Laduni.ID, Jakarta – Diakui atau tidak, saat ini media, baik elektronik maupun cetak memiliki pengaruh yang signifikan pada setiap kehidupan umat manusia. Televisi (TV) misalnya, adalah salah satu media yang paling banyak menyita perhatian dan bahkan menjadi konsumsi publik.
Hal ini dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan psikologis, seperti hiburan, pendidikan, dan lain sebagainya. Tak ayal, hampir disetiap rumah tangga, baik masyarakat urban maupun pelosok-pedesaan, terdapat “kotak ajaib” yang persyaratan kepemilikannya tidak serumit kendaraan bermotor maupun benda-benda penting liannya.
Sebagai primadona media, adalah wajar jika TV kerap menghadirkan tampilan program (tayangan-tayangan) yang mampu mengubah terhadap perilaku, pola-pikir dan gaya hidup (life style) masyarakat secara simultan, pragmatis dan konsumtif. Bahkan, untuk menarik perhatian publik, kadang-kadang televisi menyuguhkan beragam iklan yang bombastis dan hampir selalu menggunakan perempuan sebagai mediator untuk menyampaikan pesan yang dibawa oleh iklan.
Pertanyaan yang muncul dalam benak, mengapa harus perempuan? Tentu jawabannya adalah dengan kekuatan magnetiknya (erotisme dan kemolekan tubuh perempuan), perempuan mampu ‘membius’ lawan jenisnya dan bahkan kadang-kadang juga terhadap sesama jenis.
Daya tarik perempuan memang khas, unik, dan spesifik yang tentu saja tidak dapat ditemui dalam diri kaum laki-laki yang secara kultural mempunyai banyak justifikasi. Di sinilah awal mula ekonomi kapitalis modern “mengkapitalisasi” tubuh perempuan untuk kepentingannya, sebagaimana yang disuguhkan dalam pelbagai macam bentuk iklan di media (terutama televisi) seperti, kosmetik, alat-alat elektronik, peralatan mandi dan lain sebagainya.
Sebagai media promosi terhadap segala macam jenis barang, tentunya eksistensi iklan yang dilengkapi dengan gambar tubuh perempuan seolah menjanjikan kepuasan, baik kepuasan seksual, keamanan dari rasa takut hingga memperoleh kenikmatan laiknya pengantin baru dan mampu mendekatkan pada sosok idola kita.
Bahasa iklan merupakan komunikasi yang “agresif” dan “imperatif” dengan berupaya “memaksa” publik untuk merubah perilaku, pola-pikir dan gaya hidup, hingga menjadi konsumen setia terhadap setiap produk-produk yang dihasilkan oleh mesin-mesin kapitalisme modern (global).
Meskipun, tampilnya kaum perempuan di ruang publik memang merupakan suatu keniscayaan (keharusan) untuk meneguhkan identitas feminisnya. Seperti sudah jamak diketahui, sejarah mencatat bahwa sejak dahulu kelompok rentan (perempuan) hanya ditempatkan pada wilayah domestik dan bahkan dianggap tidak memiliki arti penting bagi pranata sosial.
Lebih dari itu, ketika dihadapkan dengan sosok laki-laki, perempuan tak lebih hanya sekadar pelengkap penderitaan. Bahkan, ia lebih banyak dijadikan obyek daripada subyek. Itulah mengapa dari zaman dahulu hingga sekarang muncul tindakan misoginis terhadap perempuan.
Di masa jahiliyah misalnya, kaum perempuan dipandang sebelah mata dalam kehidupan, direndahkan, dan tidak dihargai. Ironisnya, apabila lahir seorang anak perempuan, maka bayi tersebut dikubur hidup-hidup karena dianggap sebagai aib dalam keluarga. Artinya, sebelum Islam datang kaum perempuan tidak memiliki nilai dan peran apapun kecuali persoalan kasur, dapur, dan sumur.
Namun demikian, dalam konteks pertarungan “ekonomi kapitalis”, terutama di dunia periklanan, peran perempuan juga menemui ruang dilematis. Alih-alih iklan mampu mengangkat harkat-martabat seorang perempuan dengan mendudukkan sejajar dengan kaum laki-laki, tetapi mereka tetap diposisikan sebagai obyek kepentingan akumulasi kapital para kapitalis.
Perempuan dengan segala pesonanya, yakni keindahan kecantikan, kelembutan, keunikan dan spesifiknya digunakan sebagai “simbol” yang ada dalam iklan. Tentu tujuannya hanya sekadar untuk memikat massa (konsumen) supaya mengkonsumsi produk-produk yang ditawarkan oleh para kapitalis.
Ini artinya, kesetaraan gender yang tawarkan bersifat semu atau lebih tepatnya adalah upaya untuk melanggengkan “budaya patriarki” melalui teknik dan strategi yang semakin canggih. Sebab, di dalam iklan, tubuh perempuan masih menampakkan stereotipe yang acapkali merugikan terutama pada saat dipertontonkan sebagai simbol “seks” dan “alat pemuas” birahi kaum laki-laki.
Sehingga, fungsi tubuh mengalami pergeseran dari fungsi organis/biologis-reproduksi ke arah fungsi-ekonomi politik, khususnya fungsi tanda. Hal ini dikarenakan ekonomi kapitalisme modern telah berubah ke arah penggunaan “tubuh” dan “hasrat” sebagai titik-sentral komoditi, yang disebut dengan “ekonomi libido”. Inilah yang oleh Sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu disebut sebagai symbolic violence (kekerasan simbolik).
Kemudian, bagaimana menyikapi fenomena demikian yang sudah marak terjadi di tengah masyarakat, khususnya bagi kaum perempuan? Atau, apakah sekadar berdiam diri dengan mengamini terhadap masifnya budaya patriarki?
Kamis, 16 Desember 2021
Oleh: Gus Saidun Fiddaraini
Editor: Daniel Simatupang