengan bagaimana kemampuan lulusan perguruan tinggi untuk mengimbangi lulusan perguruan tinggi yang ada di negara lain yang sudah mapan dan maju. Realitas tersebut dalam catatan ahli astronomi perempuan pertama Indonesia, Karlina Supelli, mengarah pada ancaman dalam ilmu pengetahuan berupa fundamentalisme. Pada ceramah ilmiahnya berjudul Ancaman Terhadap Ilmu Pengetahuan (2017).

Baca juga:  Idul Fitri, Islam, dan Sains (3): Achmad Baiquni, Islam, dan Sains

Karlina menyebutkan—fundamentalisme menaruh semua urusan kehidupan di bawah satu sistem nilai yang diyakini paling mendasar dan murni, yang tidak tercemar oleh tafsir. Fundamentalisme tidak selalu bersifat keagamaan. Saintisme yang memandang ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya pengetahuan yang benar adalah sebentuk fundamentalisme yang mau menyusustkan semua upaya pemerolehan pengetahuan ke asas-asas ilmiah. Dalam lingkup agama, fundamentalisme berpegang ke doktrin untuk kembali ke ajaran agama sebagaimana tersurat dalam teks-teks suci, tanpa penafsiran ulang sesuai konteks zaman, tanpa kesalahan dan tanpa pelunakan sedikit pun.

Mengembalikan Makna Sains

Pertanyaan kemudian muncul, adakah peluang untuk mengembalikan makna sains yang seharusnya menjadi kultur di dalam perguruan tinggi? Sejatinya itu berkaitan erat dengan khitah perguruan tinggi dalam memposisikan diri dalam mengemban tanggung jawab pengembangan ilmu yang kemudian memberikan dampak berupa kebermanfaatan maupun kemaslahatan bagi banyak orang. Setidaknya mengacu akan tanggung jawab sebagaimana dalam cakupan Tridharma Perguruan Tinggi terdiri dari: Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat.

Mengacu sifat mutlak yang perlu dipagang dalam pendidikan tinggi berupa keterbukaan sebagai syarat hadirnmya kebebasan intelektual, memahami apa yang ditulis oleh Andi tidak lain adalah upaya pemosisian dalam kerangka dialog antara sains dan Islam. Kalau kita menelusur karya-karya lain yang pernah dituliskan, Andi di banyak tulisan memiliki dimensi hubungan antara sains dan Islam. Misalkan kita membaca buku berjudul Pengantar ke Filsafat Sains (1989), ia menyebutkan bahwa pekerjaan menyebarluaskan ilmu dianggap sangat terhormat dalam Islam. Ia membutuhkan keseimbangan dalam berpikir dan berzikir.

Apa yang diutarakan olehnya tidak lain adalah berkaitan dengan kesadaran dalam berilmu pengetahuan dan kesadaran menjadi hamba di dalam dunia. Maka, di bagian lain Andi menjelaskan akan apa yang dinamakan sains atau dikenal juga dengan ilmu pengetahuan berupa ilmu yang diperoleh melalui penggunaan akal dan kecendikiaan. Dimana dengan mengutip pandangan Al-Ghazali, mempelajari ilmu hukumnya fardu kifayah, dalam sebuah kelompok masyarakat haruas ada yang menekuninya baik itu fisika, kimia, biologi, ekonomi, sosiologi, filsafat, kesehatan, dan lain sebagainya.

Baca juga:  Idul Fitri, Islam, dan Sains (2): Kuntowijoyo dan Pengilmuan Islam

Andi Hakim Nasoetion pada masanya dikenal sebagai sosok yang memperkenalkan sains dengan kemasan bahasa populer dalam berbagai media cetak. Pekerjaan itu bisa jadi jarang dilakukan oleh banyak cendekiawan maupun akademisi di hari ini. Pentingnya penyampaian sains secara populer tentu memiliki tujuan untuk memberikan pemahaman kepada sidang pembaca awam yang secara latar belakang tidak menaruh fokus pada kajian terhadap banyak bidang sains yang ada. Kumpulan tulisan tersebut kemudian menjadi buku berjudul Daun-daun Berserakan: Percikan Pemikiran Mengenai Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan (1985).

Selain itu, karya lain dari beliau di antaranya: Matematika Mutakhir (1968), Landasan Matematika (1978), Bunga Rampai Anak-anak Berbakat: Pembinaan dan Pendidikannya (1982), Penilaian Terhadap Matahari, Manusia dan Makanan (1983), Manusia dan Khilafah di Bumi: Kumpulan Khotbah dan Ceramah (1986), Panduan Berpikir dan Meneliti Secara Ilmiah Bagi Remaja (1992), Al Qur’an dan Lingkungan Hidup (2000), Pola Induksi Seorang Eksperimentalis (2002), dan buku-buku lain terkait kurikulum pendidikan. Itu tentu sebagai sumbangsih penting dari sosok Andi Hakim Nasoetion dedikasinya sebagai seorang pengembara ilmu. Begitu.[]

https://alif.id/read/joko-priyono/idul-fitri-islam-dan-sains-4-andi-hakim-nasoetion-ihwal-sains-dan-kritik-beragama-di-kampus-b237813p/